PojokTIM – Langit di atas teras kantor Dewan Kesenian Jakarta (DKJ), Lantai 14 Gedung Ali Sadikin, kompleks Pusat Kesenian Jakarta Taman Ismail Marzuki (PKJ TIM) masih menyisa sedikit cahaya matahari ketika Sihar Ramses Simatupang menerima ajakan untuk wawancara. Sastrawan yang juga jurnalis itu diketahui cukup sibuk dengan kegiatan sastra, termasuk diskusi dan mengajar di sekolah.
“Kabari tempatnya, aku segera ke sana,” kata Sihar ketika PojokTIM meminta waktu untuk mencari tempat wawancara, akhir pekan lalu.
Sihar dikenal sebagai penulis produtif sejak muda. Karya yang sudah dterbitkan antara lain buku kumpulan puisi Metafora Para Pendosa (Rumpun Jerami, 2004), kumpulan cerpen Narasi Seorang Pembunuh (Dewata Publishing, 2004), kumpulan puisi Manifesto (Q Publisher, 2009), kumpulan puisi Semadi Akar Angin (Q Publisher, 2014) dan Kabar Burung Pecah di Jendela (Tarebooks, 2020).
Novelnya, Lorca – Memoar Penjahat tak Dikenal (Melibas, 2005), Bulan Lebam di Tepian Toba (Penerbit Kakilangit Kencana – Prenada Media Group terbit tahun 2009 dan meraih nominasi di Khatulistiwa Literary Award 2009 juga penghargaan dari penerbit Italia, Metropoli d’Asia), Misteri Lukisan Nabila (Penerbit Nuansa Cendekia, Bandung, 2013) dan Lorca Inocencio(2017).
Lulusan Fakultas Sastra Universitas Airlangga dan Pascasarjana Pengkajian Seni Instirut Kesenian Jakarta itu juga pernah menjadi Redaktur Budaya di Harian Umum Sinar Harapan, mengajar di SMA Erudio School of Art dan Fakultas Komunikasi Universitas Multimedia Nusantara, dan berhimpun dalam berbagai organisasi.
Berikut petikan wawancara dengan Sihar Ramses Simatupang yang dilakukan sambil menikmati kopi saset di antara keriuhan warung makan.
Di tengah kesibukan pengajar dan menjadi pembicara di berbagai acara, Anda masih sempat menulis?
Bagiku, menulis adalah kebutuhan. Kesibukan apa pun tidak bisa menggantikannya, meski kadang harus berbagi waktu. Aku tetap menulis puisi, juga cerpen dan novel. Saat ini Rumah Marsak, novel baruku, sedang dalam proses revisi dan akan diluncurkan bareng Bulan Lebam. Aku juga sedang mempersiapkan kumpulan puisi, namun judulnya belum bisa dibocorkan biar surprise. Selain itu, ada keinginan tahun depan mulai menulis prosa liris yang sudah lama aku persiapkan tetapi masih terkendala waktu.
Anda termasuk yang sukses bertransformasi dari dunia cetak ke digital. Apa resepnya?
Generasi yang mengenal mesin tik, koran (cetak), memiliki daya adaptasi yang kuat. Mereka telah melewati banyak fase di tengah perubahan teknologi yang begitu cepat. Mereka sudah memiliki karakter tersendiri sehingga perubahan yang terjadi di sekitarnya, termasuk perubahan cara publikasi karya dari media cetak ke media digital seperti website dan media sosial, tidak terlalu mempengaruhi karyanya. Beda sama generasi baru yang langsung berhadapan dengan AI (Artificial Intelligence).
Aku contohkan Gol A Gong, penulis serial Balada Si Roy yang kemudian dibukukan. Saat aku SMA, Balada Si Roy sangat populer, kalau sekarang viral. Tetapi Gol A Gong tidak meneruskan Balada Si Roy, beralih menjadi penulis puisi dan membangun komunitas Rumah Dunia, membuat website, dan lain-lain. Gol A Gong contoh penulis yang mampu beradaptasi dengan perkembangan zaman.
Ketika dunia digital tidak memiliki dayar tawar sekuat media cetak, terbuka peluang lainnya, seperti menggalakkan dunia literasi, membentuk komunitas. Kita harus adaptif. Aku tidak mempublikasikan karya di website untuk tujuan mendapatkan uang secara langsung. Bagiku efeknya ada di tempat lain, misal diminta untuk membaca, menulis, dan juga membahas karya orang lain. Itu bagian dari cara aku bertahan di era digital. Ketika daya kreatif terjaga, maka persoalan pemenuhan penghidupan akan menyertai.
