Cerpen Novica Novika

Tatapan nanarku menembus jendela kaca besar tanpa teralis yang berembun. Di kotaku yang panas, cuaca bisa sedingin ini. Mungkin karena hujan belum mau berhenti sejak pagi, hingga kini menjelang tengah hari. Dan aku merasa seolah dunia sedang sengaja mengantarku untuk menilik catatan kelam kehidupanku.

Kubenarkan letak selimut tipis yang menutupi perut sampai kaki. Tak lupa, kuelus-elus jabang bayi yang tinggal di perutku yang mulai menonjol agar ia senantiasa bergerak tak kenal lelah, agar ia terus paham jika aku telah menjadikannya sahabat sejati bahkan sebelum muncul ke dunia.

Saat kemudian kurasakan lelah mulai mendera, aku menyandarkan tengkuk pada dinding kamar berdinding bata tanpa polesan. Sambil sekali dua kugerakkan kepala ke kanan dan kiri demi mengusir pegal. Aku berharap kantuk menjemputku di tengah cuaca yang secocok ini. Namun aneh, kilatan demi kilatan kenangan hidup lebih merajai. Mereka mengusir kantuk sejauh-jauhnya.

Selalu paling dulu muncul di ruang kenangan kelamku setiap kali hujan begini pastilah ibu. Wanita yang dijemput malaikat maut karena penyakit yang tak tertangani akibat rendahnya kehidupan perekonomian kami.

Menyertai wajah manisnya, lalu pesan giliran berbaris di ruang kenangan. Ya, ibu menyampaikan pesan yang sama secara berulang-ulang, beberapa hari sebelum sebuah pagi membawanya pergi selamanya. Mungkin karena menganggap pesan itu seperti penting, aku sampai menghafalnya kata perkata.

Jangan pernah membenci siapa pun dan apa pun di dunia ini, Suly, kata ibu. Apa pun yang terjadi bertingkahlah seolah tak terjadi apa-apa, tambahnya. Biarkan saja, imbuhnya lagi.

“Seperti Ibu yang tak pernah membenci Ayah yang meninggalkan begitu saja ketika aku baru mau tumbuh di perut?” tanyaku saat itu ketika Ibu menyampaikan pesannya untuk pertama  kali. Pertanyaan yang begitu saja muncul dari kepala tanpa kupikirkan lebih dulu.

Namun ibu malah tak menjawab.

Tapi, sekali lagi, mungkin karena seperti teramat penting, lalu aku benar-benar mencamkan pesan ibu itu dalam tempurung kepala dan juga palung hatiku. Selain hafal kata perkata.

Hingga saat satu malam setelah beberapa tahun ibu pergi, dua orang menjebol pintu belakang kontrakanku sekaligus kesucianku, sebelum mengambil semua hartaku, sesuai pesan ibu, aku tak membenci mereka. Aku bertingkah seolah tak terjadi apa-apa. Biarkan saja.

Mungkin dua lelaki bertopeng itu membutuhkan uang untuk memberi makan anak-anak dan istri-istri mereka karena anak-anak dan istri-istri mereka tak kenyang jika hanya makan cinta. Mungkin juga yang salah adalah aku karena tak mengenakan pakaian lengkap di dalam kontrakanku sendiri.

Saat dua hari kemudian, tunanganku memutuskanku secara sepihak dengan alasan aku sudah tak perawan lagi dan ia tak mau jika bisa saja seorang calon bayi bakal menghuni rahimku, aku tak membenci siapa-siapa. Aku bertingkah seolah tak terjadi apa-apa. Biarkan saja.

Aku memutuskan berteman karib dengan sepi yang tanpa ampun menggerogoti. Sampai sebuah berita baik cukup membuatku lega serupa angin semilir yang meniup jiwa. Ya, tespek yang kubeli menjelaskan bahwa perbuatan penjahat-penjahat itu tak membuahkan apa pun di rahimku. Aku sampai bersujud syukur di lantai dapur kontrakanku.

Tak lama, seorang teman kuliah di jurusan yang sama serupa malaikat menawarkan diri menjadi penghibur lara. Ia tak begitu tersohor di kampus. Malah yang kutahu, dua tahun ia tak lulus beberapa mata kuliah karena kerjanya hura-hura. Tak apa, aku tak mempermasalahkan itu. Karena, kedatangannya untuk meminjamkan pundak tempatku menumpahkan luka adalah kebaikan tak terkira. Aku sontak teringat ibu. Mungkin, ia berpesan agar aku tak membenci siapa pun di dunia ini karena malaikat penolong akan selalu datang dari arah mana pun.

