PojokTIM – Berbeda dengan prosa, puisi asing yang diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia masih jarang. Hal itu yang melandasi ide dan keinginan Naning Scheid menerjemahkan buku puisi klasik Perancis berjudul Les Fleurs du Mal karya Charles Baudelaire menjadi Bunga-Bunga Iblis. Puisi Baudelaire sangat penting karena menjadi pionir modernisme perpuisian Perancis.
“Pada abad 19, Victor Hugo dan penyair-penyair Perancis aliran romantisme selalu mengambil inspirasi dari kecantikan dan keindahan. Karya Baudelaire menjadi antitesis aliran romantisme dengan menghadirkan pesona dari hal-hal yang menjijikan,” ujar Naning pada acara Diskusi Buku yang digelar komunitas Jagat Sastra Milenia (JSM) di aula PDS HB Jassin, Cikini, Jakarta, Rabu (14/5/2025). Diskusi juga menghadirkan kritikus sastra Maman S Mahayana dan Guru Besar FIB Universitas Indonesia Rahayu Surtiati dengan moderator Ketua JSM Riri Satria.
Baudelaire memiliki konsep yang jelas ketika memperjuangkan aliran baru dalam puisinya karena sudah membaca dan mempelajari puisi-puisi pendahulunya. Naning berharap penyair-penyair Indonesia juga memiliki semangat dan konsep yang jelas ketika hendak melakukan pembaruan atau menciptakan aliran baru.
Terkait proses penerjemahan, Naning mengakui memiliki banyak kendala sehingga membutuhkan waktu sekitar 2 tahun untuk menerjemahkan Les Fleurs du Mal menjadi Bunga-Bunga Iblis. Terlebih Naning menerjemahkan dalam dua versi yakni setia pada kata dan jelita yang lebih bebas (freestyle) sesuai apa yang dirasakan.
“Penerjemahan yang baik adalah yang setia pada kata. Sementara penerjemahan puisi berbeda, harus jelita. Saya lalu mencoba menggabungkan keduanya, setia pada kata dan jelita secara bahasa, dalam satu buku. Oleh karenanya saya memerlukan kerja ekstra. Saya bisa melakukannya karena passion, bukan commission,” beber Naning yang turut membacakan 3 puisi Baudelaire dalam bahasa asli, sementara versi terjemahannya dibaca oleh Shantined, Nunung Noor El Niel, dan Dhe Sundayana Perbangsa. Sayangnya tidak ada buku panduan untuk mengetahui judul puisinya dalam Bahasa Perancis.
Naning Scheid membacakan puisi karya Charles Baudelaire di PDS HB Jassin. Foto: PojokTIM
Wajib Baca
Kritikus Sastra Maman S Mahayana mengapresiasi penerjemahan puisi karya Baudelaire. Banyaknya buku terjemahan dapat menjadi pembanding agar tidak merasa besar sendiri. Maman mencontohkan Jepang dengan Restorasi Meiji-nya sehingga tidak lagi menjadi bangsa terkungkung dari dunia luar dan merasa hebat sendiri seperti di era Kesoghunan Tokugawa.
“Penyair-penyair Indonesia, kalau mau benar-benar jadi penyair, baca buku (puisi Charles Baudelaire) ini. sebab kepenyairan Baudelaire bukan kaleng-kaleng, tidak biasa-biasa saja,” tegas Maman yang pernah berziarah ke makam Baudelaire.
Penerjemahan karya sastra Perancis menjadi menarik karena selama ini penerjemahan karya asing didominasi karya-karya penulis Belanda yang pernah menjajah Indonesia. Penerjemahan karya sastra di luar Belanda, termasuk Inggris dan Rusia, kebanyakan baru dilakukan pasca kemerdekaan.
Menariknya, demikian Maman, Baudelaire menempatkan puisi Kepada Pembaca di awal. Hal itu penting sekali dan harus dicurigai sebagai kredo- pernyataan pembenaran terhadap estetik puisinya, sebagaimana dilakukan banyak penyair yang membuat kebaruan seperti Chairil Anwar, Sanusi Pane dan juga Raja Ali haji ketika menerbitkan Gurindam, yang berbeda dengan syair dan pantun.
Maman sependapat, suasana yang tercipta dari puisi-puisi Baudelaire sangat kejam, menjijikan seperti iblis, seperti berenang di kegelapan. Tetapi dari situ ada pesona, semangat untuk melakukan pembalikan dari pandangan masyarakat. Baudelaire memiliki konsep atau sikap berkesenian yang jelas dengan menempatkan seni sebagai jalan perlawanan.
“Baudelaire juga memiliki penguasaan bahasa yang mumpuni sehingga bisa menciptakan metafora dan simbolisme tanpa terjebak pada penggunaan alat kelamin secara serampangan,” terang Maman.
Penolakan pada 6 puisi Baudelaire bukan karena asusila. Puisi Baudelaire dianggap tidak bermoral menurut standar masyarakat Perancis Abad 19 karena ketidakpercayaannya pada institusi gereja, mempertentangkan 2 kekuatan yakni Tuhan dan iblis, serta membongkar kemunafikan manusia.
Sementara Rahayu Surtiati lebih menyoroti keberanian dan pemberontakan Charles Baudelaire terhadap nilai-nilai yang berlaku saat itu. Namun karena itu pula, puisi-puisinya menjadi terkenal dan memberikan inspirasi bagi generasi selanjutnya.
“Baudelaire mengelompokkan puisi ke dalam 6 tema yakni melankoli, para penghuni Paris, anggur minuman, bunga-bunga iblis, pemberontakan dan terakhir kematian,” ujar pakar linguistik itu.
Rahayu juga memuji penerjemahan yang dilakukan Naning dengan menggabungkan metode setia dan jelita. Sebab jika hanya menggunakan metode setia, akan mengejutkan pembaca yang tidak membaca penjelasan.
“Hampir tidak mungkin karya sastra diterjemahkan dengan teknik setia. Harus menggabungkan dengan teknik-teknik lainnya seperti yang dilakukan Naning ketika menterjemahkan puisi-puisi karya Baudelaire ,” kata Rahayu.
Di awal acara, Riri Satria menyampaikan JSM turut menjadi saksi dari proses penerjemahan Les Fleurs du Mal yang dilakukan Naning Scheid. JSM akan terus mendorong upaya penerjemahan karya sastra baik dari Bahasa Indonesia ke bahasa asing, maupun sebaliknya.
“Sebelumnya kita mengundang Isadora Fichou yang menerjemahkan puisi Chairil Anwar ke dalam Bahasa Perancis dan sekarang kita mendiskusikan penerjemahan buku puisi klasik Perancis ke dalam Bahasa Indonesia,” ujar staf khusus Menko Politik dan Keamanan itu.
JSM mendatang, menurut Riri, akan fokus menjadi wadah diskusi-diskusi sastra untuk menambah wawasan para anggota dan sahabat JSM, serta masyarakat kesenian pada umumnya.