PojokTIM– Getar suara Fanny Jonathans Poyk membuat orang-orang yang duduk mengelilingi meja panjang di kantin dalam kompleks Taman Ismail Marzuki (TIM) terdiam. Keriuhan usai menghadiri acara di Lantai 6 Gedung Ali Sadikin, tidak lagi tersisa.
“Aku mengenal baik semua seniman dan sastrawan-sastrawan besar itu karena mereka pernah mengunjungi rumah Papa di Bali. Aku tahu karya-karya mereka,” ujar Fanny. Nama besar sastrawan Gerson Poyk dengan karya-karyanya, membayang di senja yang mendadak hening.
Fanny merasakan pahit-getir kehidupan seorang penulis di masa lalu. Gemerlap di balik namanya, sederet penghargaan dan puja-puji yang diterima, berbanding terbalik dengan realita yang ditemui dalam kehidupan sehari-hari.
“Orang mungkin mengira hidup kami bergelimang harta karena Papa sukses sebagai penulis dan jurnalis yang menerima banyak penghargaan. Padahal di Bali kami hidup pas-pasan, tinggal di rumah kontrakan,” kata penulis novel Depok itu.
Pengalaman masa kecilnya sebagai putri Gerson Poyk, sempat membuat Fanny enggan mengikuti jejak ayahnya. Namun bakat yang mengalir dalam darahnya, tak kuasa ia bendung. Puluhan karya tulis pun lahir dari tangannya. Fanny akhirnya berdamai dengan hatinya dan merasa bangga ketika orang-orang mengenalnya sebagai penulis dan jurnalistik.
Berikut petikan wawancara PojokTIM dengan Fanny J Poyk, Minggu (2/6/2024).
Anda menyandang nama besar sastrawan Gerson Poyk. Ketika berkarya, apakah hal itu menguntungkan atau malah menjadi beban?
Di satu sisi aku harus bisa menerima kenyataan sebagai anaknya Gerson Poyk. Kan aku tidak bisa menyangkal adanya hubungan darah itu. Setelah menikah aku menambahkan nama suami, Jonathans, Jadi Fanny J Poyk. Nah, pakai nama itu, satu sisi menguntungkan, satu sisi juga terbebani.
Sebab mungkin saja ada anggapan, jika tidak pakai nama Poyk, lu bukan siapa-siapa. Padahal aku berjuang sendiri. Sejak SMP aku sudah menulis puisi. SMA, hingga kuliah dan sampai sekarang, aku menulis cerpen dengan gayaku sendiri. Aku melepaskan gaya kepenulisan Papa di semua karyaku. Bahkan aku melarang Papa ikut campur, baik saat aku menjadi jurnalis, maupun saat menulis cerpen atau novel.
Lagi pula aku tidak menyukai gaya (penulisan) Papa. Hanya Papa yang paham dengan gayanya. Misalnya Papa kuat di filsafat sehingga dimasukkan dalam setiap karya. Sementara aku tidak menjadikan filsafat sebagai patokan karyaku. Filsafat hanya menjadi penambah kualitas dari karya-karyaku.
Aku menggali kemampuan menulis secara otodidak. Mungkin awalnya hanya untuk kesenangan. Tapi aku juga menyadari punya bakat sejak lahir. Setelah SMP, aku mulai yakin, keahlianku di bidang sastra. Diawali dengan aku senang membaca, bahkan sejak Kelas 5 SD. Apa saja yang ada di kios buku dekat rumah, aku baca. Bahkan koran yang sudah dibuang di jalan, aku pungut dan aku baca. Mungkin itu bagian yang kemudian membentuk aku jadi penulis. Setelah menikah, aku juga tetap menekuni dunia jurnalis dan sastra.
Selesai kuliah, Anda langsung terjun ke dunia sastra dan jurnalis?
Tidak, bahkan aku sempat ingin menghindar. Selesai kuliah aku bekerja di perusahaan yang jauh dari tulis-menulis. Pertama perusahaan kontraktor, lalu bekerja di Kedutaan Australia, dan juga di perusahaan bidang interior desain. Aku berjuangan dengan kemampuanku sendiri, tanpa pengaruh nama Papa, termasuk ketika belajar Bahasa Inggris sampai kursus ngetik.
Artinya dunia sastra ditinggal begitu saja?
