Cerpen Marina Novianti
Kemarin udara sepengap dalam sauna, begitupun malam ini. Peralihan dari musim hujan ke kemarau, selalu seperti ini. Menyisakan lengket yang lembab di bagian punggung Tara, akibat hujan dan panas yang sesukanya saling menyela dalam sehari. Perempuan berambut panjang yang sedang duduk di depan meja bundar beralaskan lapisan hitam itu berusaha mengalihkan perasaan tidak nyaman akibat udara yang pengap, dengan memperhatikan kedua perempuan yang duduk di depannya. Sambil menggerak-gerakkan kain kaos hitam yang ia kenakan, terutama di bagian punggung. Berusaha memberikan sedikit pergerakan udara agar kulit punggungnya terasa agak sejuk.
Ketika tadi memasuki warung kopi dan melihat kedua perempuan yang sekarang duduk bersamanya ini sedang bertatapan satu sama lain, hati Tara merasakan sensasi hangat yang aneh. Ia teringat suatu masa di pulau yang berbeda, tempat di mana ia pernah tinggal beberapa tahun lamanya. Semuanya mirip situasi saat ini, dengan suasana kedai kopi yang pekat aroma Robusta dan Arabica, suara orang-orang berbincang yang tak terdengar jelas kata-katanya, tapi Tara tahu ada suara lelaki, perempuan, ada yang serius, bercanda, ada yang tertawa dan menggeram kesal. Dan ada dua perempuan yang duduk berhadapan, saling menatap dan bersikeras untuk tidak menjadi yang pertama berkedip. Tara terus melangkah untuk bergabung dengan mereka, sambil berkata kepada diri sendiri: ini déjà vu.
Aku pernah ke sini sebelumnya, gumam perempuan berbibir tipis dan bermata runcing itu sambil memilih tempat duduk semeja dengan kedua perempuan itu. Meja bundar beralas hitam, di bawah pohon berry.
“Aku pernah ke sini sebelumnya. Maksudku, aku pernah berada di situasi ini sebelumnya. Ketika aku dan ibu rohaniku saling bersitatap dan berkeras mempertahankan pendapat masing-masing, tentang Calon Arang. Adakah ia nenek sihir yang jahat, atau seorang ibu yang terluka karena anak gadisnya disakiti. Dan kini, kedua perempuan yang terus saja bersitatap itu, benar-benar seperti aku dan ibuku. Apa yang sedang mereka perdebatkan?”
Tara memesan kopi hitam dan sambil menunggu pesanannya tiba, diam-diam mengamati kedua perempuan di depannya. Perempuan berkaca mata mulai mendesah, menurunkan tatapannya dan tampak gundah. Perempuan berambut ikal dan berkalung manik menaikkan sudut bibirnya yang kiri, seolah menikmati kemenangan kecil dari adu tatap yang tadi ia lakukan.
“Tapi Dea, kalau tak kau tuliskan, lalu bagaimana caranya pesanmu bisa tersampaikan ke orang-orang?”
Perempuan berkaca mata berbicara seolah-olah sedari tadi mereka berdua memang sudah berdebat, dan bukan hanya adu tatap saja. Atau mungkin, tadi sebelum Tara datang, kedua perempuan itu sudah berdebat dulu sebelum akhirnya bersitatap? Tara mencoba menebak-nebak, sambil berusaha agar tidak terlihat terlalu ingin tahu dan mengamat-amati mereka.
Perempuan berkalung manik, yang agaknya bernama Dea, memiringkan kepalanya sambil tertawa kecil.
“Aku tak ingin orang-orang disesatkan oleh pikiranku yang liar. Sedang keluargaku, orang-orang terdekatku saja merasa gerah dan tersinggung karena tulisanku; karena itu aku mereka bilang sesat dan murtad. Mereka tak paham, mereka tak bisa melihat ada sisi positif dari tulisanku. Orang-orang lain pasti begitu juga. Buat apa menyesatkan banyak orang? Bila pun memang tulisanku sesat, biarlah setidaknya hanya aku yang sesat. Biarlah hanya pikiranku yang meliar, menggila tanpa jeda.”
