PojokTIM – Bertahun-tahun Shantined melawan ketakutan, antara terus berkarya secara jujur atas berbagai peristiwa yang ditemui berbalut imajinasi “liarnya” atau menjadi penulis yang mengikuti arus agar terhindar dari stigma buruk. Karya-karya yang berserak di berbagai media dibiarkan tanpa upaya untuk mendokumentasikan dalam bentuk buku. Seolah-olah ingin menghapus jejak setelah “memuntahkan” unek-unek di ruang publik.

“Masih banyak yang beranggapan bahwa apa yang kita tulis sebagai apa yang kita alami atau pikirkan. Realitas itu membuat saya takut akan muncul stigma negatif pada diri saya setelah mereka membaca karya saya,” ujar Shantined saat peluncuran dua buku karyanya masing-masing antologi puisi Kita yang Tersisa dari Luka Cuaca dan kumpulan cerpen Saga, Srigala dan Sebilah Mandau di aula PDS HB Jassin kompleks Taman Ismail Marzuki, Kamis (27/2/2025).

“Akhirnya saya memiliki keberanian setelah membaca karya-karya penulis lain dengan tema dan narasi yang cukup berani. Pembaca juga sudah semakin memahami bahwa apa yang saya ceritakan, tidak selalu mengenai atau berhubungan dengan diri saya,” tutur Shantined, penulis kelahiran Jogyakarta  yang pernah tinggal di Bontang, Kalimantan Timur di mana dia banyak mendapat inpsirasi untuk karya-karyanya, baik puisi maupun cerpen.

Acara peluncuran 2 buku Shantined cukup memiliki greget dengan kehadiran Ririen Fina, psikolog, dan aktivis gerakan perempuan Olin Montero sebagai pembahas bersama kritikus sastra Maman S Mahayana, novelis yang juga penyair Kurnia Effendi, novelis dan cerpenis Fanny J Poyk, serta Redaktur Majalah Sastra Horison Mahwi Air Tawar.

“Setelah 20 tahun berkarya, baru kali ini Shantined meluncurkan buku kumpulan puisi dan cerpennya. Usai membaca beberapa karyanya, saya merasa senang dapat terlibat dalam peneribtan 2 buku ini,” ujar Ketua Jagat Sastra Milenia (JSM) Riri Satria.

Dalam diskusi yang dipandu Rissa Churria – penyair produktif sekaligus pendidik, Maman S Mahayana memuji karya Shantined yang disebutnya berhasil menyampaikan ideologi feminisme.

“Stigma perempuan itu lemah, inferior, dijungkirbalikkan. Dalam karya Shantined, semua tokoh laki-laki, kalau tidak mati, diposisikan sebagai pecundang,” ujar Kang Maman.

Mantan dosen Universitas Indonesia itu mengapresiasi keberanian Shantined menawarkan tema-tema yang bagi sebagian orang masih tabu atau hanya dibicarakan di ruang-ruang privat. Pendapat Kang Maman dipertajam oleh Olin. Menurutnya, perempuan harus bersuara, berani menulis tema-tema di luar dirinya dan sektor domestik.

“Perempuan juga bisa menulis terkait isu-isu HAM, kejahatan lingkungan, termasuk dunia laki-laki. Kasus pemerkosaan atau pelecehan seksual yang ditulis laki-laki memiliki sudut pandang maskulin, diromantisme. Padahal ini kejahatan. Jadi saya suka karya-karya Shantined karena berani mengungkap sesuatu dari sisi perempuan, tidak terjebak pada tema yang manis-manis saja seperti yang dipahami oleh laki-laki,” ujar Olin.

Sementara Ririen juga mengapresiasi karya Shantined yang menurutnya berani dan berdaya. “Tidak ada ending indah dalam cerpen-cerpen Shantined,” papar Ririen.

Ditinjau dari ilmu psikologi, demikian Ririn, karya Shantined didominasi id. “Menurut Sigmund Freud ada 3 komponen utama yang membentuk kepribadian manusia yakni id (nafsu), ego (self control), dan superego (norma). Nah, cerpen-cerpen Shantined banyak mengekplorasi sisi id tanpa menawarkan 2 komponen lain. Saya berharap pada karya-karya berikutnya, Shantined (juga) menawarkan ending yang positif,” ujar Ririen yang menegaskan bahwa dirinya tetap menganggap LGBT sebagai penyimpangan meski sudah ada pandangan berbeda. LGBT menjadi salah satu tema yang ada dalam karya Shantined.

Shantined (kanan) serius mendengarkan paparan para pembahas bukunya. Foto: Rissa Churria

Tergesa-gesa

Kef, panggilan akrab Kurnia Effendi, menyoroti faktor ketergesa-gesaan dalam proses penerbitan buku Kita yang Tersisa dari Luka Cuaca dan Saga, Srigala dan Sebilah Mandau oleh Penerbit Taresia. Andai Shantined mau bersabar sedikit, kata Kef, maka ketidakcermatannya dalam penggunaan ejaan sesuai kaidah PUEBI dapat diminimalisir.

“Jika saja sebelum diterbitkan (naskahnya) diberikan terlebih dahulu kepada orang yang lebih paham ejaan yang disempurnakan, buku ini akan lebih bagus. Ketidakkonsistenan Shantined dalam penulisan titimangsa, kalimat yang terputus, dan ejaan yang kurang tepat, cukup mengganggu. Mestinya hal itu tidak perlu terjadi,” ujar penulis novel Pangeran dari Timur itu.

Meski demikian, Kef memuji keberanian cara bertutur Shantined yang menggabungkan antara suatu tindakan dengan khayalan. “Unsur absurditas cukup dominan, mendekati surealis,” tegas Kef.

Bagi Fanny dan Mahwi, Shantined cukup berhasil membangun cerita dengan estetika yang baik, dan lokalitas yang kental.

“Shantined bukan penulis iseng. Dia serius dalam berkarya, dan seorang pencerita yang andal,” puji Mahwi.

Selain diskusi, acara juga dimriahkan dengan pembacaan dan musikalisasi puisi yang dibawakan Hana Sania, Sihar Ramses Simatupang, Nuyang Jaimee, Nurhayati, Khairani Piliang hingga Rinidiyanti Ayahbi. Sedang nukilan cerpen dibacakan oleh Retno Budiningsih.

 

Bagikan ke Media Sosial

Hubungi Admin Jika Ingin Meng-copy Konten Website ini