Titik nadir bukan pilihan.
Bukan pula untuk dibiarkan.
Alif, istiqomah, tawadhu,meanggil.
Yang Maha Kaya berjanji
Janji itu pasti.
Lentera menyala.

(Titik Nadir, Halimah Munawir)

PojokTIM – Puisi-puisi Halimah Munawir yang terhimpun dalam buku berjudul Titik Nadir memiliki 2 nilai yakni religiusitas dan kemanusiaan. Puisi religius bukan tempat memamerkan kesalehan, penderitaan, namun bisa saja bermakna empati terhadap kemanusiaan.

Demikian dikatakan Sofyan RH Zaid, penyair, esais dan kritikus sastra saat menjadi pembicara dalam acara peluncuran buku kumpulan puisi Halimah Munawir di aula PDS HB Jassin, Taman Ismail Marzuki (TIM) Jakarta, Jumat (28/2/2025).

“Setiap penyair harus memiliki nilai dan prinsip sebagai landasan karya-karyanya.  Halimah mampu menggabungkan nilai-nilai sosial dalam balutan religius dan sebaliknya. Banyak puisi-puisinya dalam Titik Nadir yang bersumber dari Al Qur’an. Namun pada buku yang sama Halimah, yang seorang pengusaha, ternyata berani mengutuk aksi genosida di Gaza meski masih sopan karena ingat Tuhan,” ujar CEO Penerbit Taresia itu.

Sofyan mengapresiasi puisi-puisi Halimah yang juga memiliki nilai sosial dan kepahlawanan. “Ketika seseorang berada di titik terendah, di titik nadir, melalui puisinya Halimah tidak menyarankan orang untuk bunuh diri, tapi berjuang, tidak membiarkan membelenggu, dan mengajak agar kembali ke jalan agama. Itu nilai sosial sekaligus kepahlawanan yang kuat dari  seorang Halimah,” tegas Sofyan.

Acara peluncuran buku  yang dihadiri komunitas Bogor Wanita Berkebaya lengkap dengan atributnya, juga diisi dengan pembacaan puisi dari sejumlah penyair ternama seperti Rini Intama, Boyke Sulaiman dan Ketua Simpul Seni Dewan Kesenian Jakarta, Imam Ma’arif.

“Titik Nadir adalah puisi yang terinspirasi dari cerita seseorang kepada saya. Dia merasa hidupnya berada di titik terbawah, tanpa kekuatan, hampa dan terhimpit serta merasa tidak bisa berdiri lagi. Melalui puisi ini saya mengatakan bahwa titik nadir bukan untuk dibiarkan tapi dihilangkan, dan selalu ingat pada janji Allah SWT yang pasti,” tutur Halimah Munawir.

Dalam kata pengantar buku, Halimah menulis alasan mengapa memilih puisi religi. “Minimal mengingatkan saya bahwa Allahu Robbi itu ada. Dapat terus melaksanakan Rukun Islam dan percaya pada Rukun Iman.”

Halimah Munawir (baju hijau) tengah menyimak pembahasan buku kumpulan puisi Titik Nadir oleh narasumber.

Jalan Sepi

Diskusi dengan moderator Arief Joko Wicaksono, juga menghadirkan Ahmadun Yosi Herfanda sebagai pembahas buku kumpulan puisi Titik Nadir yang diterbitkan bilingual, Indonesia dan Inggris.

Titik Nadir menegaskan tradisi puisi religius. Kata sangat penting, karena Tuhan menciptakan alam dengan kata-kata: kun fayakun. Perang dan damai juga bermula dari kata-kata,” ungkap Ahmadun.

Penyair yang terkenal dengan puisi berjudul Sembahyang Rerumputan itu memberikan pujian kepada Halimah Munawir yang masih sempat menulis puisi dan novel di tengah kesibukannya sebagai pengusaha. Terlebih tema-temanya religius.

“Puisi-puisi Halimah terasa Qur’ani, sehingga layak diantarkan. Terlebih penyair religius bagai berjalan d jalan yang sepi. Saya mengapresiasi keberanian Mbak Halimah menulis puisi religius yang Qur”ani ini sehingga memastikan keberlangsungan kepenyairan religius setelah era Abdul Hadi WM,” kata Ahmadun.

Menurut Ahmadun, puisi-puisi Halimah Munawir cenderung  ekspresif. Spontanitasnya berasal dari kegelisahan hati dan emosi jiwa terhadap persoalan sosial. “Bukan hanya puitis, puisi-puisi Mbak Halimah juga menyentuh persoalan sosial. Kalimatnya pendek-pendek, yang mungkin buah dari pengalamannya sebagai wartawan,” ujar Ahmadun yang juga mantan wartawan.

 

Bagikan ke Media Sosial

Hubungi Admin Jika Ingin Meng-copy Konten Website ini