PojokTIM – Duduk lesehan di teras Teater Besar Pusat Kesenian Jakarta (PKj) Taman Ismail Marzuki (TIM) sambil menikmati kacang rebus, tidak membuat Denting Kemuning kikuk. Sesekali temannya datang menghampiri. Berbincang sejenak, lalu kembali kepada kesibukannya.
Penyair yang tinggal di Surabaya itu juga tidak menunjukkan kegusaran meski sudah lewat pukul 19.00 WIB belum ada tanda-tanda acara Malam Penganugerahan Sastra dan Kebudayaan kepada sastrawan Taufiq Ismail di Teater Besar akan dimulai. Bahkan pintunya masih ditutup.
“Dari Surabaya pagi, naik kereta api,” ujar Denting mengawali pembicaraan dengan PojokTIM, Selasa (25/6/2024), malam.
Denting Kemuning merupakan satu dari sekian banyak penyair yang tinggal di daerah, tetapi sering berkegiatan di TIM. Denting nyaris tak pernah absen menghadiri acara-acara sastra di TIM. Pergaulannya luas dan sering terlibat dalam kegiatan baca puisi anti-korupsi di berbagai daerah.
“Bertemu teman yang seide dan sepemikiran selalu menyenangkan. Sampai kadang lupa jarak (yang ditempuh),” ujar Denting yang telah menerbitkan satu buku kumpulan puisi tunggal berjudul Trembesi di Sudut Kota.
Berikut rangkuman wawancara PojokTIM dengan Denting Kemuning.
Anda masih aktif di komunitas menolak korupsi?
Iya masih aktif. Tapi perlu saya luruskan, Puisi Menolak Korupsi atau PMK itu bukan komunitas. Sebab tidak ada pengurus dan tidak ada anggota tetap. Siapa saja bisa mengusulkan kegiatan, seperti pembuatan buku PMK. Nanti launching-nya di mana, atau mau roadshow ke mana, tergantung siapa yang siap. Mereka yang ketempatan hanya perlu menyediakan tempat dan keperluan untuk acara. Anggota yang datang menggunakan biaya sendiri. Ternyata dengan model itu, kegiatan dapat terjaga. Kami pernah mengadakan kegiatan di Banjarmasin, di Blitar, Malang dan tempat-tempat lain.
Gerakan PMK dimulai sejak kapan?
Sudah lama, lebih dari satu dasawarsa. Kalau tidak salah sejak tahun 2013.
Sebagai penyair yang peduli dengan isu-isu anti-korupsi, bagaimana melihat fakta bahwa sekarang kasus korupsi justru semakin merajalela di semua tingkatan. Seolah-olah apa yang dilakukan teman-teman anti-korupsi, bukan hanya PMK, tidak berguna. Menurut Anda?
Begini, yang namanya korupsi itu penyakit. Sembuhnya, untuk memberantasnya, pasti perlu proses. Kita tidak bisa menampiknya. Nah, sebagai penyair, kita tidak muluk-muluk semisal ingin memberantas korupsi atau supaya tidak ada korupsi lagi. Itu bukan wilayah penyair. Melalui puisi kami hanya berusaha menggerakkan orang supaya sadar terhadap bahaya korupsi, bahwa korupsi bisa mengakibatkan dampak kemanusian yang luar biasa. Biaya sekolah jadi mahal, harga-harga kebutuhan pokok juga mahal. Bukan hanya secara ekonomi, korupsi juga merusak sendi-sendi kehidupan di bidang lain seperti kesehatan mental yang berakibat pada runtuhnya rasa kepedulian antar sesama.
Itu sebabnya setiap kali bikin event menulis puisi, kami memakai tema. Misalnya tema corona (Covid-19). Bagaimana pandemi corona bisa membuat orang korupsi. Dan terbaru tentang presiden. Bahwa proses pilpres pun rawan dengan tindak korupsi, penyalahgunaan jabatan (abuse of power), dan lain-lain.
Artinya hanya sebatas membangun kesadaran masyarakat tentang bahaya korupsi?
