Jika kau datang ke desa itu, jangan heran kalau melihat orang-orang berjalan menunduk. Seperti mencari uang logam yang terselip di antara pasir dan batu jalanan. Meski menunduk, mereka tak pernah bertabrakan satu sama lain. Mereka hapal setiap ujung sepatu bahkan ujung jari tiap penghuni di desa yang selalu diselimuti kabut jika malam menjelang. Kabut yang bagai selimut hidup, berjalan turun dari puncak gunung dan menutup rapat tiap puncak rumah. Bahkan kau bisa merasakan uap dinginnya memasuki celah pintu dan jendela.

Tujuh hari dalam seminggu, tiga puluh hari dalam sebulan, kabut putih mengurung penduduk desa dalam malam yang nyenyat. Membuat sepi jalan-jalan, menenggelamkan cahaya obor dan lampu minyak, bahkan hewan malam pun terlalu malas untuk beraktivitas. Mereka memilih bergumul dalam sarang, seperti orang-orang desa yang berkemul dalam urat-urat.

Tetapi, ada satu malam dalam setahun, di mana halimun hanya berayun-ayun di puncak gunung.

Malam itu adalah malam purnama ke-11. Malam ketika langit bermandikan cahaya bintang gemintang. Api obor dan lampu minyak begitu tenang bagai dilukis pada kertas kelam.

Malam itu seharusnya ceria, hangat, dan bahagia, namun penduduk berkerumun dan bertudung di sebuah tanah lapang di pusat desa. Malam itu seharusnya disambut dengan nyanyian dan tarian, karena setelah berhari-hari dan berminggu-minggu, desa mereka terbebas dari kabut dingin.

Namun pada malam itu, mereka mendongak menatap langit sambil berurai air mata.

Setiap penduduk desa yang berada di lapangan itu, memilih satu bintang untuk mereka tatap penuh kerinduan. Seolah bintang-bintang itu kekasih mereka yang telah lama pergi dan dirindui untuk kembali. Mereka akan terus menatap, hingga fajar menjelang dan bintang pun menghilang.

Dulu, penduduk desa ini sama seperti penduduk desa lainnya. Berjalan dengan tatapan mengarah ke mana ia ingin menatap. Kabut pun tak mengurung desa jika malam tiba. Kisah ini bermula ketika ada seekor kunang-kunang terperangkap di jendela rumah seorang penduduk desa. Kunang-kunang itu terbang begitu panik membentur-bentur kaca jendela, berusaha mencari jalan kebebasannya. Ia sudah terlalu terlambat untuk memenuhi janjinya dengan kunang-kunang lain yang menunggu tak sabar di tanah lapang pusat desa.

Anak pemilik rumah merasa heran melihat cahaya berpendar-pendar dari balik tirai tebal. Ia mengintip sedikit dan melihat seekor kunang-kunang begitu gelisah terbang tak beraturan. Dengan berjingkat dan tersenyum girang, anak tersebut menangkap kunang-kunang dan mengurungnya dalam botol kaca.

“Ibu, lihat! Aku menangkap kunang-kunang!”

Ibunya melihat kunang-kunang terbang berputar dan membenturkan diri ke botol kaca. Ia merasa cemas. “Lepaskan! Di desa kita kunang-kunang tidak boleh ditangkap! Cepat buka tutupnya!” kata Ibu sambil berusaha meraih botol kaca milik si anak.

“Aku mau memeliharanya. Akan kutunjukkan pada teman-temanku besok.” Si Anak berusaha menyingkirkan botol kaca dari hadapan ibunya.

“Jangan! Nanti kita semua kena kutukan!” teriak Ibu semakin cemas.

“Sudahlah, itu hanya cerita kuno. Tidak pernah terjadi apa-apa di desa ini. Itu cuma hewan kecil biasa saja,” kata ayahnya membela si anak.

Ibu yang merasa kalah hanya berdoa semoga kata-kata suaminya benar. Memang itu hanya cerita kuno, tapi dipercaya semua penduduk desa. Tidak pernah ada yang mengganggu kunang-kunang apa lagi menangkapnya. Mereka percaya sesuatu yang buruk akan terjadi jika itu dilanggar.

Ibu melihat cemas pada kunang-kunang di botol kaca. Tubuh kunang-kunang berulang kali membentur botol. Semakin sering kunang-kunang membentur botol, semakin sering tawa si anak terdengar. Ia pikir kunang-kunang sedang bermain dengannya. Ayah tersenyum melihat tingkah putra kesayangannya, ibu merapal doa semakin banyak.

