PojokTIM – Langkah Riri Satria terhenti sejenak di depan pintu masuk Hotel Ibis Cikini, Jakarta Pusat. Tangannya menjinjing goody bag berisi buku-buku karyanya. Setelah mengedarkan tatapan ke sudut Kafe Eatwell & Coffee, senyumnya langsung merekah.

“Ini untuk PojokTim,” ujar Riri. Goody bag pun berpindah tangan. Buku-buku karyanya segera menjadi topik pembicaraan. Nadanya riang ketika menceritakan proses di balik lahirnya buku kumpulan puisi Winter in Paris, Jendela, hingga Jelajah serta trilogi Proposisi Teman Ngopi. Gaya bicaranya tetap senada ketika menjelaskan buku-buku lain yang ditulis di sela kesibukannya sebagai Komisaris PT. Integrasi Logistik Cipta Solusi (ILCS) / Pelindo Solusi Digital (PSD), sebuah perusahaan teknologi dalam naungan Pelindo Group, dosen Fakultas Ilmu Komputer Universitas Indonesia, dan kegiatan lain yang jauh dari ranah kesusasteraan.

“Kemapanan bukan alasan untuk berhenti berkarya. Yang membedakan tema dan sudut pandangnya. Nafas karya yang lahir dari tangan penulis yang “tinggal di bumi” mungkin saja berbeda dengan karya penulis yang “tinggal di langit”. Namun dalam hal produktivitas tidak tergantung pada keberadaan, kemapaman atau relasi sosial. Jadi saya kurang sependapat dengan ungkapan bahwa kemapanan membunuh ide dan kreatifitas,” papar Ketua Komunitas Jagat Sastra Milenia (JSM) itu.

Minuman dan makanan ringan menemani obrolan yang mengalir nyaris tanpa jeda. Setiap pertanyaan dijawab dengan tangkas dan lugas. Kesan sebagai eksekutif korporat dan akademisi di kampus top di Indonesia tertutup oleh sikap Riri yang humble. Dari sisi akademik, Riri adalah Sarjana Ilmu Komputer lulusan Universitas Indonesia serta menempuh program Doktor atau S3 di PSB Paris School of Business, di Paris, Prancis.

Berikut ringkasan wawancara redaksi PojokTIM dengan Riri Satria, Selasa (30/4/2024.

Era digital sempat memberi harapan akan terciptakan ekosistem kebudayaan yang lebih menguntungkan bagi pekerja seni, terutama para penulis prosa. Kemudahan mempublikasikan karya sastra, dan tumbuhnya minat menulis di kalangan remaja sebagai kebutuhan untuk konten media sosialnya, menyemai harapan akan tumbuhnya minat baca yang berdampak pada peningkatan minat beli buku-buku sastra yang berkualitas. Namun yang terjadi justru kebalikannya. Penulis yang menerbitkan karyanya secara indie pun tetap kesulitan memasarkan bukunya. Bagaimana pandangan Anda terkait fenomena inii?

Saya membagi karya sastra dalam tiga kategori. Ada karya sastra yang memang untuk idealisme seni, sastra untuk sastra, seni untuk seni. Untuk kategori ini kita tidak bisa apa-apa karena memang targetnya idealisme. Mau orang tidak suka, mau tidak laku, dia tidak peduli. Contohnya karya-karya Afrizal Malna. Ini sesuatu yang sangat menarik. Ibarat lukisan, ini adalah lukisan abstrak, di mana tidak semua orang memahami, namun diangap sangat artistik.

Yang kedua adalah sastra pergerakan. Sastra jenis ini ditujukan untuk menggerakan sesuatu, apakah massa, perubahan, atau situasi sosial. Lagi-lagi tujuannya bukan komersial, tapi untuk pergerakan sosial dan kemanusiaan. Untuk kategori ini contohnya adalah Rendra dengan buku Potret Pembangunan dalam Puisi, isinya sangat dahsyat. Buku puisi ini menggugah kesadaran mengeai realita sosial yang terjadi, dikemas dengan sangat puitis.