Tidak, saat bekerja di tempat mana pun aku tetap menulis. Cerpen, juga puisiku banyak dimuat di koran pada saat aku masih bekerja di tempat lain. Aku masuk ke dunia kerja karena ingin mendapat income tetap. Dengan adanya pendapatan bulanan, aku bisa membantu orang tua. Sebab jika mengandalkan hasil dari menulis, seperti Papa, tidak ada penghasilan tetap.
Sejak kapan Anda menjadi jurnalis?
Setelah bekerja di beberapa tempat, muncul kesadaran duniaku tidak di situ. Aku lebih tertarik dengan dunia jurnalistik. Tapi aku ingin menjadi jurnalis yang benar, yang memiliki ilmunya sehingga tahun 1985 aku kuliah jurnalistik di IISIP Jakarta, sampai selesai Strata Satu (S1).
Artinya mengikuti jejak orang tua?
Awalnya aku memandang, di tahun-tahun itu, dunia jurnalis dan sastra tidak mampu memberi kehidupan yang layak. Jadi aku sempat tidak ingin merambahnya. Tetapi tanpa disadari, toh aku tetap rajin menuilis, karena mungkin dorongan talent yang kuat dalam diriku. Demikian juga di bidang jurnalis. Aku menganggap jurnalistik sesuai dengan passion-ku karena erat kaitannya dengan dunia tulis-menulis. Tetapi aku tidak mau buru-buru. Setelah aku menikah dan suamiku bekerja di perusahaan minyak, di mana kehidupan kami sudah mapam, settle, ibaratnya aku tidak kerja pun penghasilan suami sudah cukup, maka aku mulai memikirkan untuk merambahnya.
Tapi aku harus menjadi wartawan yang punya ilmunya, punya basic, tidak setengah-setengah, sehingga kuliah lagi. Terlebih, aku punya pendangan, pendidikan nomor satu.
Sambil kuliah jurnalistik, aku tetap menulis. Bahkan saat perjalanan ke luar negeri, ke Amerika dan sebagainya, aku mulai mencoba menulis reportase, tapi bukan pure berita. Lebih ke feature. Maka setelah selesai kuliah tahun 1991, aku langsung melamar ke Tabloid Fantasi yang berada di bawah naungan Ciputra Group. Kebetulan waktu itu Tabloid Fantasi baru berdiri, di mana Arswendo Atmowiloto sebagai bos tertinggi, kemudian pimrednya Mas Harry Tjahyono. Aku diterima dan bekerja di sana. Aku dilatih menjadi wartawan yang sesungguhnya. Orang melihat tabloid anak-anak itu ringan. Padahal berat karena untuk menulis berita anak-anak harus ada unsur edukasi. Namun aku menikmati prosesnya. Kebetulan aku juga suka menulis cerita anak. Aku bekerja sampai tahun 2004. Terakhir jabatanku redaktur liputan yang membagi tugas liputan kepada wartawan.
Di sela-sela kerja sebagai jurnalis, Anda masih menulis cerpen dan puisi?
Iya, saya tetap menulis. Apa saja. Aku menulis cerita anak, cerpen, novel, cerita misteri dan lain-lain. Pokoknya apa saja aku tulis. Namun saat itu aku belum mencoba sastra koran, masih sebatas cerita pop untuk Majalah Sarinah, Pertiwi, dan sejenisnya.
Nah, pada saat aku jeda di rumah, aku mulai berpikir, kepengin sesekali masuk sastra koran, dengan cerpen yang berbobot, terutama koran Kompas. Saya mencoba berbagai cara, termasuk menemui redaktur sastra Kompas saat itu, Putu Fajar Arcana. Tetapi walau pun aku sudah kenal redakturnya, tetap saja cerpenku tidak bisa menembus Kompas. Cerpen-cerpen yang aku kirim mental terus. Tapi ketika aku kirim ke koran lain seperti Jurnal Nasional, Suara Karya, Pikiran Rakyat, dan Tribun Jabar ternyata diterima dan dimuat. Meski begitu, aku masih kurang puas. Aku terus berusaha agar cerpenku dapat dimuat di Kompas. Setelah berjuang selama 10 tahun, akhirnya cerpenku berhasil menembus meja redaksi Kompas.
Kabarnya Anda pernah keliling Indonesia?
