PojokTIM – Hujan lebat yang mengguyur Jakarta, Jumat (14/3/2025), tak menyurutkan langkah Endah Wijayanti memenuhi janji wawancara di kompleks Pusat Kesenian Jakarta (PKJ) Taman Ismail Marzuki (TIM). Wajahnya tetap semringah meski harus mencari tempat yang ideal untuk berbincang karena pusat kuliner di lantai dasar Gedung Ali Sadikin sudah ramai dengan pengunjung yang asyik menyantap kudapan.

“Saya belum pernah ke kantor Dewan Kesenian Jakarta,” ujar guru Bahasa Jepang di SMA Negeri 77 Jakarta itu, ketika PojokTIM memberi alternatif pinjam ruang di Lantai 14. Namun ruang yang kami maksud sedang digunakan untuk rapat sehingga kami turun setelah penulis 26 buku itu berfoto-ria di rooftop DKJ, di tengah gerimis sore.

Wawancara akhirnya dilakukan di selasar Lantai 4, depan aula PDS HB Jassin. Suasananya cukup nyaman, tidak terganggu oleh lalu-lalang pengunjung perpusatakaan.

“Saya beberapa kali ke Jepang, salah satunya diundang untuk memberikan materi tentang pengajaran Bahasa Jepang di Indonesia,” kata Endah Wijayanti.

Berikut petikan wawancara dengan penulis serba bisa yang gemar memotivasi siswanya untuk menulis.

Buku apa saja yang sudah diterbitkan?

Kebanyakan buku kumpulan cerpen, puisi, novel dan esai tentang Jepang. Ada juga buku pelajaran, hasil kerja sama dengan The Japan Foundation. Buku itu dipakai sebagai bahan pengajaran Bahasa Jepang di seluruh Indonesia.

Apa saja isi dari buku pengajaran Bahasa Jepang itu?

Macam-macam, sesuai tingkatannya. Kami sudah menerbitkan 3 seri dengan nama Sakura 1, Sakura 2 dan Sakura 3. Sebagai gambaran, Bahasa Jepang memiliki tiga jenis huruf yakni Hiragana, Katakana dan Kanji. Hiragana dan Katakana merupakan simbol fonetik di mana setiap hurufnya mewakili penyebutan satu suku kata. Sedangkan Kanji merupakan ideogram, yang dipakai untuk menggambarkan makna dari setiap ujaran.

Meski dalam Kurikulum Merdeka tidak ada lagi penjurusan, tapi pengajaran Bahas Jepang tetap ada di Kelas 11 dan 12.

Di mana Anda belajar Bahasa Jepang?

Saya alumni Sastra Jepang Universitas Indonesia (UI). Saya juga pernah mendapat beasiswa dari Universitas Soka, Jepang, yang saat itu menjalin kerja sama dengan UI. Jadi saya sering ke Jepang. Malah beberapa kali diminta menjadi pembicara di sana dengan tema berbeda-beda, terutama terkait pengajaran Bahasa Jepang di Indonesia.

Di luar buku pengajaran Bahasa Jepang, buku apa yang pertama kali Anda tulis?

Pertama kali saya justru menulis novel. Menjelang (pandemi) Covid-19, saya ditantang untuk membuat buku. Karena saya suka tantangan, maka saya coba bikin novel. Genrenya roman remaja. Ternyata saya bisa. Sejak itu saya semakin rajin menulis, termasuk menulis cerpen. Salah satu cerpen saya berjudul Tumbangnya Keangkuhan. Ceritanya tentang keseharian di sekolah, khususnya kelas bahasa, yang diremehkan dengan segala macam intriknya. Ada juga novel yang saya tulis saat jadi fasilitator MediaGuru di Bukittinggi (Sumatera Barat). Judulnya Rahasia dan Cinta di Bukittinggi.

Saya juga menulis cerita anak. Sudah ada dua buku cerita anak. Yang siap di-launching berjudul Mantra Daun Jingga.

Kabarnya Anda juga rajin memotivasi siswa dan rekan guru untuk menulis?

Sebagai penggerak literasi, saya memotivasi siapa saja untuk menulis dan membuat buku. Awalnya saya mengajak siswa dari 1 kelas untuk menulis cerpen. Karena kelas Bahasa Jepang, maka dalam cerpen mereka ada kalimat-kalimat atau diksi yang menggunakan Bahasa Jepang. Namun saat dicetak menjadi buku kumpulan cerpen, pada catatan kaki diberi penjelasan untuk memudahkan pembaca yang tidak paham Bahasa Jepang.

Setelah itu saya ajak guru-guru untuk menulis dan dibukukan. Dari kegiatan ini, sejak tahun 2022 kami sudah menerbitkan 5 buku. Kadang-kadang saya juga diundang menjadi nara sumber kegiatan atau pelatihan kepenulisan oleh sekolah atau komunitas lain yang ingin membuat buku. Nah, dari kegiatan itu juga menghasilkan buku sesuai tema yang mereka inginkan.

