Oleh: Ahmadun Yosi Herfanda*
PojokTIM – Ruang publik sangat penting keberadaannya sebagai tempat bertemu, menyatakan rasa kangen, berbincang, berdiskusi, dan kadang berdebat menegangkan, secara bebas, namun inspiratif, sambil minum kopi atau susu jahe. Sebelum direnovasi dulu ada ruang publik semacam itu bagi khalayak seni dan sastra di depan kafe Alex, di sisi barat Taman Ismail Merzuki (TIM), dan para pemantiknya adalah para seniman serta sastrawan lansia.
Adalah nevolis Motinggo Busye, semasa masih hudup, sangat gemar nongkrong di halaman depan kafe Alex, duduk di kursi sambil minum susu jahe. Ada beberapa meja bundar tampat meletakkan minuman dan makanan, dikelilingi kursi-kursi dengan sandaran yang enak. Sangat bebas dan bisa berbincang sampai tengah malam. Mebincangkan apa saja: Rendra yang baru saja membaca puisi, Putu Wijaya yang selesai pentas, Nano Rinatirano yang laris dan tahan sampai berhari-hari, diskusi sastra yang diwarnai perdebatan panas, dan pameran seni rupa yang kesusupan ide-ide politik.
Di kafe itu pula Sutardji Calzoum Bachri, sang presiden penyair Indonesia, biasa nongkrong. Keduanya menjadi daya tarik di ruang publik itu. Tiap keduanya nongkrong di kafe Alex, para penyair muda selalu ambil bagian, nimbrung dalam perbincangan. Ada pula para senior lain, seperti Leon Agusta, Syahnagra Ismail, dan Hardi, yang sering nimbrung dalam perbincangan, disaksikan bulan yang remang-remang atau mendung yang menggantung di langit malam. Syahnagra bahkan sering memamerkan kebolehannya membaca puisi di depan mereka.
Selasar kafe Alex, beserta deretan kafe-kafe lain, menjadi semacam kahwaji yang inspiratif dan subur ide-ide kreatif. Diskusi dan perdebatan seringkali mewarnai bincang-bincang lepas mereka. Pertunjukan teater, pameran lukisan, pentas baca puisi, ataupun diskusi sastra, selalu menyisakan topik-topik menarik untuk dibedah kembali di ruang publik itu. Ruang publik yang selalu hangat, penuh tawa, dan kerap memunculkan ide-ide kreatif yang pantas ditindaklanjuti menjadi esai budaya, seminar, pertunjukan, maupun sekadar renungan.
Begitu renovasi TIM dimulai pada Juli 2019 digusurlah ruang publik itu bersama pembongkaran bangunan-bangunan lain yang dianggap sudah tua. Tata ruang kawasan TIM pun dirombak total. Banyak seniman dan sastrawan melakukan protes, bahkan unjuk rasa. Mereka, antara lain, menghawatirkan ruang publik tempat kreativitas bertumbuh itu akan hilang. Selain itu juga mempertanyakan kenapa kalangan seniman, termasuk Dewan Kesenian Jakarta (DKJ), tidak diajak bicara. Mereka khawatir, renovasi TIM menghasilkan ketidaknyamanan bagi seniman dan sastrawan.
Bagaimanapun suara seniman, renovasi TIM terus berlangsung. Berkali-kali protes dan unjuk rasa seperti berbicara pada tembok tak bertelinga. Sejumlah gedung dibongkar, dan hanya menyisakan Teater Jakarta dan Planetarium. Graha Bhakti Budaya dibongkar dan dibangun kembali denga posisi yang agak aneh. Galeri Cipta II dan III dibongkar habis. Gedung Perpustakaan Jakarta dan PDS HB Jassin juga dibongkar habis. Teater Halaman juga lenyap. Begitu juga masjid Amir Hanzah, dibangun kembali dengan posisi yang berbeda.