Pagi harinya, kunang-kunang terkulai di dasar botol. Cahayanya redup, tapi ia tidak mati. Matanya membuka dan memandang kosong. Ia sudah terlalu terlambat bertemu kekasihnya. Mungkin saat ini kekasihnya berpikir ia kunang-kunang yang suka ingkar janji. Bahkan ia yakin, kekasih kunang-kunangnya sudah pergi dari tanah lapang. Mungkin saat ini, kekasihnya sedang belajar melupakan kunang-kunang ingkar yang terperangkap dalam botol kaca dan menunggu mati.

“Tak apa aku mati, asal jangan kekasihku menganggapku si ingkar,” katanya sembari menutup mata dan meneteskan cairan bening yang jatuh di dasar botol kaca.

Anak kecil tak lagi tertarik melihat kunang-kunang yang tanpa cahaya. Ia bermurah hati memberikan bangkai kunang-kunang pada ayam-ayam yang berkotek mencari sarapan. Tapi kunang-kunang belum mati, dengan sisa tenaganya ia melesat terbang, menembus cahaya yang tak bersahabat untuknya. Terus terbang hingga ke tanah lapang, mencari kekasihnya yang telah lama menghilang.

Tanah lapang bagai padang gersang yang tiba-tiba membentang. Kekasihnya tiada dan ia juga ingin tak ada. Kunang-kunang rebah di rerumputan. Tak tahu harus berbuat apa.

Malam menjelang, satu per satu bintang bermunculan. Satu di selatan, satu di barat. Satu di tenggara, satu di utara. Terus bermunculan. Dari satuan menjadi puluhan. Lalu bertambah menjadi ratusan. Ribuan. Hingga langit malam bagai dilapisi ribuan berlian yang berlomba memamerkan cahayanya. Lalu satu bintang yang paling besar dan bersinar paling terang mencuri perhatian kunang-kunang. Cahayanya mengedip berkali-kali, persis seperti kedipan cahaya di tubuh kunang-kunang.

‘Ini aku! Ini aku kekasihmu!’

Kunang-kunang memandang langit, tak percaya dengan pendengarannya. Kekasih yang dicarinya, menggantung di langit sebagai bintang.

Pada malam pertemuan mereka, kekasihnya menanti di tanah lapang tanpa pernah beranjak sedikit pun. Walau hujan menguyupkan sayapnya, walau dingin mematikan cahayanya, ia tetap setia menunggu. Ia tak percaya kekasihnya adalah si ingkar. Hingga fajar menjelang, ia tetap menunggu. Napas terakhirnya membuat iba sisa malam, yang mengangkatnya ke langit agar bisa mencari keberadaan kekasihnya.

Sejak itu, kunang-kunang dan bintang selalu menanti malam untuk saling bertatapan. Hingga waktu membuat kunang-kunang bosan dan merasa kesal. Meski ia berulang kali memohon pada malam agar mengangkatnya ke langit, malam tak mengabulkannya. Kunang-kunang bukanlah kekasih yang patah hati dan hampir mati. Ia hanyalah kekasih yang sedang menanti untuk bersanding dengan pujaan hati.

Kunang-kunang yang marah, menangis dalam terang. Membuat iba matahari. Dikumpulkannya tetesan air mata kunang-kunang dalam awan-awan di puncak gunung. Dan ketika malam tiba, awan-awan merayap turun, menyebarkan gelisah dan basah. Awan yang menggigilkan perasaan dan juga menguapkan kebahagiaan. Awan-awan yang menjelma halimun dan mencuri sesuatu yang berharga dari tiap-tiap penduduk desa.

Ketika pagi menjelang, jeritan pilu pertama terdengar dari rumah yang paling besar dan paling terang. Rumah anak penangkap kunang-kunang. Dan pagi selanjutnya, juga pagi-pagi selanjutnya, jeritan pilu mulai terdengar dari rumah ke rumah. Jeritan menyayat hati, yang membuat gentar dan menimbulkan pertanyaan, apakah giliranku besok malam?

Orang-orang desa mulai berjalan menunduk sejak itu. Desa mulai muram. Orang-orang menua hanya untuk menunggu mati. Tapi mereka tak bisa mati. Mereka menunggu purnama ke-11 datang agar bisa memandangi langit untuk memuja bintang mereka masing-masing.

Mereka juga berhitung, apakah bintang-bintang mereka telah cukup tinggi untuk menyentuh satu bintang yang paling besar dan bersinar paling terang. Jika cahaya kelap-kelip yang menaiki bintang-bintang mereka telah bersanding dengan bintang yang paling bersinar, orang-orang desa akan mendapatkan kembali bintang mereka masing-masing.

Bintang yang pernah dicuri pada malam-malam berkabut dan meninggalkan satu rongga kosong di mata kanan mereka.

©elosia – 2021

 

Bagikan ke Media Sosial

Hubungi Admin Jika Ingin Meng-copy Konten Website ini