Kebetulan saya juga menjadi fasilitator di MediaGuru. Saya sering diminta menjadi pembicara untuk kegiatan penulisan buku. Sebab di sana ada kegiatan menulis 1 siswa 1 buku, atau 1 guru 1 buku. Terkadang juga berupa antologi.

Anda menulis syair juga?

Saya tergabung dengan (komunitas) Pak Asnur (Asrizal Nur, sastrawan yang juga penggiat puisi multimedia dan gurindam, red). Buku saya pernah di-launching di Brunei. Waktu itu saya bersama Pak Asnur diundang ke Brunei untuk menghadiri satu acara. Kebetulan saya memang ingin launching buku di sana. Jadi, selain mengenalkan buku syair Pak Asnur, saya manfaatkan juga untuk launching buku.

Bagaimana minat siswa terhadap sastra?

Minat siswa SMA terhadap literasi, termasuk sastra, tinggi loh. Di sekolah saya punya program Selasa Membaca. jadi setiap hari Selasa, mulai jam 06.30 sampai 7.05 siswa membaca bersama. Semua siswa, dari Kelas 10 sampai Kelas 12. Tempatnya di lapangan sekolah. Bahkan kadang waktunya molor karena biasanya ada siswa yang tampil, entah baca puisi atau lainnya yang masih berhubungan dengan literasi.

Kegiatan itu dikoordinasikan oleh siswa dari kelas yang ditunjuk secara bergiliran. Mereka yang menyiapkan acaranya, menunjuk siapa yang tampil hingga menjadi MC dan lain-lain. Jadi siswa punya tanggung jawab dan menyukai kegiatan tersebut.

Saya juga punya tim literasi yang anggotanya berasal dari lintas kelas. Setiap kelas diwakili oleh 5 siswa. Saya selalu mengajak mereka untuk membahas kegiatan-kegiatan yang akan dilakukan. Jadi tidak hanya dari saya, kadang ide kegiatan itu justru datang dari anak-anak.

Apa kiat paling mudah untuk mengajak siswa menulis?

Mencontohkan dulu. Mereka melihat saya, kok bisa ke Jepang, bagaimana caranya? Saya pun kasih tahu caranya yakni dengan menulis. Demikian juga ketika mereka tahu saya bikin kegiatan di tempat lain, lalu saya jelaskan bagaimana caranya, bagaimana prosedurnya, termasuk bagaimana bikin proposalnya.

Mereka anak-anak yang kreatif. Tanpa diajarkan, sudah ada yang bisa bikin film. Mereka sendiri yang membuat skenario, menjadi sutradara, memilih pemain sampai proses penggambilan gambar. Semua dikerjakan sendiri oleh siswa. Jadi kita, guru, cukup menyenggol sedikit. Cukup mencontohkan dan memberi memotivasi kepada anak didik. Misalnya dengan mendatangkan sutradara ke sekolah untuk memancing rasa ingin tahu mereka terhadap film.

Anda pernah mengikuti kegiatan di TIM?

Sudah sering. Kadang diundang oleh Mas Imam (Imam Ma’arif, Ketua Simpul Seni DKJ), atau Pak Jose (Jose Rizal Manua, sastrawan sekaligus pemilik Galeri Buku Bengkel Deklamasi).

Pernah mengajak siswa melihat kegiatan kesenian di TIM?

Saya sudah beberapa kali mengajak siswa ke TIM. Biasanya yang saya ajak anak-anak yang punya sifat ingin tahu dan suka menulis. Kepo-nya gede. Pulang dari TIM, kami kemudian membuat tulisan.

Apa pendapat Anda tentang TIM saat ini?

Sebenarnya TIM sudah bagus, sebagai wadah kegiatan kesenian, termasuk wadah belajar bagi siswa. Hanya saja kegiatan-kegiatan yang ada di TIM kurang disosialisasikan ke sekolah. Padahal ketika ada pementasan teater, bisa bekerja sama dengan Dinas Pendidikan. Nanti Dinas Pendidikan yang menghubungi kepala sekolah agar siswanya menghadiri pementasan teater di TIM.

Demikian juga dengan komunitas-komunitas kesenian yang ada di TIM. Saya harap bisa melakukan sosialisasi ke sekolah-sekolah. Karena di setiap sekolah ada eskul (pelajaran ekstrakulikuler) untuk seni. Bisa saja teman-teman komunitas memberikan pelatihan atau menjadi nara sumber kegiatan di sekolah.

Ada pesan untuk siswa atau mereka yang sedang berproses meraih impian?

Melangkah itu tidak langsung ke 10, tapi harus melalui angka 1, angka 2. Untuk meraih segala sesuatu membutuhkan proses. Dengan proses yang baik, maka hasilnya juga akan baik.

 

Bagikan ke Media Sosial

Hubungi Admin Jika Ingin Meng-copy Konten Website ini