Ilustrasi

Cerpen Neneng Hendriyani

“Tunggu! Jangan pergi.” Teriakannya keras sambil mengejarku. Terengah-engah aku mencoba melewati satpam yang sedang berdiri di depan pintu masuk.

“Gila, mau mati, Lu?” umpat seorang ojol mendadak menghentikanku. Sejurus aku Cuma bisa bengong. Mimpi apa didamprat di depan umum. Tapi, dia tidak salah. Sungguh. Aku yang salah. Sayang, ini bukan kesempatan yang baik untuk menjelaskan apa pun. Senyum tipis coba kupaksakan di tengah napas yang kian tak teratur. Ketika kusibak beberapa orang yang rebutan menyeberang jalan, tiba-tiba tangan kananku ditarik seseorang. Kencang.

“Ouch. Sakit”. Refleks aku berusaha mengibaskannya. Netra kami bertemu. Aku tak sanggup lagi. Ingin rasanya memaki tapi apa daya, napasku makin berat. Asmaku kumat.

“Cukup. Kita harus bicara.” Ucapnya. Gontai kuikuti langkahnya.
Di pojok sebuah cafe, persis di seberang stasiun kami duduk berhadap-hadapan. Ketika para panjak mengganti lagu mereka, setengah gelas kopi telah pindah ke perutnya. Kepulan asap cerutunya memperparah kondisiku. Aku makin engap. Kepalaku berat. Akhirnya, semua gelap.

“Bisakah kamu bersikap seperti seorang raden ayu, Diajeng?” umpatnya kesal.

Kutatap matanya, perlahan kucoba menenangkan diri. Alas, dadaku kian sesak. Sejurus kemudian, aku kembali pingsan.

Ketika kusadar, aku sudah berada di Koningsplein. Suasana kamarnya yang khas, membuatku sadar aku kembali ke asal. Dia pun sama. Bahkan, benar-benar serius kali ini.

Berjinjit, kutinggalkan ranjangnya yang empuk. Kudekati jendela kamar yang tingginya mengalahkanku lebih dari 3 kali. Aku cuma bisa menelan ludah. Sialan. Umpatku.

Ajeng dhateng pundi malih, Diajeng?” kali ini aku mendengar suaranya lebih lembut. Urung aku kembali duduk di tepi ranjang. Di sudut kamar, dia duduk memegang cerutu sambil menatapku tajam. Kedua netranya masih sama, persis sepuluh tahun lalu kala aku tergila-gila untuk pertama kali.

Is Albert veel beter dan ik, hè?” bentaknya tiba-tiba. Aku terperanjat. Laki-laki bule yang aktif di KNIL itu tiba-tiba menguar di antara kami. Aku hanya bisa menghela napas panjang.

Antwoord me! Hou je meer van hem dan van mij?” desaknya sambil mematikan cerutunya. Langkahnya mulai mendekat. Aku tercekat. Haruskah kuakui semuanya? Haruskah kuakhiri semuanya? Ah, Hyang Widhi. Aku terus membatin. Aku tidak tahu siapa yang jauh lebih baik di antara keduanya.

“Diajeng, jika Kanjeng Romo tahu soal ini, bagaimana menurutmu?” dia duduk di sampingku. Suaranya melunak.

Sampeyan, sampeyan ngaturaken dhumateng Kanjeng Romo, Kangmas?” Aku mulai takut. Kanjeng Romo adalah ayahku yang luar biasa keras dan tidak pernah menerima hal yang tidak sesuai dengan dirinya. Aku menggeleng berkali-kali. “Menapa Kangmas sampun ngaturaken dhateng Kanjeng Romo bilih kula wonten ing Batavia?” tanyaku hati-hati, takut membangunkan singa lapar di dalam dirinya.

“Belum. Tetapi bukan berarti tidak. Sedaya gumantung sikep panjenengan.” Jawabnya dingin.

Aku beringsut menghampiri nakas. Mengambil segelas air putih. Meneguk sisa air tadi pagi sebelum keluar dan ditemukannya.

“Kamu sungguh mencintainya, Diajeng?”