Berikutnya, sastra untuk komersial. Target utamanya adalah booming, dibeli orang, dan populer. Contohnya Laskar Pelangi karya Andrea Hirata. Risikonya, banyak kalangan yang menganggap bukan karya sastra, melainkan karya pop. Mungkin ada benarnya, namun semua masih dapat diperdebatkan.

Sesungguhnya ketika seseorang terjun ke dunia sastra, dia sudah sadar ke mana perginya. Kalau memang sastra untuk idealisme seni, dia sudah sadar, tidak ada uangnya di sana. Tetapi ada juga yang lintas kategori. Misalnya karya Pramudya Ananta Toer. Karyanya mampu menjadi inspirasi pergerakan, namun tetap laku secara komersial. Bukunya semakin booming setelah penulisnya tiada. Ini juga menarik. Ada beberapa karya sastra yang booming setelah penulis meninggal dunia. Saya yakin karya Jokpin (Joko Pinurbo, wafat 27 April 2024) seperti kumpulan puisi “Celana” jika dicetak ulang akan booming. Begitu juga dengan buku-buku karya Sapardi Djoko Damono saat ini, termasuk laris di toko buku.

Sekali lagi, pengkategorian sastra idealis, sastra pergerakan dan sastra komersial, hanya opini saya. Tentu saja masih perlu diuji lagi validitasnya.

Riri Satria bersama pengurus JSM dan tim redaksi PojokTIM. Foto: Ist

Apakah tidak ada cara lain bagi sastrawan idealis untuk mendapatkan pendapatan dari karyanya?

Perlu digarisbawahi, karya sastra idealis bukan komoditi yang bisa menghasilkan uang dengan cepat. Tapi sastrawan kategori juga bisa mendapatkan uang, hanyaa bukan dari bukunya, tapi dari effect income. Contohnya, kita menerbitkan buku kumpulan puisi, namun tidak laku sehingga tidak mendapat uang dari penjualan bukunya. Tapi dari situ kemudian muncul efek samping misalnya menjadi juri lomba penulisan puisi, pembicara, dan lain-lain. Itulah effect income bagi sastrawan, karena penulisnya dianggap sangat berkelas.

Menurut saya, perlu ada data lengkap tentang sastrawan Indonesia yang terus di-update sehingga masyarakat di luar sastra tahu siapa saja sastrawan yang masih eksis, apa bidangnya, genrenya, sehingga ketika ada yang membutuhkan untuk narasumber kegiatan, bisa dengan mudah mendapatkannya. Tidak lagi mengandalkan pertemanan semata. Ini yang menurut saya belum tertata dengan baik. Belum ada platform yang memuat database sastrawan secara lengkap dan diperbaharui setiap waktu. Jika pun sekarang ada database, masih sebatas sastrawan yang ada dalam circle pembuatnya.

Terkait effect income tadi, kan tidak semua sastrawan bisa menciptakan peluangnya?

Itulah peran komunitas. Ambil contoh di JSM. Kalau saya egois, saya bisa jadi narasumber terus. Tapi karena JSM sebuah komunitas, maka peran itu saya bagi. Ketika ada permintaan untuk menjadi narasumber tentang perempuan di Bukittinggi beberapa tahun yang lalu, tepatnya 2022, saya berikan ke Mbak Nunung (Nunung Noor El Niel, Wakil Ketua Komunitas JSM, red), Rissa (Rissa Churia, pengurus JSM), dan Emi Suy (Sekretaris Redaksi Sastramedia, jurnal online di bawah naungan JSM, red). Jadi peran komunitas adalah mempromosikan dan mem-backup anggotanya. Oleh karenanya, idealnya ketua komunitas sudah selesai dengan dirinya sehingga bisa menjadi manajer bagi anggotanya, bukan justru menonjolkan diri ditopang para anggotanya.

