PojokTIM – Lepas acara buka puasa bersama di bilangan Matraman, PojokTIM secara khusus mendekati sosok yang sudah tidak asing, Ananda Sukarlan. Setelah mengenalkan diri, maksud pun tersampaikan. Padahal kondisi komponis internasional yang humble itu sedang kurang baik-baik saja akibat kakinya terkilir sehingga harus menggunakan kruk.
“Kita berteman di Facebook. Nanti (pertanyaannya) kirim via messenger,” ujarnya ramah.
Belum sempat PojokTIM mengirim daftar pertanyaan, satu-satunya pianis Indonesia yang masuk daftar The 2000 Outstanding Musicians of the 20th Century karena dedikasinya pada dunia musik, itu sudah mengirim nomor WhatsApp sehingga komunikasi selanjutnya dilakukan melalui aplikasi pesan singkat.
Untuk diketahui, mengutip Wikipedia, Ananda Sukarlan telah memperdanakan lebih dari 300 karya baru yang ditulis khusus untuknya oleh komponis-komponis dunia seperti Peter Sculthorpe, David del Puerto, Per Norgard, dan Gareth Farr. Musik-musik tersebut menggunakan elemen-elemen etnik Indonesia yang telah diperkenalkan oleh Ananda Sukarlan. Selama periode 1995-2006 Ananda Sukarlan mengadakan minimal 50 konser setahun.
Karya Ananda Sukarlan paling terkemuka adalah Rapsodia Nusantara yang sangat virtuosik untuk piano yang kini berjumlah 40 nomor, di mana setiap nomor didasari oleh musik rakyat dari satu provinsi di Indonesia. Nomor-nomor tersebut telah dimainkan oleh ratusan pianis baik dari Indonesia maupun internasional.
Selain komponis, Ananda Sukarlan juga dikenal sebagai pembicara dan telah diundang untuk mengajar dan memberi ceramah di berbagai tempat, antara lain Universitas Indonesia, Universitas Satya Wacana (Salatiga), Universitas Brawijaya (Malang), Middlesex University (London), Edinburgh University, Griffith University (Brisbane, Queensland), Sydney Conservatory of Music, Maastricht Conservatory of Music, Monterrey Conservatory (Meksiko) dan banyak konservatorium di Spanyol.
Berikut wawancara lengkap PojokTIM dengan Ananda Sukarlan, Senin (24/3/2025).
Sebagai komponis terkenal, Anda suka blusukan menghadiri acara pembacaan puisi yang oleh sebagian orang dihindari. Apa yang melatarbelakangi?
Ah, senang saja “berburu puisi” sekalian berkenalan dengan penyair yang sajaknya menginspirasi saya. Walau demikian, saya sebetulnya tidak begitu suka pembacaan puisi yang terlalu dramatis. Buat saya, itu menghilangkan imajinasi saya dan juga metafora puisi itu. Misalnya, elemen kemarahan selalu dibaca dengan berteriak lantang, padahal bahkan penulis Clive Staples Lewis menulis, “I sat with my anger long enough until she told me her real name was grief”. Jadi marah atau teriak-teriak itu agak dangkal buat saya. Kedalaman arti “marah” malah hilang. Saya pun kalau sudah marah sekali justru malah diam.
Seringkali, interpretasi saya terhadap puisi berbeda dengan sang pembaca bahkan penyair, dan itulah indahnya puisi, bisa ditafsirkan dengan berbagai cara. Makanya saya selalu menggubah musik hanya dengan puisi sebagai tulisan di depan saya, dalam sunyi sehingga saya bisa masuk ke roh puisi tersebut.
Dalam beberapa tahun terakhir Anda sangat antusias menjadikan puisi sebagai lirik lagu. Kapan tepatnya Anda mulai tertarik menjadikan puisi sebagai lirik lagu?
Sebetulnya sudah sejak saya kuliah di Royal Conservatory of Music, Den Haag. Di sana saya belajar tradisi Eropa, mengawinkan sastra dan musik sejak abad 19 dengan para komponis Johannes Brahms, Franz Schubert, Claude Debussy dan lain-lain. Membuat musik dari untaian kata-kata indah Heinrich Heine, Charles Baudelaire, Paul Verlaine dan sebagainya. Di Indonesia tradisi yang berumur pendek ini telah hilang dengan meninggalnya komponis Mochtar Embut di tahun 1973. Embut telah membuat musik dari puisi-puisi Rendra, Chairil Anwar dan lainnya. FX Sutopo dan Trisutji Kamal juga telah membuat beberapa, tapi tidak banyak.