Iya, kami mengeduksi masyarakat tentang apa itu korupsi, dan dampaknya, melalui puisi. Pure hanya itu. Sebab kami menyadari, korupsi tidak mungkin bisa diberantas hanya dengan puisi. Harus ada kemauan semua pihak dari pembuat kebijakan, aparat penegak hukum, dan kekuatan politik. Tentu kelompok civil society, seperti penyair ini, juga dapat menjadi kekuatan penekan. Tetapi kami tidak berani berekspektasi terlalu jauh. Prinsip kami, lakukan apa yang kita bisa, sekecil apa pun sebagai wujud kepedulian terhadap permasalahan yang sedang dihadapi bangsa kita. Kalau pun ada mimpi idealis ya sekedar ingin agar kelak orang-orang memiliki kesadaran akan bahaya korupsi, mau ikut bergerak melawan korupsi setelah mendengar atau membaca puisi kami. Minimal bergerak di lingkup terkecil, membentengi dirinya agar tidak ikut melakukan tindak korupsi.
Kabarnya sekarang sedang sibuk bikin kegiatan merajut?
Iya, merajut bersama dengan penyair, Tapi sebenarnya siapa saja boleh ikut. Tidak ada biaya apa pun, gratis. Beda kalau privat. Ada biayanya, seperti di Graha Pena (Surabaya) kemarin.
Apa korelasinya dengan puisi?
Merajut memerlukan tingkat ketekunan, ketelitian dan ketenangan, tinggi. Kalau merajut dalam kondisi tidak tenang, nggak akan bisa, karena berhubungan dengan hitung-meghitung. Kalau merajut dengan hati yang tenang, bergembira, pasti hasil rajutannya bagus.
Sama dengan menulis. kalau tidak tenang, tidak akan bisa menciptakan tulisan yang baik. Kalau pikiran tenang, hati tenang, mudah-mudahan tulisannya pun bagus. Saya kira di situ korelasinya.
Semacam terapi?
Iya, semacam terapi. Setelah bisa merajut, ternyata banyak manfaat yang bisa saya ambil. Kadang ketika sedang tidak punya ide, atau tulisannya macet di tengah jalan (writer’s block), saya alihkan dengan merajut. Sering kali saat sedang merajut, tiba-tiba terlintas sesuatu yang berhubungan dengan tulisan sehingga tulisan yang tadi menthok bisa dilanjutkan.
Sejak kapan senang merajut?
Saya mulai merajut tahun 2015. Memulainya dari nol, dari tidak tahu apa-apa. Awalnya saya melihat tayangan di YouTube. Saya langsung tertarik karena saya pikir bisa untuk mengisi waktu sambil merefleksi diri. Saya kemudian membeli benang, jarum dan peralatan lain untuk merajut. Belajar sendiri. Lama-lama bisa dan saya menikmatinya.
Bagaimana sampai kemudian punya komunitas merajut?
Saya sering posting hasil rajutan di Facebook, dan teman-teman ternyata menyukai, terutama topi dan syal. Kebetulan bermanfaat bagi penulis dan penyair yang suka pakai topi. Bahkan dalam penampilan keseharian juga pakai topi. Terlebih aku juga suka memakai topi yang dipadu dengan hijab.
Dari situ timbul keinginan mereka untuk bisa merajut. Mungkin untuk dipakai sendiri. Akhirnya disepakati untuk mengadakan latihan merajut. Ketika sudah bisa semua, kita merajut bersama untuk mencari ide bentuk yang lebih trendy.
Anda sering mengikuti kegiatan di TIM, yang lokasinya jauh dari Surabaya. Apa motivasinya?
Saya selalu penasaran dengan kegiatan di TIM. Kok bisa selalu ada kegiatan rutin, bahkan setiap bulan pasti ada kegiatan sastra. Sementara di kota atau daerah lain, belum bisa seperti itu. Apakah karena keaktifan komunitasnya, ataukan karena senimannya guyub. Saya ingin tahu dan belajar. Siapa tahu bisa diterapkan di tempat lain, khususnya di Surabaya.
Selain itu saya juga ingin melihat cara perform tokoh-tokoh sastra seperti Bang Jose (Jose Rizal Manua), Bang Tardji (Sutardji Calzoum Bachri), dan lainnya. Kan saya juga suka baca puisi. Dengan melihat mereka, saya mendapat referensi, mendapatkan ilmu sehingga memperkaya wawasan saya.