Aku menoleh. Menggeleng cepat. Beraninya dia menanyakan perasaanku saat ini. Mencintai? Mencintainya? Aku merasa aku tidak mencintai Albert saat ini. Aku sendiri masih ragu. Setidaknya itu yang kupahami. Meskipun Albert bertubuh tegap, sopan, terpelajar, dan memperlakukanku dengan baik, bukan berarti aku mencintainya. Aku sadar betul perbedaan kami begitu jauh. Bagaimana mungkin ada rasa itu saat ini.

“Jika kau tidak mencintainya, mengapa kau mengejarnya hingga ke sini?” kejarnya.

Aku terperangah. Ah, benar juga ya. Jika aku tidak mencintainya, untuk apa aku berlayar hingga tiga hari dari Semarang ke sini. Gila. Ini sungguh gila. Aku masih ingat bagaimana aku mabuk laut saat kapal yang kutumpangi kena badai di perjalanan. Tapi, cinta? Hm, terlalu dini untuk mengatakan bahwa semua ini karena cinta. Aku masih merasa, ini bukan cinta.

“Diajeng, pernikahan kita sudah ditentukan Kanjeng Romo. Panjenengan taksih éling, ta?” tanyanya membangunkanku dari lamunan. Aku mengangguk.

Aku masih ingat beberapa bulan lalu kedua orang tua kami telah menyepakati tanggal pernikahan tersebut lengkap dengan segala aturannya. Saat itu aku bahagia sekali. Bagaimana tidak. Akhirnya aku akan bersamanya, laki-laki yang paling dipuja di seantero keraton. Pembawaannya yang tenang, dengan segala kemampuan bela dirinya membuat semua perempuan bangsawan memimpikannya siang dan malam. Tak terkecuali aku. Tapi, itu dulu. Jauh sebelum Albert datang pada suatu senja di bangsal istana. Aku mencuri dengar percakapannya dengan Kanjeng Romo. Bahasanya yang tertata, gayanya yang kalem mencuri perhatianku seketika. Ketika ia pamit, kami sempat bersitatap. Dadaku berdesir. Senyumnya membuatku lupa daratan. Di tengah malam, aku nekad kabur dari keputren. Dan, di Koningsplein ini lah calon suamiku menemukanku. Aku menunduk. Bukan malu. Bukan!

Sejak tiba dua minggu lalu, aku hanya sempat bertemu Albert dua kali. Itu pun sebentar. Tak habis satu lagu didendangkan oleh para panjak di sudut ruangan  kami sudah berpisah tanpa kata-kata. Kami tak pernah berdansa. Pertemuan kami hanya diisi dengan saling pandang dan lempar senyuman. Aku terlalu malu mendekatinya. Pun, dia diam di tempatnya. Berdiri. Lalu pergi. Dari kaca jendela kamar aku lihat dia sibuk memeriksa bertumpuk-tumpuk dokumen berstempel Nederlandse Leeuw. Sejujurnya, aku kecewa.

Akhirnya aku hanya bisa menghabiskan waktuku berjalan-jalan di sekitar hotel menikmati waktu yang berjalan perlahan sambil tersenyum sendiri. Oh, begini rasanya menggunakan gaun ala Eropa, batinku meringis geli.

Senja makin tua, namun malam masih enggan menyapa kami berdua. Aku tetap duduk di sampingnya sambil memegang gelas yang kosong. Sementara, dia menatap ruang kosong di luar jendela. Kami yang besar di lingkungan keraton sama-sama diam, menikmati sunyi yang kian menua. Akhirnya, dia melangkah menuju pintu. Sebelum benar-benar menghilang di balik pintu, dia berkata, “Rampungna prakaramu sesuk. Saderenge surup, ayo kula lan panjenengan wangsul lan tinggalna sedaya ing mriki.” Aku mengangguk. Pasrah.

