PojokTIM – Entitas Betawi terentang dalam masa yang cukup panjang. Bukan hanya sejarah dan tokoh-tokoh yang berkaitan dengan suatu peristiwa, Betawi juga memiliki jejak budaya asli yang tumbuh dari rahim “ibunya’ dan budaya hasil akulturasi dengan budaya lain.
Namun masyarakat Betawi abai terhadap pencatatan sehingga jejak peradaban dan tokoh-tokoh yang terlibat di dalamnya, sering dianggap sebagai mitos, termasuk Si Pitung.
“Sejak saya kecil, sudah banyak lembaga Betawi, namun tidak ada yang melakukan pendokumentasian terhadap sejarah dan tokoh-tokoh Betawi. Kisah-kisah yang ada saat ini hanya dituturkan secara lisan sehingga wajar jika ada yang beranggapan hanya mitos,” ujar pemerhati dan peneliti budaya Betawi Chairil Gibral Ramadhan (CGR) dalam Peluncuran Buku Mesigit, Setangkle Puisi Sejarah & Budaya Betawi-Batavia-Jakarta, di PDS HB Jassin, Lt. 14 Gedung Ali Sadikin, kompleks Taman Ismail marzuki (TIM, Jakarta Pusat, Rabu (11/12/2024).
Selain budayawan dan penggiat budaya Betawi, dalam acara yang dipandu Giyanto Subagio dan diisi dengan diskusi serta pembacaan puisi tersebut, menghadirkan nara sumber Aba Mardjan dan Idrus E. Shahab sebagai pemantik diskusi.
Menurut Ketua Forum Jurnalis Betawi, M. Syakur Usman, pencatatan segala hal tentang Betawi sangat penting sebagai bagian dari literasi bangsa. Sebab, banyak hal dari masa lalu yang kini hilang.
“Orang zaman dulu mencatat di (lembar) Al Qur’an, atau pohon. Ketika pindah, pohon itu tidak bisa dibawa. Sedangkan Al Qur’annya mungkin sudah berpindah tangan. Banyak orang Betawi zaman dulu yang bahkan tidak tahu tanggal lahirnya,” kata Syakur.
Sejarah dan budaya Betawi semakin terpinggirkan dan dilupakan ketika orang Betawi terdesak ke daerah pinggiran Jakarta hingga ke Depok. “Saat ini banyak warga Jakarta yang fasih berbahasa Betawi, berpakaian Betawi, tetapi ketika ditelusuri silsilahnya, ternyata dari suku lain,” tambah Heryus Saputro Samhudi.
Oleh karenanya, Arie Batubara ketika memberikan sambutan mewakili komunitas Masyarakat Kesenian Jakarta (MKJ) menawakan gagasan agar Betawi tidak dimaknai sebagai etnis, melainkan budaya.
“Sebagai sebuah kebudayaan, Betawi memiliki kekuatan nilai yang sejajar dengan kebudayaan lain. Daripada sebagai etnis, capek ngurusnya,” tegas Arie.
Guntoro Sulung ketika membaca puisi karya CGR. Foto: Ist
Sejarah Betawi
Buku Mesigit karya CGR berisi kumpulan puisi yang diangkat dari sejarah dan budaya Betawi, Batavia dan Jakarta. Uniknya, puisi ditulis menggunakan ejaan lama dengan dialek khas Betawi. Untuk menjembati pembaca dengan teks puisi yang bertutur tentang sejarah, disertakan catatan kaki.
Dalam beberapa puisi, catatan kakinya bahkan sampai setengah halaman, sementara puisinya hanya 5 baris. Berikut salah satu contoh puisi CGR dalam buku Mesigit dan disalin sesuai bahasa aslinya.
Di Djakarta
: 1619-2004
Koetika adanja Jan Pietrszoon Coen
Diseblah koelon aloenaloen Kota
Satoe mesigit menoeroet tjeritera
Loedes djadi aboe srenta bara
Djemat ada perih matanja disorga