PojokTIM – Puisi-puisi Rissa Churria memiliki kedalaman emosi dan spiritualitas. Hal itu tampak dalam buku antologi puisi yang berjudul Harum Haramain (2016). Rissa berhasil membawa penikmat puisinya ikut merasakan suasana di Tanah Suci dalam balutan nuansa spiritual yang kuat pada setiap bait puisinya.
“Puisi-puisinya mencerminkan perjalanan batin yang mendalam,” ujar dosen Fakultas Ilmu Budaya Universitas Udayana Dr Galuh F Putra saat menjadi pembicara dalam acara diskusi yang menggali proses kreatif Rissa Churria dalam menulis puisi.
Kegiatan tersebut diadakan di Jatijagat Kehidupan Puisi (JKP), Renon, Denpasar, Bali, Sabtu (23/8/2024). Selain Galuh, pembiacra lain adalah sastrawan Warih Wisatsana dengan dipandu Lurah JKP Ngurah Arya Dimas Hendratno.
Pada buku puisi kedua berjudul Matahari Senja di Bumi Osing (2019), Galuh memuji Rissa yang memiliki kepekaan terhadap budaya lokal, yang ditampilkan dengan cara yang halus namun penuh makna.
Galuh mengakui, pada puisi yang berlatar atau diangkat dari budaya lokal, akan terjadi gap atau jarak antara penulis dengan pembaca yang tidak mengenal budaya tersebut. Namun hal itu lumrah dalam produk kesenian.
“Jarak itu tidak dapat dihindari dalam dunia kesenian. Itulah pentingnya dialektika untuk mencari titik temu sehingga dapat mempersempit jarak,” ujar Galuh ketika menjawab pertanyaan salah satu peserta diskusi.
Diskusi tersebut menggunakan tiga buku puisi Rissa Churria sebagai pemantik yakni Harum Haramain, Matahari Senja di Bumi Osing dan Bisikan Tanah Penari. Setiap buku dipilih untuk menampilkan perkembangan dan perubahan gaya penulisan serta tema yang diusung oleh Rissa sepanjang perjalanan kreatifnya.
Diksi Lokal
Sementara Warih Wisatsana lebih menyoroti aspek teknis dalam penulisan puisi. Ia memuji Rissa yang disebutnya memiliki kemampuan dalam menggunakan bahasa yang kaya, namun tetap dapat dicerna pembaca.
“Bisikan Tanah Penari (2022) adalah contoh sempurna bagaimana Rissa menggabungkan unsur-unsur tradisi dengan sentuhan modernitas. Menciptakan puisi yang tidak hanya indah tetapi juga relevan dengan zaman sekarang,” ujar Bli Warih.
Menjawab pertanyaan Alit S Arini, penyair Bali yang hadir dalam diskusi, terkait penggunaan diksi-diksi yang diadopsi dari bahasa daerah, Warih mengatakan, ada plus minusnya.
Plusnya, menurut Warih, penggunaan diksi lokal bisa mengungkap kekhasan daerah yang tidak terwakili oleh kosakata yang ada dalam bahasa Indonesia. Di sisi lain, atau minusnya, berpotensi menyebabkan pembatasan dalam pemaknaan oleh pembaca.
“Jalan tengah dengan membuatkan catatan kaki untuk diksi-diksi seperti itu,” terang Warih.
Dalam kesempatan itu, Rissa Churria berbagi pandangan tentang proses kreatifnya. Menurut Rissa, dirinya hanya objek yang dimampukan Tuhan untuk menulis. Semua perasaan yang dialaminya—baik sakit maupun sehat, sedih maupun gembira, suka maupun duka—adalah bentuk karunia dari Tuhan.
“Menulis bukan hanya sebuah kegiatan berkarya, tetapi juga merupakan terapi kesehatan. Saya merasakan proses penyembuhan dari berbagai luka lahir batin dan menemukan kedamaian dalam jiwa. Setiap kata yang tertuang dalam puisi adalah manifestasi dari anugerah yang diberikan Tuhan, sehingga saya selalu bersyukur atas segala emosi yang pernah saya alami,” tutur Rissa.
Acara diskusi di JKP tidak hanya menjadi sarana berbagi pengetahuan, tetapi juga momen refleksi bagi para peserta yang hadir. Melalui diskusi tersebut JKP menegaskan kembali perannya sebagai ruang penting bagi perkembangan kaarya sastra, utamnya puisi, di Bali.