Bagaimana nasib karya sastra di era artificial intelligence (AI) atau kecerdasan buatan yang mendapat penolakan dari sejumlah pesohor Hollywood, termasuk serikat pekerja penulis (WGA), yang tidak ingin digantikan oleh chatGPT.

Pertama, kita tidak dalam posisi menolak kemajuan teknologi. Kedua, kita harus bisa menyesuaikan diri. ChatGPT itu mesin. Dia tidak lebih pintar dari manusia. Dia hanya bisa memberikan apa yang dia ketahui, tetapi tidak bisa menciptakan sesuatu yang tidak diketahui, yang tidak ada datanya. Beda dengan manusia yang bisa mengekplorasi hal-hal baru sehingga menciptakan dan memiliki pengetahuan baru atau knowledge of knowing. Hanya saja basis data (yang dimiliki AI) luar biasa besarnya yang dikenal dengan istilah big data.

Menyikapi hal ini, sastrawan harus mengembangkan ruang kreativitas baru yang datanya tidak dimiliki oleh chatGPT. Tuhan memberikan 2 tingkat kemampuan kepada manusia. Pertama kemampuan berpikir tingkat rendah (low order thinking skills/LOTS) yakni menghafal, meniru, dan mengikuti SOP (standard operasional procedure). Intinya kepatuhan akan suatu tatanan atau regulasi.

Kedua, kemampuan berpikir tingkat tinggi (high order thinking skills/HOTS), kreatifitas, mencipta dan membuat terobosan. AI termasuk dalam kategori LOTS sehingga pekerjaan yang hanya melakukan SOP, akan dilibas. Contohnya petugas penerima pembayaran jalan tol yang kerjanya sesuai SOP, perannya sudah digantikan oleh mesin melalui sistem pembayaran non-tunai. Sebentar lagi petugas check in di bandara juga akan mengalami nasib yang sama.

Percayalah, kemampuan yang membutuhkan penciptaan, kreatifitas, tidak akan pernah tergantikan oleh mesin. Persoalannya, sistem pendidikan di Indonesia masih banyak yang mengajak peserta didiknya menghafal, menciptakan lulusan yang low order thinking skills. Ini bahaya, karena kita akan menciptakan generasi yang pintar menghafal, meniru, mengikuti perintah, namun miskisn dengan kemampuan inovasi, membuat terobosan, kreativitas, mencipta, critical thinking, design thinking, dan sebagainya,

Apakah sudah ada regulasi yang melindungi para pencipta karya, kreator konten, terutama seniman dan budayawan agar tidak menjadi korban kemajuan ternologi seperti kecerdasan buatan?

Pemerintah Indonesia cukup cepat membuat aturan untuk melindungi efek negatif AI. Sudah ada Surat Edaran dari Kominfo Nomor 9 Tahun 2023 tentang Etika Kecerdasan Artifisial yang memuat tiga kebijakan yaitu nilai etika, pelaksanaan nilai etika, dan tanggung jawab dalam pemanfaatan dan pengembangan kecerdasan artifisial.

Intinya AI tidak boleh digunakan untuk membuat keputusan yang terkait dengan manusia. Misalnya, untuk menentukan PHK, serta untuk keperluan medis, pengobatan, sifatnya hanya membantu, tapi keputusan akhir tetap di tangan dokter.

Suasana wawancara berlangsung santai namun serius. Foto: Ist

Di tengah berbagai macam persoalan klasik, ditambah serbuan teknologi yang begitu cepat sehingga menciptakan era disruptif yang tidak terbayangkan sebelumnya, apakah mungkin pemerintah memberikan perhatian yang lebih besar kepada sastrawan supaya bisa eksis?

Pada dasarnya kita ingin pemerintah mengalokasikan anggaran untuk ikut membeerikan kesejahteraan kepada sastrawan sehingga dia bisa berkarya dengan baik. Persoalannya, belum ada undang-undang yang mengatur kesusasteraan nasional sebagai payung hukumnya. Karena belum ada dasar hukumnya maka pemerintah tidak bisa mengeluarkan duit APBN, duit rakyat, untuk membiayai sastrawan. Jadi perlu payung hukum.