Sejak kuliah di Eropa saya telah menggubah musik berdasarkan karya sastra Robert Frost, Walt Whitman, Federico Garcia Lorca, semua dalam bahasa Inggris dan Spanyol. Tapi sejak adanya internet di tahun 2000-an, saya yang saat itu masih tinggal di Spanyol, menemukan berbagai mahakarya Indonesia dari Sapardi Djoko Damono, Joko Pinurbo, dan berlanjut sampai sekarang, sudah ratusan penyair.
Karya pertama saya dalam bahasa Indonesia adalah KAMA berdasarkan puisi Ilham Malayu yang ditulis sewaktu sang penulis dipenjara di Bangkok, untuk soprano dan pianonya. Saat saya mulai berkonser kembali di Indonesia, sering bikin dengan format besar yaitu orkes dan paduan suara, seperti yang saya lakukan dengan puisi Chairil Anwar, Krawang Bekasi. Saat ini videonya masih ada di YouTube. Tapi ternyata di Indonesia tidak semudah di luar negeri untuk konser dengan orkes, sedangkan keinginan untuk membuat musik dari puisi terus mengalir. Jadi kebanyakan saya bikin untuk piano saja atau formasi kecil, seperti trio atau kuartet.
Setelah itu, bukan hanya puisi, tapi bahkan naskah drama telah saya gubah menjadi opera, seperti cerpen Laki-laki Sejati karya Putu Wijaya, Clara atawa Wanita Yang Diperkosa dari Seno Gumira Ajidarma dan lainnya. Jadi kalau sering dibilang bahwa saya yang “meneruskan mata rantai yang putus” antara sastra dan musik di Indonesia, itu tidak murni benar, karena saya tinggal di lingkungan Eropa lingkungan yang sangat lumrah “mengawinkan” dua bidang seni ini. Tapi ternyata kalau saya memang melakukannya untuk Indonesia, ya Alhamdulillah!
Ada esai yang bagus sekali dari Prof Dr Effendi Kadarisman tentang tembang puitik dan bedanya dengan musikalisasi puisi yang dimuat di tatkala.co berjudul Tembang Puitik Ananda Sukarlan: Penerjemahan Intersemiotik. Intinya, menurut Prof Effendi, tembang puitik adalah komposisi musik klasik yang terinspirasi oleh puitika dalam sebuah bahasa.
Apa keistimewaan tembang puitik?
Pada tembang puitik, piano sebenarnya memegang peranan sangat penting untuk membentuk karakter musik dan menyampaikan emosi serta suasana lagunya. Kebetulan konsep tembang puitik belum ada di Wikipedia, jadi perlu saya jelaskan di sini.
Tembang puitik adalah istilah terjemahan dari bahasa Inggris yakni art song yang sudah ada di Wikipedia bahasa Inggris dan yang kini populer mendefinisikan karya-karya klasik yang berdasarkan puisi yang ditulis oleh penyair, bukan oleh sang komponisnya sendiri. Banyak komponis, saya salah satu contohnya, sebetulnya adalah “penyair frustrasi” yang tidak bisa mengekspresikan perasaan lewat kata-kata, tapi pengagum kata-kata. Dan kata-kata itu melukiskan hal-hal yang tidak bisa dilukis secara visual, jadi kami para komponislah yang melukisnya, dengan kanvas kesunyian dan kami cipratkan bunyi-bunyi di situ.
Jika dimaksudkan sebagai dialog musikal antara pianis dan vokalis, atau masih menganggap bahwa pianis itu hanya sekadar mengiringi, itu sudah menyeleweng dari konsep asli tembang puitik.
Itulah sebabnya saya ingin menyodorkan konsep hubungan pianis dan vokalis dalam memainkan tembang puitik dengan posisi pianis sebagai collaborative pianist atau pianis pendamping, bukan pengiring.
Dengan posisi tersebut, hubungan yang erat antara musik yang diciptakan oleh pianis dengan lagu yang dibawakan oleh vokalis yang mengubah bentuk puisi menjadi tembang puitika menjadi tidak bisa dilepaskan satu sama lain.
Seorang pianis kolaboratif berlatih dan tampil dengan penyanyi, instrumentalis, atau ansambel. Dan seorang pianis kolaboratif harus mempersiapkan bagian musiknya sendiri sebelum berlatih dengan pemain lain atau penyanyi atau ansambel.