Bagaimana dengan penulis yang tidak mampu beradaptasi?
Ada sebagian penulis yang dulu rajin mengirim karya ke media cetak, terutama di Sinar Harapan, sekarang berhenti berkarya karena tidak mampu mengikuti perubahan. Ada juga yang memang tidak mau mempublikasikan karyanya secara digital. Hal sama juga terjadi pada beberapa rekan jurnalis. Ketika bertemu, aku coba bangkitkan kembali semangat mereka. Aku ajak kolaborasi, ikuti fase digital ini. Dulu kita sanggup bertahan, mengapa sekarang tidak? Namun terhadap yang fatalis, aku cenderung membiarkan.
Bukankah tetap membutuhkan dukungan nyata, bukan hanya dorongan semangat?
Tentu, semua bidang, bukan hanya literasi, membutuhkan dukungan semua pihak termasuk kebijakan pemerintah. Namun tidak harus sepenuhnya bergantung pada pemerintah. Pihak swasta dan individu banyak juga yang mengerti sikap dan konsep kita sehingga mau mendukung dan menjadi sponsor kegiatan kesenian yang kita kerjakan. Tentu butuh jaringan dan kedekatan supaya mereka paham maunya kita.
Saat ini media massa online dan media sosial begitu mendominasi, dan menjadi ruang baru untuk publikasi karya tulis, terutama puisi dan cerpen. Karya bisa langsung tayang tanpa adanya seleksi sebagaimana di media cetak. Pendapat Anda?
Resiko website sastra tanpa seleksi akan memunculkan karya yang tak teruji secara teks baik intrinsik dan ekstrinsik atau kekuatan tematik. Karena itu para penulis yang dimuat di media website sebaiknya tetap membuka diri dengan dialog dan diskusi dengan sesama penulis terutama di generasi sebelumnya. Kritik teks di antara anggota komunitas, menghadirkan teknsya di forum diskusi yang saling menganalisa dan mengapresiasi karya adalah jalan lain untuk mendapatkan cara pandang yang obyektif terhadap karya kita.
Banyak karya yang viral, disukai banyak pembaca di medsos, tetapi lemah secara kualitas. Menurut Anda?
Aku tidak mau memvonis karya yang viral tidak berkualitas. Sebab ada yang namanya estetika resepsi yakni keinginan publik bagaimana bisa bergayung sambut dengan kualitas teks itu sendiri. Misalnya pada Paulo Coelho (penulis buku The Alchemist dari Brasil), atau Kahlil Gibran yang bahkan sudah populer, dan karya-karya sudah viral sebelum era digital. Karya-karya mereka terkenal, dibaca banyak orang, tetapi kuat secara teks.
Bagi saya, karya populis – sebelum sampai pada kesimpuilan – sebaiknya dikaji dulu, terutama karya yang diviralkan oleh pembaca muda, yang mungkin tidak punya perbandingan dengan karya lain. Dia hanya tahu karya itu, lalu menganggapnya sangat bagus dan memviralkan. Padahal karya itu, misalnya, secara kualitas kurang berbobot dibanding karya-karya lain yang belum dia baca.
Ketika mengajar di sebuah SMA di Lebakbulus aku tanya pada siswa, karya penyair mana yang mereka sukai. Mereka hanya menyebut 1 nama. Ketika aku sajikan karya penyair-penyair lain sepanjang zaman, lalu aku tanyakan kembali hal yang sama, muncul 5 nama. Dengan cara itu, aku berhasil menambah perbendaharaan karya yang dipahami dan disukai oleh siswa yang sebelumnya tidak mereka kenal, dan belum pernah membaca karyanya karena selama ini nama penyair dan karya yang diajarkan di sekolah-sekolah itu-itu saja.
Nah, apakah para penulis sekarang, yang kemudian karya viral, juga sudah melalui fase pengenalan pada karya-karya orang lain? Jika pembacanya tidak pernah membaca karya orang lain, lantas penulisnya juga tidak paham karya orang lain, tetapi karyanya viral dan dianggap hebat, ini yang perlu mendapat perhatian serius. Jadi bukan hanya peminat atau pembacanya yang perlu meningkatkan kemampuan, penulisnya juga harus mau belajar dan mendalami teks di luar dirinya agar karyanya lebih berkualitas.
Ada lagi yang harus dilakukan penulis-penulis muda untuk meningkatkan kualitas karyanya?
