Oleh Riri Satria*
Setiap orang memiliki tempat yang ingin dihindari. Bagi saya, selama bertahun-tahun, tempat itu salah satunya adalah Senen—sebuah kawasan yang bagi banyak orang dianggap sebagai jantung mobilitas Jakarta, tetapi bagi saya menjadi simbol dari kekacauan kota besar. Ketika orang menyebut Senen, yang langsung muncul dalam benak saya adalah jalan-jalan yang padat, klakson yang bersahutan, asap kendaraan yang mengiritasi mata, dan suasana yang seolah tak pernah menawarkan ruang bernapas. Senen, dalam imajinasi saya, selalu identik dengan kata semrawut.
Tidak berhenti sampai di situ, ingatan buruk yang saya alami pada kunjungan pertama ke Jakarta pada tahun 1988 semakin menguatkan stigma tersebut. Saat itu, saya baru saja menjadi mahasiswa di Universitas Indonesia (UI) dan hanya ingin membeli buku ke Senen —sesuatu yang sederhana dan seharusnya menyenangkan. Namun pengalaman itu berubah menjadi petaka kecil ketika saya dipalak preman di kawasan Senen sebesar Rp. 3000 pada tahun itu. Peristiwa tersebut menjadi garis tebal dalam memori saya tentang Jakarta. Seperti halnya ingatan traumatis lain yang suka menetap, ia melekat begitu lama hingga menciptakan jarak emosional antara saya dan kawasan itu. Jika tidak ada urusan yang betul-betul penting, Senen bukanlah tempat yang akan saya datangi sukarela.
Namun kota, seperti halnya manusia, selalu berubah. Dan sering kali, kita baru menyadari perubahan itu ketika diberi kesempatan untuk melihat ulang sesuatu yang selama ini kita hindari. Bagi saya, kesempatan itu datang ketika saya mengikuti Festival Senen 2025—sebuah acara yang awalnya tidak saya bayangkan akan mengubah cara saya melihat sebuah kawasan.
Senen yang Tidak Saya Kenal serta Lapisannya yang Tersembunyi
Dua hari berada di tengah kegiatan festival membuka tabir yang selama ini menutupi pandangan saya. Saya mulai menyadari bahwa Senen tidak bisa dihakimi hanya dari hiruk-pikuk masa kini atau dari satu pengalaman buruk di masa lalu. Ketika saya mengikuti penjelasan demi penjelasan oleh mereka yang mengenal Senen di masa lalu pada festival tersebut, saya dikejutkan oleh betapa kayanya masa lalu Senen.
Sebelum Taman Ismail Marzuki (TIM) berdiri 10 November 1968, Senen merupakan tempat berkumpul para seniman Jakarta. Di sini, para pelukis, penyair, dramawan, dan pemikir muda berkumpul, berdiskusi tentang seni dan kehidupan, bahkan merancang gerakan-gerakan budaya yang kelak memengaruhi wajah seni Indonesia. Jalan-jalan yang kini dijejali kios dan kendaraan ternyata pernah menjadi ruang lahirnya ide-ide besar. Penyair legendaris Chairil Anwar pernah lama berkiprah di Senen, demikian pula seniman kondang Betawi, Benyamin Suaeb. Di sudut-sudutnya yang tampak biasa, ada jejak romansa intelektual dan kultural yang kaya dan bagian dari wajah perkembangan Jakarta.
Menyusuri lorong-lorong Senen, saya seakan berjalan berdampingan dengan bayang-bayang sejarah. Ada sensasi seperti membuka album foto tua yang selama ini terabaikan: kita tidak menyangka bahwa sesuatu yang tampak kusam ternyata menyimpan kisah yang begitu berharga. Senen yang saya temui bukan lagi Senen yang penuh kekacauan, melainkan Senen yang memiliki memori kolektif, yang membawa denyut budaya, ekonomi, dan sosial kota ini sejak puluhan tahun lalu. Saya pun memperkaya wawasan saya ini dengan berbagau literatur tentang Senen, dan saya senakin paham betapa Senen ada estetika sendiri yang barangkali tersembunyi.
Ketika Stigma Mulai Meluruh
Perlahan pandangan saya bergeser. Stigma yang selama ini saya genggam erat mulai retak. Saya mulai bertanya pada diri sendiri: apakah selama ini saya tidak adil terhadap sebuah tempat yang bahkan tidak pernah saya beri kesempatan kedua? Adilkah saya memahami bahkan menghakimi Senen dengan pengalaman pribadi yang kebetulan tidak menyenangkan?
Dua hari berada di Festival Senen 2025 membuat saya melihat bahwa Senen adalah cerminan dari Jakarta itu sendiri—sebuah kota yang keras, tetapi juga menyimpan kehangatan; kota yang bising, tetapi menyimpan kisah-kisah lembut; kota yang tampak tak teratur, namun selalu berproses menuju bentuk yang lebih baik. Festival ini adalah sebuah undangan buat saya untuk merevisi cara saya melihat ruang publik dan sejarah urban yang bernama Senen..
Satu hal yang tak kalah penting, saya melihat bagaimana Senen hari ini sedang berbenah. Penataan kawasan telah membuat jalan kaki terasa lebih nyaman, ruang publik lebih tertata, dan suasana keseluruhan terasa lebih terkendali dibanding beberapa tahun yang lalu. Seakan-akan kawasan ini juga ingin memperkenalkan dirinya kembali kepada warga Jakarta—bahwa ia bukan sekadar terminal besar atau pusat perdagangan yang penuh sesak, melainkan ruang yang layak untuk dihargai.
Sebuah Refleksi tentang Kota dan Ingatan
Pengalaman ini membuat saya merenungi hubungan kita dengan kota. Sering kali kita memberi label pada sebuah tempat berdasarkan satu atau dua pengalaman yang melekat, tanpa menyadari bahwa tempat itu juga telah dan sedang berubah. Kota bergerak, tumbuh, dan bertransformasi—kadang lebih cepat dari ingatan kita, kadang lebih lambat dari prasangka yang kita pelihara.
Senen mengajarkan saya bahwa setiap ruang mempunyai banyak versi: versi masa lalu, versi masa kini, versi yang pernah kita alami, dan versi yang tidak pernah kita lihat. Ketika kita membuka diri untuk kembali mengunjungi sebuah tempat, kita memberi kesempatan bagi memori baru untuk menggantikan atau setidaknya menyeimbangkan ingatan lama.
Senen yang Baru dalam Diri Saya
Kini, ketika mendengar kata Senen, saya tidak lagi langsung teringat pada preman atau keruwetan lalu lintas. Yang muncul adalah citra baru—kawasan yang menyimpan sejarah kaya, ruang yang pernah menjadi rumah para seniman, tempat yang sedang berbenah, dan pengalaman dua hari yang mengubah cara saya memandangnya.
Saya mungkin masih melihat kekacauan di beberapa sudut Senen, tetapi saya juga melihat harapan dan cerita. Dan mungkin memang seperti itulah kota seharusnya: bukan hanya ruang fisik yang kita tinggali, tetapi ruang emosional yang terus-menerus kita maknai ulang.
Riri Satria, aktivis sastra, Ketua Jagat Sastra Milenia, pengamat serta praktisi ekonomi, bisnis, dan teknologi, serta akademisi di bidang teknologi dan transformasi digital.