Sebelum malam benar-benar nyata, aku berpikir. Pernikahan adalah ikatan yang tak hanya tentang jasmani tetapi juga ruhani. Jika dengan kata cinta, semua bisa dijamin kekal, lalu untuk apa harus lari. Aku berhitung semua hal yang mungkin terjadi. Sepasang mata biru yang menawan itu sepertinya harus dilupakan. Aku tak mungkin memaksakannya. Kembali, menjadi satu-satunya pilihan yang ada saat ini. Kembali ke awal.

Ketika lembayung berarak di timur, aku sudah turun. Di lobi, dia sudah menunggu. “Kita wangsul samenika?” tanyanya lembut. Aku mengangguk. Gaunku telah berganti. Kain batik sogan menutup sepasang betisku yang tersibak angin pagi. Dia tersenyum. Aku terperangah. Astaga, itu senyum yang sama yang pernah membuatku malu di pacuan kuda. Wajahku memerah seketika.

Sugeng rawuh malih, Diajeng. Ing wekdal menika kita mboten badhé pisah malih.” Lembut dia mengantarku ke kereta. Dalam hati aku berjanji, ini kali terakhir aku pergi.

Catatan:
1. Koningsplein = nama hotel yang terletak di Lapangan Merdeka / Monas saat ini.
“2. Ajeng dhateng pundi malih, Diajeng?” = mau kemana lagi, Diajeng?
3. “Is Albert veel beter dan ik, hè?” = Apakah Albert lebih baik dariku, hah?
4. “Antwoord me! Hou je meer van hem dan van mij?” = “Jawab aku! Apakah kamu lebih mencintainya daripada aku?”
5. “Sampeyan, sampeyan ngaturaken dhumateng Kanjeng Romo, Kangmas?” = “Kamu, apakah kamu sudah menyampaikan kepada Kanjeng Romo, Kakang?”
6. “Menapa Kangmas sampun ngaturaken dhateng Kanjeng Romo bilih kula wonten ing Batavia?” = “Apakah Kakang sudah menyampaikan kepada Kanjeng Romo bahwa saya ada di Batavia?”
7. “Sedaya gumantung sikep panjenengan” = “Semua tergantung sikapmu.”
8. “Panjenengan taksih éling, ta” = “Kamu masih ingat, kan?”
9. “Rampungna prakaramu sesuk. Saderenge surup, ayo kula lan panjenengan wangsul lan tinggalna sedaya ing mriki.” = “Selesaikan urusanmu besok. Sebelum senja, mari kita kembali dan tinggalkan semua di sini.”
10. “Kita wangsul samenika?” = “Apakah kini saatnya kita kembali pulang?”
11. “Sugeng rawuh malih, Diajeng. Ing wekdal menika kita mboten badhé pisah malih.” = “Selamat datang kembali, Diajeng. Mulai detik ini, takkan ada lagi perpisahan di antara kita.”

 

 Neneng Hendriyani, lahir di Bogor, 09 Agustus 1982. Berprofesi sebagai Pengawas SMA Dinas Pendidikan Provinsi Jawa Barat ini aktif sebagai penulis dan editor berbagai genre. Karyanya pernah dibukukan dalam antologi Kunanti di Kampar Kiri: Antologi Puisi Penyair Asean, Senyuman Lembah Ijen: Antologi Puisi Nusantara, A Skyful of Rain: Antologi Puisi Banjarbaru’s Rainy Day Literary Festival 2018, Ijen Purba: Tanah, Air, Batu (Antologi Puisi Jambore Sastra Asia Tenggara), Layang-layang Tak memilih Tangan: Antologi Puisi Pertemuan Penyair Nusantara XIII Jakarta, Semesta Jiwa: Antologi Puisi Bertema Spiritualitas, Kebaya Bordir Untuk Umayah (Antologi Puisi 115 Penyair Indonesia), Teh, Imajinasi, Puisi, Antologi 50 Opini Puisi Esai Indonesia, Pandemi Puisi: Antologi Bersama Melawan COVID 19. Kontak: Instagram Nenghendri53, Facebook/Youtube Neng Hendri Suparman, E-mail nenghendri@gmail.com, https://nhwork.web.id

 

Bagikan ke Media Sosial

Hubungi Admin Jika Ingin Meng-copy Konten Website ini