Sudah berapa puisi yang Anda gubah menjadi lagu?
Sampai saat ini mungkin sudah 500-an, dalam tiga bahasa yakni Inggris (Amerika), Spanyol, dan Indonesia. Untuk yang bahasa Spanyol, puisinya dari para penyair Amerika Selatan seperti Amado Nervo, Jorge Carrera Andrade, Cesar Vallejo, dan Alejandra Pizarnik. Sedang yang bahasa Indonesia, ada sedikit bahasa Jawanya di puisi Sepanjang Prawirotaman karya Kurnia Effendi.
Kesulitan apa yang paling sering ditemukan saat menggubah puisi menjadi lirik lagu?
Sebetulnya benda apa pun, buat saya yang mengidap sindrom Asperger, dan juga Sinestesia yang mungkin sebagai efek samping Asperger’s Syndrome, itu berbunyi musik. Tinggal definisi dari “musik” itu sendiri saja yang harus jelas. Tagihan listrik atau kartu kredit bahkan resep dokter, kalau ini karena kurva-kurva goresannya, bukan kelayakan atau kejelasan tulisan dokternya, atau hal-hal visual seperti kopi yang tumpah di taplak meja putih pun berbunyi musik buat saya.
Hanya saja saya yakin 1000% bahwa musik yang berasal dari hal-hal itu tidak menarik atau layak saya lemparkan ke pendengar. Jadi kriteria saya adalah lebih ke nilai artistik. Nah, kadang-kadang dengan karya sastra yang sangat hebat pun saya tidak berniat untuk menjadikannya musik, karena karya itu sudah sangat padat dan metaforanya sudah sangat abstrak sehingga musik yang saya dengar dari situ pun akan terdengar terlalu kompleks atau jenuh. Misalnya Sonet-nya William Shakespeare. Sampai saat ini saya hanya membuat dua tembang puitik dari sonetnya sang pujangga besar Inggris ini.
Tetapi ada beberapa karyanya yang saya buat musik instrumental tanpa teks, kebanyakan untuk piano solo, atau yang sudah sangat terkenal di kalangan para pemain biola adalah Sweet Sorrow dari kata-kata Juliet kepada Romeo di act 2 scene 2, “Good night! Good night! Parting is such sweet sorrow / That I shall say goodnight till it be morrow”. Kesedihan yang berasa manis ini sangat bisa memicu akord A mayor dengan sentuhan disonan, di mana kata-kata itu sudah melebur karena saya memang menggunakan nuansa kesedihan di balkon tempat dua sejoli itu mau berpisah.
Adakah puisi yang memberi kesan mendalam selama proses menjadikan lagu?
Semuanya sih. Kalau tidak memberi kesan mendalam, saya tidak melihat perlunya saya transformasikan menjadi lagu.
Anda sering mengadakan lomba musik dengan lirik dari puisi?
Yang memulai bukan saya, tapi Amadeus Enterprise di bawah pimpinan Patrisna May Widuri, seorang guru piano dan enterpreneur di Surabaya tahun 2011. Kompetisinya bernama Tembang Puitik Ananda Sukarlan, diselenggarakan tiap 2 tahun sekali. Sejak pandemi kami ambil alih dan digabungkan dengan Ananda Sukarlan Award (ASA), untuk semua instrumen dan vokal klasik, diselenggarakan setiap 2 tahun. Tahun ini sedang berlangsung babak penyisihan lewat video, dan finalnya 12 Juli nanti.
Nah kemudian saya sendiri mendirikan Kompetisi Piano Nusantara Plus (KPN+), di mana “plus” artinya instrumen apapun dan lagi-lagi vokal klasik, yaitu tembang puitik. KPN+ dari segi jumlah peserta menjadi jauh lebih sukses daripada ASA karena memang kriterianya ditujukan bukan untuk musikus yang sudah semi profesional, sudah kuliah musik seperti di ASA. Dari KPN+ inilah kita membuka mata ke bibit-bibit baru musikus dan vokalis tentang hubungan dengan sastra, sehingga dunia sastra kini berpelukan erat dengan dunia musik klasik di Indonesia yang sebelumnya hubungannya kurang mesra, bahkan belum saling berkenalan.
Apakah ada keinginan untuk menggelar konser di mana semua lirik lagunya dari puisi?
