PojokTIM – Novelis Motinggo Busye memiliki peran sangat besar dalam membawa sastra ke film. Belakangan Motinggo juga banyak menulis skenario, menjadi sutradara sekaligus pemain film. Bahkan Motinggo pernah mengajak HB Jassin bermain dalam filmya.
Demikian dikatakan praktisi film Akhlis Suryapati ketika menjadi pembicara dalam diskusi pembukaan pameran “Titik Balik Motinggo Busye” di Lantai 3 Gedung Ali Sadikin, Selasar Ruang Arifin C Noer, Taman Ismail Marzuki (TIM), Selasa (25/11/2025).
Pameran Titik Balik merupakan upaya untuk mengenang Motinggo Busye yang lahir di Kupangkota, Bandarlampung 21 November 1937. Sebelum diskusi, acara yang dipandu Ewith Bahar juga menampilkan musikalisasi puisi dari mahasiswa Institut Kesenian Jakarta prodi Etnomusikologi dengan penutur Willy Fwi dan konseptor Madia Patra Ismar, serta monolog dari cuplikan novel Sanu Infinita Kembar yang dibawakan oleh Badri.
“Film-film besutan Motinggo banyak dikecam, termasuk oleh Teguh Karya. Namun Motinggo terus berkarya karena kritik bahkan kecaman itu bagian dari diskusi, bukan kebencian, jadi tidak sampai lapor ke Bareskrim seperti sekarang,” ujar Akhlis.
Saat membuka diskusi, moderator Debra Yatim menyebut sering menemukan kata-kata yang masih asing dalam karya Motinggo Busye, termasuk kata bergelinjang yang cukup banyak ditemui dalam novelnya. “Sebagai penulis, Motinggo dikenal aktif memperkenalkan kosakata baru yang belum banyak dipahami secara umum,” kata mantan jurnalis dan aktivis perempuan itu.
Pembicara lain, akademisi yang juga novelis, Free Hearty mengaku kaget ketika diminta menjadi narasumber. Sebab ia tidak pernah membaca novel-novel karya Motinggo karena dilarang oleh orang tuanya. “Saya pertama kali mendengar novel Motinggo saat berusia 15 atau 16 tahun dari obrolan para seniman yang datang ke rumah orang tua saya. Karyanya beredar dengan novel-novel Freddy S dan buku-buku stensilan. Saya pikir, saat itu banyak orang tua, bukan hanya orang tua saya, yang melarang anaknya membaca buku-buku tersebut,” kata Free.
Menurutnya, ada tiga buku yang ia ketahui isinya dari orang lain yakni Malam Jahanam, Tante Girang dan Om Senang. Kesan yang pertama didapat, buku tersebut sangat mengeksploitasi perempuan sebagai objek. “Saya sangat tidak suka,” tegasnya.
Karena diminta menjadi pembicara, Free kemudian membaca dua buku Motinggo berjudul Dosa Kita Semua dan Sanu Infinita Kembar yang didapat dari Adri Darmadji Woko. Dari situ Free mendapat gambaran lain soal karya Motinggo. Perempuan dalam novel itu adalah korban dari sebuah sistem yang membelenggu. “Ini karya luar biasa, akan menjadi karya sepanjang masa,” cetusnya.
Rupanya karya-karya Motinggo juga menarik perhatian generasi muda, bahkan erotisme dalam novelnya dijadikan bahan skripsi oleh Yuki Anggia Putri, pada 2009. Tidak salah ketika Remmy Novaris DM yang menggagas pameran tersebut, membagi proses kreatif Motinggo menjadi tiga bagian yakni Mula, Titik Balik dan Setelahnya. Hal itu didasarkan pada proses kreatif Motinggo di masa awal yang banyak mengeksplorasi sisi erotisme perempuan, lalu karya-karya yang lebih serius dan karya sesudahnya.





