PojokTIM – Cukup lama Uki Bayu Sedjati terdiam. Seperti memaksa pikirannya melabuh ke masa yang telah jauh ditinggalkan melalui lorong ingatan yang tertutup kabut waktu. Suaranya bergetar setiap kali menemukan satu kenangan berkesan yang selama ini lesap di bawah peristiwa-peristiwa baru. Keluh pun sesekali terdengar.

“Banyak peristiwa yang tidak dapat saya ingat lagi,” ujar Uki Bayu disertai hela napas berat pada suatu senja akhir 2024 di Taman Ismail Marzuki (TIM) Pusat Kesenian Jakarta  (PKJ), Cikini, Jakarta Pusat.

Uki Bayu Sedjati adalah saksi dari panggung besar kesenian di Jakarta, khususnya di daerah Bulungan. Jejaknya terpatri sejak awal tahun 1970-an ketika memulai derap langkahnya di jagat teater dan sastra. Teater Remaja Bulungan menjadi saksi bisu dari sepotong perjalanan hidupnya.

“Jika pentas di TIM, namanya Teater Gelanggang Remaja karena saat itu pemerintah sedang gencar memperkenalkan kehadiran Gelanggang Remaja di seluruh wilayah Jakarta sebagai pusat kegiatan para remaja di bidang seni dan budaya,” ujar Uki Bayu, penulis novel Wartawan Kerah Hitam, hasil kolaborasi dengan Hari Agustono.

Kesibukannya sebagai wartawan Amanah, memaksa Uki Bayu surut dari jagat teater. Namun karya tulisnya berupa cerpen dan puisi masih deras mengalir, dan banyak menghiasi media massa medio 80-an sampai 90-an. Sampai sekarang Uki Bayu masih aktif di sejumlah komunitas seni.

Berikut petikan bincang PojokTIM dengan Uki Bayu Sedjati yang tetap setia mengikuti perkembangan sastra dan sesekali menyaksikan kegiatan kesenian di TIM.

Seperti apa aktifitas kesenian di Gelanggang Remaja Bulungan tahun 1970-an?

Di awal tahun 70-an, Gelanggang Remaja Bulungan menjadi pusat kegiatan kesenian yang semarak dan menjadi tempat nongkrong seniman bukan hanya yang domisili di Jakarta Selatan, namun juga dari wilayah lain. Setiap minggu banyak kegiatan seni, baik berupa latihan maupun pementasan, sehingga Bulungan menjadi pusat kesenian alternatif di Jakarta.

Di sana ada Dapur Sastra Bulungan (DSB) yang didirikan Adri Darmadji Woko dan Kurniawan Junaedhie. Kemudian Sanggar Garajas yang digawangi Dimas Praz dan para perupa lainnya. Saat itu, saya sendiri lebih nyaman berkegiatan di Bulungan daripada di TIM.

Apa yang paling Anda kenang dari Gelanggang Remaja Bulungan?

Banyak peristiwa besar kesenian yang lahir atau diciptakan di Bulungan. Bukan hanya sastra, namun juga teater dan musik. Ketika menyebut Bulungan, ingatan orang akan langsung pada kegiatan kesenian. Kebetulan Bang Ali (Ali Sadikin, Gubernur DKI Jakarta 1966-1977) menaruh perhatian besar pada Gelanggang Remaja Bulungan sehingga ketika Ratu Elizabeth melakukan kunjung kenegaraan ke Indonesia, dan ingin melihat aktifitas kesenian di Jakarta, diajak oleh Bang Ali ke Bulungan. Saya termasuk yang ikut bikin acara di sport hall untuk menyambut kedatangan Ratu Inggris itu.

(Catatan Redaksi: Ratu Elizabeth II melakukan kunjungan kenegaraan ke Indonesia bersama Pangeran Philip, Duke of Edinburgh, pada 21 Maret 1974. Selain diterima Presiden Soeharto, dan menyaksikan kegiatan seni budaya di Jakarta dan Bogor, Ratu Inggris bersama rombongan juga melakukan kunjungan ke berbagai daerah, termasuk Yogyakarta).

Katanya sering terjadi tawuran?

Saat itu memang masih marak tawuran, geng-gengan. Tujuan dibangunnya gelanggang remaja di sejumlah tempat di Jakarta, salah satunya juga untuk mengatasi persoalan itu. Namun tetap saja, namanya anak remaja, ketika bertemu kelompok lain yang tidak dikenal dan kebetulan bersenggolan, langsung memicu tawuran. Demikian juga di kalangan seniman muda. Meski tidak terkait langsung dengan kesenian, tapi usai nonton pertunjukan seni sering juga terjadi bentrokan yang biasanya diawali dengan saling ejek.