Ada dong. Kalau sebagai “selingan” di konser saya, sudah sering, tapi eksklusif tembang puitik, memang baru dua kali di Indonesia, yaitu di Ubud Writers Festival, dengan soprano Mariska Setiawan, dan Payakumbuh Poetry Festival dengan beberapa vokalis muda dari Institut Seni Indonesia di Padangpanjang.
Siapa penyair favorit Anda?
Wah, banyak. Yang bahasa Inggris, pasti Walt Whitman dan Emily Dickinson berada di puncak kekaguman saya, terbukti dengan banyaknya puisi yang telah saya bikin musik. Kalau Indonesia, yang sudah mendahului kita Sapardi, Sitor Situmorang, Umbu Landu Paranggi, Joko Pinurbo. Yang masih berkarya, aduh, terlalu banyak jadi lebih baik tidak saya sebut semua deh. Mereka memiliki karakter sendiri-sendiri, yang menghasilkan musik yang berbeda yang tadinya saya sendiri tidak sadari bahwa saya bisa membuat musik seperti itu. Lewat karya seni orang lain, saya menemukan hal-hal baru dalam diri saya sendiri.
Bagaimana Anda melihat perkembangan dan apresiasi masyarakat Indonesia terhadap musik klasik saat ini?
Sejak pandemi jadi banyak yang sangat antusias, mungkin karena selama pandemi orang-orang lebih aktif nonton YouTube dan terpaku di layar, sehingga mereka jadi mengenalnya lewat permainan para musisi yang memang berkualitas. Saya juga, melalui Dirjen Kebudayaan (sekarang Kementrian Kebudayaan) membuat beberapa video serial Rapsodia Nusantara untuk YouTube dari berbagai lokasi ikonik, seperti Manokwari, peninggalan Majapahit di Trowulan, pengasingan Soekarno di Ende, reruntuhan Sriwijaya di Muaro Jambi, dan lain-lain. Dengan menikmati pemandangan, belajar sejarah (secara tidak sengaja) sambil mendengarkan musik, sepertinya ini banyak menarik minat orang yang tadinya tidak mengenal musik klasik. Ini metode yang sangat efektif, ide dari Dirjen Kebudayaan waktu itu, Hilmar Farid. Penontonnya belasan bahkan puluhan ribu setiap video, yang merupakan kejutan bahkan untuk saya sendiri. Ini hanya teori saya saja, tapi memang semua orang mengakui minat yang melonjak setelah pandemi. Terbukti, peserta Kompetisi Piano Nusantara Plus 2024 mencapai 477 orang!
Apakah Taman Ismail Marzuki pasca revitalisasi, masih cukup representatif untuk menggelar konser musik klasik atau resital piano?
Pertama, saya ingin mengenang toko bukunya Jose Rizal Manua di TIM yang saya suka kunjungi tiap kali pulang ke Indonesia tahun 2000-an. Di situ banyak sekali “harta karun”, buku-buku sastra yang saya bawa pulang ke Eropa. Semoga toko bukunya terus berlanjut bukan hanya untuk menjual buku, tapi sebagai koleksi karya sastra Indonesia termasuk yang langka.
Kalau saya boleh berpendapat, sekarang aura TIM sudah berbeda. Tempat parkir sulit, agak membingungkan. Yang pasti, piano Steinway yang dulu saya bantu untuk galang dana pembeliannya tahun 2000, bersama Miranda Goeltom, saat itu Deputi Senior Gubernur Bank Indonesia dan bekerjasama dengan Jilal Mardhani, ketua TIM waktu itu, tidak mendapatkan perawatan selayaknya. Masa piano berusia kurang dari 25 tahun kondisinya sudah seperti itu? Ada tempat-tempat yang secara fisik lebih baik, seperti Pusat Dokumen Sastra HB Jassin yang keren, tapi secara umum, kurang representatif dan kondusif sebagai alat diplomasi soft power dan sebagai habitat untuk para seniman melahirkan karya seninya.
Tapi sudah terlanjurlah, sekarang bagaimana menjalin hubungan para birokrat dengan para pekerja seni, mendengarkan mereka dan mengelola manajemen seni termasuk menarik minat para investor dan sponsor, dua hal yang berbeda ini, mendukung kegiatan seni untuk memaksimalkan fungsi TIM. TIM juga harus jelas mendefinisikan mana yang bentuknya ekonomi kreatif, mana yang murni pelestarian dan pengembangan kebudayaan. Jika tidak bisa menemukan solusinya, mungkin bisa menjiplak semua metode dari berbagai negara yang sudah berjalan dengan baik.