Setelah sempat jeda dari pekerjaan tetap, aku kemudian ditarik ke Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) sebagai konsultan media. Aku membuat Majalah Potensi dan website www.dikmenum.dikbud.go.id Jadi semua kegiatan SMA di seluruh Indonesia kita liput dan ditayangkan di Majalah Potensi dan website Kemendikbud.
Setiap minggu aku keliling. Tiga hari di rumah, esoknya sudah pergi lagi. Terbang sudah seperti naik angkot. Aku terbang ke Papua, Ambon dan tempat-tempat lain untuk mendata kegiatan-kegiatan SMA yang berkualitas di seluruh Indonesia. Aku menjadi konsultan media selama 12 tahun, sampai tahun 2017. Tapi kegiatan menulis cerpen sastra tetap aku jalani di sela-sela kesibukan kerja di Kemendikbud
Apakah sebenarnya ada juga obsesi menjadi sastrawan?
Tidak ada pemikiran ke arah situ. Jujur, aku hanya senang menulis. Sebatas itu. Makanya aku menulis apa saja. Keinginan menulis cerpen serius dan dimuat di Kompas, lebih sebagai tantangan. Menantang kemampuan diri sendiri, bukan bagian dari obsesi menjadi sastrawan.
Sekarang Anda juga dikenal sebagai juri lomba menulis Bisa diceritakan bagaimana awalnya?
Tahun 2018 aku mulai menjadi juri untuk tingkat Provinsi Jawa Barat. Misalnya menjadi juri lomba penulisan cipta puisi dalam Festival dan Lomba Seni Siswa Nasional (FLS2N). Demikian juga di DKI Jakarta, aku menjadi juri dari tingkat kota sampai provinsi.
Aku terpilih menjadi juri mungkin karena rekam jejakku sebagai penulis. Makanya kadang aku dijadikan juri cipta puisi, juri menulis cerpen, sampai jurnalistik. Aku oke-oke saja. Juri nyanyi pun oke karena aku lahir dari keluarga yang suka menyanyi, terutama Mama. Aku juga sering ikut lomba menyanyi. Aku selalu mensyukuri talent yang Tuhan berikan.
Bagaimana dengan melukis?
Mamaku kan pelukis. Dari kecil aku sudah terbiasa dibawa bergaul dalam circle pelukis di Bali. Mama masuk kelompok lukis Bali yang namanya Cikra, dan dekat dengan Maria Tjui. Aku memanggilnya tante. Mamaku melukis pakai tangan, seperti juga Tante Maria Tjui, yang merupakan anak didik maestro lukis Affandi.
Meski sering melihat Mama dan Tante Maria Tjui melukis, tapi waktu itu aku belum tertarik untuk melukis. Lebih suka menulis dan menggambar. Aku menggambar apa saja. Dari wayang sampai kelinci. Tahun 1993, saat sudah menjadi wartawan, aku punya kebiasan melukis sebelum berangkat kerja. Aku bikin lukisan kembang model abstrak-nya Tante Maria Tjui. Jadi sejak dulu aku melukis dan punya banyak lukisan. Aku bagi-bagikan ke teman dan tetanggaku. Saat itu catnya masih merek Rembrandt, seperti juga yang dipakai Mama dan Tante Maria Tjui. Kalau sekarang kan akrilik.
Dalam beberapa tahun belakang ini aku berpikir, mengapa tidak menekuni dunia lukis lagi. Itu dapat memberikan terapi jiwa. Aku ada (penyakit) gula. Dengan melukis aku tahan tidak ngemil sampai berjam-jam. Beda ketika aku menulis atau ngedit, karena aku juga editor, pasti sambil ngemil.
Memang belum ada hasilnya. Susah menembus pasar seni lukis, sebagaimana dulu cerpenku butuh perjuangan panjang untuk bisa menembus Kompas, Jawa Pos dan lain-lain. Tapi dengan melukis aku merasa lebih sehat. Nah, tanggal 8 – 18 Juni komunitas lukis kami akan pameran khusus untuk pelukis usia 60 tahun ke atas di Artland Gallery Kelapa Gading, Jakarta Utara. Tagline-nya “Lansia No Problem”.
Aku merasa harus ikut. Apa pun yang bisa aku lakukan, selama aku mampu, dan positif buat kita, pasti aku lakukan. Lagi pula aku yakin akan ada hasil di balik kegiatan melukis meski pun masih belum terbayangkan. Aku jalani saja semuanya tanpa beban.