PojokTIM – Kiprah Piet Yuliakhansa di blantika teater Jakarta sudah cukup panjang. Jejaknya bisa direntang dari teater kampus Universitas Negeri Jakarta (UNJ), hingga teater-teater yang sering pentas di sekitar Bulungan Jakarta Selatan hingga kawasan Jakarta Timur.

“Tapi pertama kali pentas di TIM, tepatnya di GBB (Graha Bakti Budaya) tahun 1995, bukan main teater. Saat itu aku ikut lomba paduan suara tingkat SMA,” ujar Piet tergelak di depan aula PDS HB Jassin di Lantai 4 Gedung Ali Sadikin, usai membaca puisi dalam acara launching dan bedah buku DOL karya budayawan Betawi, Yahya Andi Saputra.

Selain seni teater, Piet juga rajin menulis puisi. Bahkan kegemarannya menulis puisi sudah dilakukan jauh sebelum menekuni dunia teater karena terpantik puisi dalam buku yang dibawa ibunya.

“Sejak kecil sudah ikut lomba baca puisi. Sekali dapat Juara 1 Lomba Baca Puisi di UNJ, tingkat kampus,” kata alumnus SMA 103 Jakarta itu tanpa rasa sesal. Baginya berkesenian bukan tentang capaian prestasi atau pengakuan. Ada hal lain yang membuatnya senang berada di dalamnya.

Untuk memahami lebih dalam sepakterjangnya di dunia kesenian, PojokTIM telah mewawancarai Piet Yuliakhansa, Jumat (5/7/2024) lalu. Berikut rangkumannya.

Kapan mulai menyukai teater?

Sejak SMA sebenarnya aku sudah ikut main teater. Latihannya di sanggar dalam komplek pura di daerah Rawamangun. Pulang sekolah biasanya aku ikut latihan dengan para senior. Ketika teman-teman dan juga saudaraku bercita-cita menjadi insinyur, dokter, dan profesi lain yang akrab di telinga kita, aku justru ingin berkesenian. Bahkan sempat ingin masuk IKJ (Institut Kesenian Jakarta), tapi tidak jadi karena Mama ingin aku masuk IKIP (Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan). Maklum, Mama kan guru.

Tapi keluarga tidak melarang ketika Anda bergabung dengan grup teater?

Tidak karena Mama juga juga sering bawa buku cerita yang ada puisinya. Sejak kecil aku juga sudah ikut lomba-lomba baca puisi yang tentunya atas izin Mama. Mungkin Mama mengira sebatas suka berkesenian, tidak mengira aku akan total di dalamnya. Karena dilarang masuk IKJ, akhirnya aku kuliah di UNJ.

Kebetulan di UNJ juga ada grup teater yang menjadi bagian dari UKM (Unit Kesenian Mahasiswa). Namanya Teater Zat yang sudah berdiri sejak 1994. Awal bergabung langsung disuruh pentas oleh senior yang sedang ujian. Sejak itu saya merasa teater menjadi bagian dari diriku. Secara sadar aku memilih teater sebagai jalan kesenianku.

Waktu awal memutuskan jalan teater, apa obsesi yang ingin Anda capai? Ketenaran, mungkin?

Aku malah tidak pernah berpikir ke situ. Tidak ada keinginan untuk mengejar ketenaran. Mengalir saja. Lama-lama aku betah. Jadi habit-ku. Sebab di teater, seperti juga cabang sastra lainnya, kita dituntut konsisten, jangan tanggung-tanggung.

Apa yang Anda sukai dari teater?

Di teater ada semua jenis kesenian. Dari mulai puisi, musik, gerak, tari, busana. Jadi enjoy. Lalu ketika memainkan tokoh tertentu, kita bisa merasakan apa yang dipikirkan, bagaimana karakternya, dan sebagainya. Kita benar-benar menjadi orang lain, menjadi sosok yang kita perankan. Orang mengira hanya pura-pura, padahal bukan, karena membutuhkan penghayatan dan totalitas. Terlebih saat pentas di panggung tidak ada adegan yang diulang. Beda dengan syuting film, yang bisa take beberapa kali.