Tara menundukkan kepalanya, hingga rambut panjangnya nyaris masuk ke dalam cangkir kopi. Ia berusaha menyembunyikan paras wajahnya yang lonjong dan tiba-tiba terasa kehilangan darah, karena terkejut. Apa yang diucapkan Dea tadi, persis seperti pikirannya beberapa tahun yang lalu, saat duduk berhadapan dengan ibu rohaninya dan asyik berdebat. Bahwa buah pikirannya yang tak lazim, dianggap liar dan sesat oleh keluarganya, hingga ia pun dianggap gila.
Mendengar ucapan Dea, perempuan berkaca mata menyibakkan rambut yang terurai menutupi sebelah lensa kaca matanya dengan gerakan tak sabar.
“Kenapa kau percaya pada pendapat keluargamu? Kenapa kau tak bisa percaya pada orang-orang yang sependapat denganmu, seperti aku misalnya? Kenapa kau tak bisa mempercayai dirimu sendiri, bahwa pikiranmu itu orisinil, pendapat yang berharga? Kejujuran itu langka, Dea. Termasuk jujur pada diri sendiri. Coba jawab aku, sungguh-sungguhkah kau tak percaya bahwa pikiranmu layak dituliskan dalam sebuah buku?”
Mata Dea tampak merenungi sesuatu di belakang kepala perempuan berkaca mata, seolah menatap sosok yang tak kasat mata di sana. Pupil matanya melebar, menandakan emosinya yang mulai bergejolak. Lalu tiba-tiba ia mengalihkan tatapan dari titik di belakang perempuan berkaca mata, dan menatap lekat-lekat ke bola mata perempuan itu, membuat si perempuan berkaca mata gugup dan berusaha menutupi kegugupan dengan menggerakkan gagang kaca matanya di pelipis kanan. Walau gugup, ia bersikeras untuk membalas tatapan Dea.
“Kalau mereka salah, kenapa mereka begitu berkeras untuk melarang aku? Kenapa sampai harus mengambilku dari kampus dan mengurungku berhari-hari di rumah, agar aku tak menulis lagi? Dan ketika aku berontak lalu lari ke rumah pamanku, kenapa mereka malah mengirimkan petugas rumah sakit jiwa untuk mengambilku secara paksa, memborgol dan membawaku ke panti perawatan orang-orang sakit jiwa? Kenapa. Rin??”
Perempuan berkacamata, yang dipanggil Rin oleh Dea, menghela napas sambil menggelengkan kepalanya. Raut wajahnya sedih dan prihatin saat mulai berucap,
“Begitulah dunia, Dea. Begitulah mereka yang memandang tapi tak melihat apa- apa selain apa yang ada di permukaan. Mereka yang mendengar tapi tak menyimak selain suara-suara. Kau pecinta kata, aku juga, Kita melihat ke dalam makna, kita menilik keindahan jiwa dari tulisan yang adalah anak-anak jiwa penulisnya. Jangan kau aborsi anak-anak jiwamu dengan tak melahirkan mereka dalam bentuk tulisan, Dea. Mereka berhak dilahirkan. Kau dibiarkan hidup hingga kini, karena mandat yang diberikan padamu adalah itu: Menjadi ibu bagi anak-anak jiwamu, dan melahirkannya dalam bentuk tulisan.”
Ada keheningan yang menggantung di udara sekitar meja bundar beralas hitam di bawah pohon berry, setelah Rin menyelesaikan kalimatnya. Untuk beberapa detik, yang terdengar hanya deru napas Dea yang agaknya sedang terbakar emosi.
“Walau itu berarti kau dijauhi? Ditolak oleh keluargamu sendiri?”
Nada suara Dea terdengar sinis dan pahit. Sudut bibirnya kembali naik, menandakan senyum ironis.
Rin kembali melakukan gerakan membetulkan letak kaca matanya, sambil menatap Dea dengan mata yang tiba-tiba membasah.