Sayangnya, sang penolong menolak setiap kali aku mengajaknya berkeliling kota mengusir penat. Padahal, aku sangat menyukai danau-danau buatan yang tak terlalu lebar yang bertempat di pinggir kota. Aku membayangkan pasti enak sekali menikmati sore di sana sambil menyesap es kopi dan ngemil brownis topping mete favoritku. Katanya ia sayang, tapi kenapa kesusahan menuruti pinta yang tak seberapa?

Sang penolong malah lebih suka bercengkrama berdua saja denganku sebagai caranya menyayangi. Acara jalan-jalanku dengannya hanya sekitar ruang tamu, dapur, dan kamar kontrakanku yang sempit.

Saat kemudian, dalam perutku menjelma jabang bayi pun, pesan ibu kembali bergaung di telinga. Aku tak membencinya. Apalagi aku juga tidak tahu apa salah telah memberinya gelar malaikat penolong. Atau siapa pun. Aku bertingkah seolah tak terjadi apa-apa. Biarkan saja.

Begitu juga saat ia lenyap ditelan bumi sehari setelah aku memberinya kabar tentang hasil perbuatannya. Aku tetap tak membencinya. Aku tak boleh membenci siapa pun di dunia ini. Aku bertingkah seolah tak terjadi apa-apa. Biarkan saja.

Aku tetap menjalani hari-hari yang pada kenyataannya tak kenal berhenti selelah apa pun penghuni dunia menjalani hidup. Aku menghabiskan waktu untuk mengobrol intim dengan sahabat sejati yang menghuni kantong kecil elastis di perutku. Soal biaya persalinan nanti, aku bisa menyicil dari gaji mencuci baju tetangga-tetangga kaya. Soal kuliah yang tak jelas ujungnya, lupakan saja.

Berada ujung lamunan yang ditemani sendunya derai hujan tersibak ketika tiba-tiba aku merasa ada yang salah dengan perutku. Sangat mulas. Lama. Isi perutku serasa diremas-remas. Ada apa? Apa aku hari ini salah makan? Atau, tunggu, mengapa rasa sakit ini terasa punya ritme? Ia kini datang lima menit sekali.

Apakah ini yang namanya kontraksi yang istilah itu pun baru aku ketahui kemarin dari majalah kesehatan? Tapi kan baru tujuh  bulan. Tapi, bagaimana kalau benar ini kontraksi? Aku belum punya bekal untuk menjemputnya kekasih hatiku ini. Tabunganku masih terlalu sedikit.

Dengan segala praduga yang berkecamuk, pada akhirnya aku berlari menembus hujan karena tak tahan. Tujuanku rumah bidan Gani. Dia terkenal sebagai bidan ramah yang punya empati tinggi. Tak mungkin ia tak mengizinkanku untuk berutang.

Makin lama, langkahku makin lunglai. Jarak rumah bidan Gani yang jauh membuat tubuhku kuyup dan terasa membeku. Apalagi banjir mulai menutupi sebagian jalan yang kulewati. Rasanya cairan ketubanku telah mulai habis berceceran di jalan.

Aku tidak tahan lagi dan tersungkur dekat got di sisi kiriku. Mau tak mau, banjir yang meninggi   menenggelamkan setengah tubuhku. Saat kontraksi memanggil lagi, dalam satu nafas, teriakan, dan hentakan, jabang bayi muncul ke tanganku.

Dan, tentu saja ia mati. Bagaimana mungkin bayi prematurku tahan bertelanjang di tengah hujan yang tak mau berhenti?

Namun pesan ibu menggema bersama guntur yang menyambar. Aku tak boleh membenci siapa-siapa. Aku tak boleh membenci siapa pun di dunia ini. Aku harus bertingkah seolah tak terjadi apa-apa. Biarkan saja.

Terlebih, malam ini, di tempat paling sunyi di mana aku menemukan tempat ternyaman untuk sembunyi, kupingku mendengar derap-derap langkah kaki-kaki kecil. Ternyata, bayiku kembali, menakjubkannya! Iia telah bisa berjalan. Ia memenuhi impianku untuk menjadi sahabat sejatiku.

Dan aku menyunggingkan tawa paling cantik dalam hidupku.

Bagikan ke Media Sosial

Hubungi Admin Jika Ingin Meng-copy Konten Website ini