Harus banyak membaca, meski sialnya berdasar data riset, kebanyakan generasi muda tidak suka membaca, namun begitu percaya diri secara tekstualitas. Ketika kita lihat, ternyata karyanya masih kurang baik secara kualitas. Mereka juga menghindar dari pembahasan teks secara kualitatif, apalagi masuk ke ruang diskusi. Itu berbahaya.
Generasi sekarang kurang beruntung dibanding generasi sebelumnya ketika media cetak masih mendominasi. Ada sistem filter seperti redaktur yang menilai cerpen, atau puisi yang kita kirim ke media.
Oleh karenanya, generasi sekarang perlu memperluas jaringan, baca buku, diskusi sehingga tahu taksnya di posisi yang mana, sudah sampai mana. Hati-hati terhadap pujian yang melenakan. Terlebih dunia digital begitu memabukan. Kita begitu mudah masuk web, cetak buku digital, tidak ada sarana filter yang mengingatkan apa itu diksi, apa itu ivory dalam bunyi, kekuatan metafora dalam puisi dan lain-lain. Demikian juga di cerpen, ada berbagai aliran seperti realis, surealis. Ada karakter tokoh, bentuk konflik, cerita berbingkai, dan lain-lain.
Penulis era sebelumnya begitu pontang-panting memahami itu dan berjuang keras agar karyanya layak dimuat di media (cetak). Ketika akhirnya tembus, karyanya benar-benar sudah matang baik secara penulisan, alur atau plot, bentuk dan isi. Jika pun gagal, setidaknya penulisnya sudah tahu sampai di mana posisi karya kita.
Seberapa penting komunitas?
Di luar estetika resepsi, tetap perlu kualitas. Indonesia perlu kembali pada era kegemilangan sastra-sastra yang dulu. Jangan karena mabuk digital hilanglah komunal pengamat, kritikus, dan komunitas diskusi sastra. Mungkin tidak perlu seperti dulu, hadir secara fisik. Bisa dengan forum lain.
Forum diskusi yang lahir dari komunitas sangat penting karena kajian teks tidak pernah berubah. Ada persoalan intrinsik, struktur, kekuatan karya yang berguna untuk generasi muda. Dengan diskusi maka akan saling menguatkan kualitas teks masing-masing. Dalam komunitas itu biasanya ada penulis senior yang membimbing generasi sekarang yang sedang berporses. Jadi komunitas sangat penting sebagai salah satu tempat diskusi.
Gerakan sastrawan masuk sekolah yang saat ini sedamg dilakukan di Jakarta apakah sudah menjawab kebutuhan itu?
Sebagian sudah, tapi belum cukup. Harus diperluas jangkauannya karena banyak sekolah yang belum mendapat kesempatan dikunjungi sastrawan. Umumnya, siswa sekolah yang pernah diajar oleh sastrawan, mampu menghasilkan karya yang lebih berbobot. Mereka sangat tertarik mempelajari puisi, apa itu diksi, bagaimana puisi yang kuat, puisi yang panjang usianya ketika dibaca, kedalaman, dan kontemplasinya.
Ketika menjadi redaktur puisi, saya tahu siapa di balik anak muda di sebuah kota yang mengirimkan naskah. Sebab ada guru yang mengawal estetika penulisan muridnya dengan sangat ketat sehingga persis seperti gaya gurunya. Saya kagum pada guru dengan membebaskan gaya estetikanya murid-muridnya, tidak mirip, bahkan dalam perkembangannya bertentangan dengan yang diajarkan.
Mengaapa harus mengenal sejarah penulisnya di balik teks yang kita baca?
Literasi bukan hanya bisa baca, hanya menulis, tapi juga membangun suasananya yang bisa kita dapatkan dari mengenal penulisnya. Dalam dunia literasi yang menghubungkan antarteks perlu pengalaman, perlu diskusi, perlu ada hantaran dari orang-orang yang mendampingi, entah seniar atau mentor, sehingga siswa menadi kaya pengetahuannya.
Pada fase selanjutnya siswa akan memilih. Bukan hanya kesadaran teks, tapi keberagaman para penulis yang mereka dapatkan sebagai bagian referensi. Tentang bagaimana sejarah sosialnya, bagaimana bereaksi terhadap persoalan yang ada di lingkungannya. Itu suasana literasi. Saat kita membaca buku, kita dipenuhi suasana, termasuk ketika kita mendengarkan dongeng opung sebelum kita mengenal teks.
Sihar dalam salah satu penampilannya. Foto: akun Facebook Sihar Ramses Simatupang
Kapan Anda mulai berkecimpung di TIM?