“Ya. Dan tidak semua orang diberikan mandat seperti kau dan aku, Dea. Mandat untuk menjadi penulis dan melahirkan buah pikiran kita dalam bentuk tulisan. Hanya orang-orang terpilih, yang sudah dibekali dengan keberanian dan keteguhan hati untuk menghadapi tantangan. Kau adalah perempuan pemberani dan perkasa, kau memindai dunia dan kehidupan dengan mata jiwa, kau punya kemampuan untuk menuliskan semua, agar orang-orang membaca dan mengetahuinya. Mereka memang akan menolak tulisanmu, dan juga menolak bahkan menyakitimu. Bukankah itu juga yang terjadi pada nabi-nabi dan para pemikir di masa silam? Ingatkah kau bagaimana salah seorang nabi mendeskripsikan dirinya, bahwa ia adalah suara yang berseru-seru di padang gurun? Walau nyaris mustahil ada yang mendengar apalagi menerima, karena sangat langka ada manusia di padang gurun, namun itu tak menghentikan dirinya dari terus berseru-seru.”
Ucapan Rin terhenti sejenak karena tiba-tiba ia terbatuk, seolah arus kalimatnya terhalang oleh serak haru yang tiba-tiba memenuhi dirinya. Rin seolah tidak sedang berkata-kata pada Dea, tapi kepada dirinya sendiri. Tara menduga, Rin juga mengalami penolakan oleh keluarganya, seperti yang dialami Dea.
Dea menghela napas panjang. Ditengadahkannya kepala, menatap ke atas, dan pandangannya terfokus pada gerombolan buah berry yang tersebar di cabang-cabang pohon.
“Wah, sebentar lagi buah-buah ini bakal matang. Kita harus ke sini lagi nih, Rin, pas buah berrynya matang. Supaya bisa tahu rasanya. Aku belum pernah mencicipi rasa buah berry!”
Rin mengeluarkan suara yang tak jelas, apakah isak tangis atau tawa singkat. Digelengkannya kepala hingga rambutnya terlempar ke kiri dan kanan, sambil menatap Dea dengan mata sedikit kesal.
“Kau itu ya, selalu pakai modus melarikan diri dari diskusi dengan mengalihkan topik!”
Tara tak bisa menahan diri untuk tidak menggerakkan tangan menutupi mulut untuk menyembunyikan senyum lebarnya. Ia pun berpikiran sama, Dea sedang berusaha mengalihkan pembicaraan, tapi menurutnya bukan untuk melarikan diri. Dea sedang berusaha menyelamatkan Rin dari situasi penuh haru yang mungkin akan disesali atau berpotensi membuat malu perempuan berkaca mata itu.
Gerakan Tara membuat Dea dan Rin tersadar, bahwa sedari tadi Tara ada dan turut mendengarkan semua percakapan mereka. Pipi Rin agak memerah, dan Dea tampak agak kikuk, membuat Tara merasa iba. Cepat-cepat ia menoleh ke atas dan berkata sambil menunjukkan tangan ke satu arah,
“Itu ada beberapa yang sudah berwarna hitam. Artinya sudah matang, bisa dimakan. Kita ambil yuk!”
Spontan kepala Dea dan Rin juga turut menengadah ke arah yang ditunjuk Tara.
“Mana, mana? Banyakkah? Wah, asyik nih!”
Tara beranjak dari duduknya, dan berjalan mendekati cabang pohon yang ada gerombolan buah berry yang sudah hitam. Tepat di bawah cabang pohon itu, ada bangku kayu. Tara segera menaikkan kakinya dan berdiri di atas bangku, menggapaikan tangan berusaha memetik gerombolan buah berry hitam. Berhasil. Ia segera turun, dengan buah-buah berry hitam dalam genggamannya. Sambil tersenyum, dijulurkannya tangan kepada Dea dan Rin, lalu membuka genggaman tangan dan menawarkan buah-buah berry hitam kepada kedua perempuan yang tersenyum lebar itu,
“Ini, makanlah. Tidak banyak, dan tidak terlalu manis. Tapi setelah dikunyah, ada rasa sepat yang khas di lidah dan warna hitam yang membekas, seperti pewarna di mulut. Unik. Seperti kita.”
Tara tersenyum setelah menyelesaikan kalimatnya, sambil menganggukkan kepala, memperkuat niatnya menawarkan buah berry hitam kepada kedua perempuan di hadapannya. Bola mata Dea dan Rin membersitkan sinar pemahaman, dan sambil tersenyum hangat keduanya menjulurkan tangan mengambil buah berry hitam dari telapak tangan Tara.
Tiba-tiba, hidup tidak lagi terasa begitu terasing dan menyedihkan.
MN, Maret 2021