Empat tahun setelah renovasi, begitu Anies Baswedan selaku Gubernur DKI Jakarta membuka kembali TIM, tampaklah Pusat Kesenian Jakarta itu dengan wajah baru yang sangat modern, dengan teknologi digital pada tiap gedungnya. Modernisasi TIM berhasil. Persoalannya, apakah para seniman dan sastrawan merasa puas? Apakah ruang publik, semacam kahwaji, semacam kafe Alex, tempat mereka berbincang-bincang kreatif, masih bisa ditemukan? Apakah suasana, atmosfir TIM masih membuat seniman merasa nyaman dan ingin balik, duduk berlama-lama, untuk menikmati atmosfir berkesenian itu?
Beberapa seniman, yang merasakan atmosfir TIM sebelum direnovasi, masih menyayangkan hilangnya ruang publik semacam kafe Alex dulu. Kawasan TIM yang baru, yang modern, yang metropolis, tidak menyediakan ruang publik yang membuat orang-orang betah duduk berlama-lama, membincangkan kasus teater, seni rupa, dan sastra, secara bebas sambil minum kopi, teh, atau susu jahe. Ruang publik yang membuat seseorang kangen untuk kembali, sebab ia mendapatkan sesuatu yang berarti untuk direnungkan dan diolah menjadi karya seni baru. Ruang publik yang membuat orang menyebutnya sebagai universitas – Universitas Lidah Buaya. Sebab, banyak ilmu yang bisa didapat dari sana secara gratis.
Kita lihat, apakah kawasan TIM yang metropolis menyediakan ruang publik semacam itu? Kita lihat, memang ada deretan kafe di akses masuk ke Gedung Perpustakaan Jakarta dan PDS HB Jassin. Tapi, tidak ada areal yang menyediakan ruang publik, atau semacam kahwaji, semacam deretan kafe yang dulu. Kalau mampir makan atau jajan di kafe-kafe itu haruslah buru-buru, sebab kursinya terbatas dan tidak senyaman kafe Alex dulu.
Di sebelah Masjid Amir Hamzah juga ada beberapa penjual jajanan. Tapi, lebih mirip “pedagang liar” yang tidak ditata dengan baik. Di seberang toko buku Jose Rizal Manua juga ada kafe yang dilengkapi Ruang Ekspresi. Tapi, kafe yang memiliki halaman luas dan panggung ini cenderung sepi jika tidak ada diskusi dan pertunjukan – kadang-kadang diwarnai unjuk rasa.
Kafe-kafe di atas tampak menyebar dan tidak mengelompok di satu lokasi, sehingga kurang memunculkan suasana yang ramai seperti dulu, ruang publik yang bisa menjadi sumber inspirasi penciptaan karya seni baru atau esai kreatif. Insan seni yang biasa bertandang ke TIM belum menemukan lagi ruang publik yang nyaman sebagai bagian dari proses kreatif mereka. Ruang publik yang hilang, yang ambyar, tidak tergantikan oleh bangunan-bangunan kosmopolit yang canggih dan terkesan kaku itu.
Kiranya perlu dibangun kembali ruang publik yang inspiratif seperti kafe Alex dan deretan kafe seperti dulu. Kahwaji yang menggerakkan proses penciptaan secara diam-diam. Kawasan TIM banyak menyisakan halaman atau ruang hijau. Kiranya perlu dipilih satu ruang hijau yang setrategis untuk dibangun sekumpulan atau sederet kafe seperti dulu, dimana pengunjung TIM gampang menemukannya, dan mudah untuk menjangkau tempat-tempat pertunjukan, serta gampang untuk diakses mahasiswa IKJ.
Kembalikanlah ruang publik yang inspiratif di TIM, kahwaji yang menjadi tempat ngobrol produktif, dan inspiratif, seperti dulu, dengan konsep yang disesuaikan dengan keadaan TIM masa kini. Bagaimanapun TIM telah berubah menjadi kawasan yang modern dan elitis. Tetapi, tidak semua karya seni bisa dilahirkan atau diproses di ruang elitis, yang membuat seniman dan sastrawan justru merasa terasing. Inspirasi karya seni besar justru sering berseliweran di tempat ngobrol yang nyaman, tempat para seniman dan sastrawan bertukar canda sambil minum susu jahe.
*Ahmadun Yosi Herfanda
Pemimpin Redaksi Litera