Peran atau cerita apa yang paling berkesan selama di teater?

Bagiku tidak ada peran atau cerita paling berkesan. Semua pementasan memberi kesan berbeda-beda. Punya gregret sendiri. Mungkin karena itu, makanya aku selalu senang memainkan tokoh apa pun. Jadi tahu ragam karakter. Sebab, meski bersifat fiksi, imajinatif, cerita dalam teater merupakan refleksi dari kehidupan nyata.

Saat ini masih bergabung dengan grup teater?

Kebetulan sedang vakum. Setelah Castra Mahardika. dan terakhir di Teater Mantaka, sekarang aku lebih banyak mengurus keluarga dan sesekali diundang baca puisi.

Piet Yuliakhansa saat membaca puisi dalam acara bedah buku DOL di PDS HB Jassin. Foto: Giyanto Subagio

Masih suka menulis puisi?

Iya, kalau nulis puisi tetap jalan meski pun sibuk di teater. Saat senggang, atau mendapat inspirasi dari suatu peristiwa, aku tuangkan dalam puisi. Sudah banyak banget puisiku, karena status di facebook juga puisi.

Sudah berapa antologi puisi yang diterbitkan?

Antologi bersama sudah banyak. Tidak keitung lagi. Kadang diajak teman, atau ada lomba di mana karya pemenangnya dibukukan. Tapi kalau antologi tunggal belum, lebih banyak aku publish di media sosial. Di wattpad ada 4 buku digital, 3 buku puisi dan satu kumpulan cerpen.

Tema apa yang dominan dalam puisi-puisi Anda?  

Tentang kehidupan, kemanusian, kritik sosial, dan cinta. Mengikuti pikiran dan perasaan kita pada suatu momen yang kita lihat, kita baca, atau kita dengar. Bisa juga timbul dari rasa mendalam terhadap sesuatu yang melintas dalam pikiran.

Bagiku, menulis itu mengalir saja. automatic writing. Tapi belakangan aku merasa trauma karena apa yang aku tulis, kadang  terjadi beneran.

Maksudnya?

Misal aku menulis puisi tentang seseorang, memikirkan bahwa orang itu akan meninggal dunia. Eh, ternyata benar. Demikian juga peristiwa lainnya. Jadi kadang aku takut untuk menulis puisi yang bertutur tentang seseorang. Mungkin karena aku percaya bahwa kata menagih makna. Baik yang ditulis maupun yang diucapkan. Ada pertanggungjawaban bagi yang melakukan.

Jadi, apa makna puisi bagi Anda?

Menulis puisi berarti menulis rasa. Puisi hanyalah satu bentuk atau cara kita mengekspresikan rasa. Yang kita tulis dalam puisi tentu saja inti dari rasa, saripatinya, menggunakan bahasa pilihan. Dengan ruang yang sempit kita harus bisa menumpahkan rasa. Jadi menurutku puisi bukan hanya tentang keindahan bahasa, tapi juga curahan rasa terdalam dari penulisnya, dari si penyair.

Masih ada keinginan dalam dunia seni yang belum tersampai?

Tidak ada, karena tidak ada yang ingin aku capai atau lakukan. Paling hanya ingin menerbitkan puisi dalam buku antologi tunggal. Supaya punya tanda mata. Tapi, sekali lagi, itu belum prioritas. Aku masih menikmati perjalanan hidup yang sekarang. Tidak diganggu dengan obsesi.

Sepenggal puisi Piet Yuliakhansa yang dimuat di pojoktim.com

di tubuh perempuan ruh berbagi napas/lantas tumbuh dalam dekapan/kasih dan sayang/tak jarang ia kerap menanggung/goresan di dada yang lapang/serupa tarian pengingkaran/juga suara penghakiman//….

(Binar di Tepian Mata, Mei 2024)

 

Bagikan ke Media Sosial

Hubungi Admin Jika Ingin Meng-copy Konten Website ini