Tahun 2017 saya sudah ikut sreta menggagas pembentukan Asosiasi Profesi Sastrawan Indonesia yang saya presentasikan dalam sebuah seminar di Perpustakaan Nasional. Tapi ide saya ditentang banyak orang. Katanya, sastrawan diatur—atur, penyair diatur-atur, mana mau. Sastrawan harus bebas, tidak butuh asosiasi.

Padahal asosiasi ini bukan hendak mengatur atau membatasi sastrawan dalam proses kreatif dan karyanya, tapi mengajak bergabung dalam satu wadah yang bisa menjadi pressure group sehingga pemerintah mau menerbitkan regulasi sebagai payung hukum dalam mengalokasikan anggaran untuk sastrawan.

Sebagai dosen Ilmu Komputer, Komisaris BUMN, dan seabrek kegiatan lainnya, Anda masih setia menggeluti jalan kesusastraan. Bukan hanya sebagai penyair, namun juga aktif membangun komunitas dan menyediakan ruang berkarya bagi seniman lain. Apa motivasi Anda menjalani dua dunia berbeda secara paralel?

Saya sudah menulis puisi sejak remaja, tepatnya sejak SMP. Tetapi pada saat bersamaan saya juga aktif menulis esai dan ilmiah. Jadi dua dunia ini sudah saya jalani sejak kecil, secara paralel. Tetapi memang dalam hal berpuisi, saya tidak memberi target tertentu. Berbeda ketika saya berada di dunia yang satunya. Saya memiliki target tertentu dan saya kejar dengan lebih serius. Oleh karenanya, bukan berarti semua puisi saya pasti bisa diterbitkan oleh JSM Press. Tidak demikian! Karya saya juga harus melewati kurasi oleh Sofyan RH Zaid dan Emi Suy. Dan ketika mereka bilang tidak layak atau harus ada revisi, saya pun menerimanya. Soal puisi, mereka jauh lebih paham daripada saya. Namun soal manajemen organisasi dan teknologi, saya jauh lebih paham. Jadi kami saling menghormati satu sama lain.

Meski saya tidak bisa menulis dengan sudut pandang “idealisme antikemapanan” tetapi saya bisa menulis hal-hal yang berkaitan dengan tugas keseharian yang tidak semua orang tahu. Misalnya saat berdiplomasi dengan perwakilan negara lain, menghadapi berbagai tekanan makro, atau bagaimana persaingan dalam bisnis, dan lain-lain. Jadi di mana pun dan apa pun posisi kita, tinggal di dalam gang atau rumah asri, tetap bisa berkarya sesuai pengalaman batin yang kita alami. Setiap manusia memiliki pegalaman batin masing-masing. Satu lagi yang pasti, setiap manusia dalam tingkat srata sosial manapun memiliki pengalaman batin sebagai manusia, yang mungkin saja sama, seperti cinta, kesedihan, dan sebagainya.

Terakhir, apa rencana ke depan untuk JSM dan dunia kesusateraan umumnya?

JSM sudah memiliki beberapa program reguler seperti penerbitan buku antologi cerpen dan puisi terbaik yang dimuat di Sastramedia dalam rentang satu tahun. Ada juga kuliah umum yang dilaksanakan setiap tahun dan biasanya bertepatan dengan ulang tahun saya. Ini juga kegiatan rutin JSM dalam rangka berbagi ilmu. Pesertanya bukan hanya anggota JSM, melainkan terbuka untuk umum sebagai bentuk sumbangsih dan komitmen JSM kepada dunia sastra. JSM meman menfokuskan kegiatabn kepada penciptaan karya sastra atau tulisan. Itulah sebabnya JSM banyak menerbitkan tulisan karya sastra, baik dari kalangan internal JSM, juga kalangan eksternal seperti memuatnya dalam Sastramedia.

 

Bagikan ke Media Sosial

Hubungi Admin Jika Ingin Meng-copy Konten Website ini