Anda pernah ikut tawuran juga?

Pernah, karena rasa solidaritas. Melihat teman kita dikeroyok, mau tidak mau saya ikut terjun (tawuran). Karena lu teman gue, maka gue wajib bantu. Sebatas itu.

Kapan Anda nulai berkecimpung di teater?

Saya aktif di teater sejak tahun 1971. Awalnya hanya menyaksikan sekelompok remaja yang sedang beraktifitas seni di Gelanggang Remaja Bulungan. Saya juga berinteraksi dengan Teguh Karya, Rendra, Slamet Rahadjo dan lain-lain. Saya kemudian mendirikan Teater Remaja Bulungan, tahun 1973. Teater saya termasuk generasi pertama karena saat itu teater remaja belum umum. Setelah itu banyak teater remaja berdiri, terutama sejak ada Festival Teater Remaja (kini Festival Teater Jakarta) yang digagas Wahyu Sihombing tahun 1973.

Pernah pentas di TIM?

Teater remaja yang pertama kali pentas di TIM adalah teater remaja Bulungan. Sebenarnya TIM tidak boleh untuk pentas teater remaja, harus teater yang sudah mapan, dikurasi secara ketat. Tetapi karena waktu itu bos-bos di TIM, termasuk pengurus Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) banyak alumni Bulungan, bahkan masih aktif, maka kami bisa pentas di TIM. Ada semacam keistimewaan. Teater saya juga pernah mengikuti festival teater yang digelar di TIM.

Kalau pentas di luar Jakarta?

Tahun 80-an kami pentas keliling ke beberapa daerah seperti Tegal, Purwokero, Ngawi, dan Solo. Itu momen paling berkesan. Karena nama Bulungan sudah lekat dengan kesenian, ketika kami pentas mendapat sambutan cukup antusias dari seniman-seniman di daerah.

Bagaimana peran pemerintah waktu itu terhadap kesenian, seperti teater?

Pemerintah membantu kegiatan teater remaja di Bulungan. Dibantu dari mulai latihan sampai pentas. Terlebih Teater Remaja Bulungan, karena dijadikan semacam percontohan bagi gelanggang-gelanggan remaja lain, maka kami mendapat perhatian dari pemerintah. Mungkin karena dianggap bisa mengurangi tawuran antarremaja, Bang Ali sangat serius membangun pusat-pusat kegiatan remaja dan mendorong kegiatan seni, termasuk teater.

Dalam kegiatan kesenian, apa bedanya remaja zaman dulu dan sekarang?

Remaja zaman dulu rata-rata militan. Mereka totalitas berlatih, ada atau tidak ada festival. Sementara kalau yang saya lihat, remaja sekarang kurang memiliki semangat seperti itu. Mungkin juga karena sekarang semua serba mudah, dan banyak hiburan.

Anda masih main teater?

Saya tidak main teater lagi. Terakhir (ikut pentas) tahun 91. Sekarang paling hanya baca puisi.

Tapi masih suka menulis?

Iya, menulis novel, esai dan puisi. Tapi tidak seproduktif dulu.

Bagaimana Anda melihat TIM sekarang?

Zaman dulu TIM dianggap sangat tinggi oleh pelaku seni, baik teater, sastra, tari dan lainnya. TIM juga tempat nongkrong seniman. Banyak warung-warung yang menjadi tempat kita bertemu, ngopi sambil ngobrol apa saja. Seringkali ide dan gagasan lahir dari situ.

Kalau sekarang TIM milik pemerintah, bukan milik seniman lagi. Bisa mendapat fasilitas, bisa pentas murni karena kedekatan dengan pemerintah. Akibatnya secara kualitas, saya lihat biasa-biasa saja, ukurannya tidak jelas. Kalau niatnya sebatas untuk pemberdayaan, ya bagus-bagus saja. Tapi, menurut saya, kualitasnya juga harus ditingkatkan.

Ada pesan untuk generasi muda yang masih membangun eksistensi?

Anak muda harus banyak berkarya. Jangan terlalu terlibat dalam keriuhan informasi. Seolah-olah harus tahu semuanya. Ketika ketinggalan informasi merasa risau. Merasa paling tahu, padahal apa yang kita ketahui, orang di ujung gunung pun sudah tahu karena sekarang informasi dapat diakses dari mana saja.

Jadi, tidak perlu semua informasi didengar dan ditelaah. Harus pandai memilah dan mencerna. Biar saja suatu informasi berlalu jika memang tidak ada hubungannya dengan aktifitas kita.

Bagikan ke Media Sosial

Hubungi Admin Jika Ingin Meng-copy Konten Website ini