Oleh: Giyanto Subagio

Panggung puisi tidak bisa dipisahkan dari kode budaya lokal, yaitu tradisi sastra lisan. Masyarakat Indonesia yang terdiri dari berbagai suku bangsa dengan akar tradisi kebudayaan yang sudah sangat akrab seperti syair, pantun, macapat, kaba dan lain-lain.

Di Jakarta orang mengenal Palang Pintu dalam tradisi pernikahan Betawi, yang mana di dalamnya ada berbalas pantun dan silat. Di Minangkabau , Sumatera Barat, orang mengenal teater tradisi yang bersifat kerakyatan bernama Randai. Randai bertolak dari sastra lisan yang disebut kaba (cerita) dan bakaba (bercerita).

Panggung puisi bukan sekedar ruang atau tempat seorang penyair mensosialisasikan karyanya. Bukan juga hanya sebagai jembatan silahturahmi antara penyair dengan masyarakat sastra. Panggung puisi sekaligus ruang untuk membentuk eksistensi diri yang berujung pada pengakuan sebuah nama.
Pelisanan puisi di atas panggung oleh penyairnya dalam tradisi sastra Indonesia modern nampak sepertinya kurang tergarap. Sejak Chairil Anwar sampai sekarang ini, baca puisi di atas panggung belum menjadi sebuah gerakan sastra. Banyak orang lebih mengenal sastra koran, dan sastra majalah, serta sastra buku.

Dalam beberapa dekade terakhir, panggung puisi hanya diisi beberapa penyair seperti Rendra, Hamid Jabar, Sutardji Calzoem Bachri, Emha Ainun Najib, dan juga generasi terkini, yaitu Jose Rizal Manua, Irmansyah, Tan Lio Le, Amin Kamil,, Asrizal Nur, Imam Ma’arif dan Ical Vrigal.

Sepulang dari Amerika, Rendra menawarkan poetry reading yang berbeda dari deklamasi. Hamid Jabar membaca puisi bagai seorang yang sedang ratib, dan dzikir, yang diiringi rebana. Sutardji membaca puisi bagai orang sedang trance (mabuk) dengan bir dan kapak. Emha Ainun Najib membawa seperangkat gamelan di atas panggung.

Sementara Jose Rizal Manua dengan keaktoran dan daya humor yang segar. Irmansyah dengan randai dan saluang (suling). Tan Lio Le dengan vokal dan petikan gitar. Amin Kamil dengan gestur dan vokal keaktoran serta rambut gimbalnya. Asrizal Nur membaca puisi didukung oleh alat multi media yang canggih.

Sedang Imam Ma’arif memanggungkan baca puisi dengan gaya tetrikal dibalut unsur musikalitas yang kental. Ical Vrigal seorang deklamator yang konsisten membaca puisi dengan penguasaan vokal dan bahasa tubuh seorang aktor teater yang piawai.

Exan Zen dan Boy Alhamdi Sulaiman keduanya juga muncul sebagai pemanggung puisi yang handal karena menguasai teks puisi di atas panggung, sehingga teks puisi menjadi tontonan dan tuntunan sebuah pertunjukan puisi.

Puisi Indonesia modern berwajah Barat, sehingga sangat sulit jika kita mencari estetikanya ke puisi tradisional seperti pantun, macapat, kaba, dan lain-lain. Gerakan panggung puisi seharusnya menjadi sebuah momentum untuk mengembalikan tradisi estetika puisi Indonesia modern ke akar puisi tradisional, yaitu pantun, macapat, kaba, dan lain-lain.

Sejarah sastra Indonesia tidak mungkin lahir tanpa dukungan panggung sastra komunitas. Terbitnya karya-karya sastra, baik yang terbit di koran-koran, majalah-majalah dan buku-buku bunga rampai karya sastra, sangat jelas dipengaruhi oleh adanya paguyuban, perkumpulan atau bisa disebut komunitas sastra. Komunitas sastra, yaitu tempat berkumpulnya para sastrawan yang memiliki satu ideologi, satu landasan estetika, dan juga satu kode budaya.

Panggung puisi Indonesia seharusnya menghasilkan sebuah performance art yang menarik dan utuh. Teks di atas panggung bisa ditafsirkan sesuai dengan tanda dan penanda (semiotika). Kata-kata dalam puisi merupakan wujud verbal dalam sebuah puisi, maka mewujudkan begitu saja teks belumlah mencukupi. Pemanggungan harus menampilkan aspek-aspek yang inplisit, tidak terucapkan atau tidak tertulis (Iman Budhi Santosa, Kalakanji, 2003: 149).

Pada jaman pra Islam, puisi sudah difestivalkan. Para penyair Arab pra Islam sudah biasa membacakan puisi di atas panggung. Lalu dalam festival tersebut penyair terbaik diberikan penghargaan dan sorotan publik.

Hal tersebut di atas menunjukan bahwa panggung puisi sudah mentradisi cukup lama di dunia. Akan tetapi karena pengaruh budaya tulis-menulis (literer), budaya lisan (oral) di atas panggung, dan khususnya puisi yang dipanggungkan seperti termarginalkan.

Sesungguhnya penyair adalah panggung itu sendiri, dan puisi adalah isinya. Dengan berkolaborasi dari berbagai cabang ilmu, baik seni maupun non-seni, panggung puisi akan menghasilkan satu seni pertunjukan yang baru.

Bagikan ke Media Sosial

Hubungi Admin Jika Ingin Meng-copy Konten Website ini