Awal tahun 1990-an, saat masih SMA. Pertama main ke TIM, diantar bapakku. Meski bukan seniman – bapakku sopir (bus) PPD – tapi melihat aku senang menulis, Bapak mengantarkan aku ke TIM. Mungkin beliau tahu di sinilah tempatnya para seniman dan penulis berkumpul. Banyak seniman yang mewarisi darah kakeknya, bapaknya, atau sudah berada di lingkungan seniman sejak kecil. Aku tidak termasuk di situ.
Hal pertama yang paling berkesan adalah ketika aku melihat mural karya Semsar Siahaan yang kemudian menjadi tokoh seni rupa dan pergerakan. Kelak, ketika aku bekerja di Sinar Harapan, dan mulai serius “bermain” di TIM sejak 2001, aku terbantu oleh pengalaman yang aku dapat di tahun 90-an. Bahkan ketika Semsar bikin pameran di Galeri Nasional, aku menulisnya dari sudut “perjumpaanku” pertamaku di TIM. Demikian juga saat beliau wafat, di mana aku menulis in memoriam-nya di Sinar Harian.
Bagaimana pandangan Anda terhadap TIM pasca revitalisasi?
Aku kurang paham arti revitaslisasi pada TIM, tapi yang harus kita lihat, bahwa biarlah semuanya bertumbuh dan berkembang. Karena di luar, TIM bukan lagi sebagai pusat kegiatan seni di tengah era digital. Di daerah pun kita bisa berkarya. Jadi ketika melihat TIM, biarlah dia menjadi bagian dari tempat pertemuan-pertemuan kita. Tapi ketika berkreasi, bisa dilakukan di mana saja.
Tentu, jika dibandingkan dulu, sekarang TIM banyak perbedaan. Jangan lupa, pemahaman tentang kesenian pun telah berubah. Sebab dalam term UU Nomor 5 Tahun 2017 tentang Pemajuan Kebudayaan, negara lebih menghendaki kebudayaan. Kesenian hanya 1 dari 10 bagian dalam kebudayaan.
Ketika napas di kementerian sudah ditiupkan untuk UU Kebudayaan, maka sudah ada strategi kebudayan, pokok-pokok kebudayan daerah, dan perda kebudayaan di tiap-tiap daerah. Lalu bagaimana posisi DKJ (Dewan Kesenian Jakarta) ketika di daerah mulai menggunakan idiom Dewan Kebudayaan untuk memenuhi keinginan UU nomor 5/2017. Saya pikir DKJ, TIM, AJ (Akademi Jakarta), harus melakukan diskusi mendalam tentang posisi kesenian dengan komunitas dan pemangku kepentingan lainnya.
TIM juga perlu , mengintensifkan interaksi dengan komunitas se-Jabodetabek, dan menghidupkan semua ruang karena sekarang banyak ruang-ruang kosong, sehingga bisa digunakan oleh pelaku kesenian untuk berkreasi di tengah minimnya space di Jakarta. Dulu di depan ramai poster kegiatan, tapi sekarang sudah tidak ada. Apakah karena banyak tumbuh kantong kesenian di luar TIM? Kalau benar begitu, bagus. Tapi bukankah masih banyak yang membutuhkan TIM untuk mengadakan even dan pementasan? Jadi harus ada mekanisme membuka diri terhadap komunitas di Jakarta dan daerah supaya tetap bisa tampil di TIM. Bukan untuk menghidupkan sentralistik kesenian, tetapi sekedar memberikan ruang kepada teman di daerah yang ingin mengadakan kegiatan di TIM. Terkait kualitas karya yang akan dipentaskan, bisa dilakukan melalui kurasi.
Ada hal lain yang ingin disampaikan sebagai penutup?
Soal penghidupan tak hanya dari membaca dan menganalisa karya orang lain. Aku ikhlas soal itu. Tapi aku dapat dari membuat biografi atau buku, menjadi juri, mengajar di dunia literasi, sastra bahkan jurnalistik. Dari aktif di beberapa lembaga, kadang ada yang meminta kita menggarap kepenulisan atau karya kesenian.
Jadi jalani dan bentuk jaringan. Semua itu bagian dari perjalanan penghidupan kita. Meski kita tetap meniti jalan kepenulisan yang elegan dan menjaga wibawa, asalkan kita gigih dan intens, saya yakin dan percaya kita tetap saja akan fight, bahagia dan berkecukupan di tengah kehidupan digital dan kehidupan kepenulisan sekarang ini. Banyak juga dukungan untuk dunia literasi yang bahkan membuat saya mendirikan perpustakaan dan taman bacaan kecil di Citayam yaitu Rumah Aksara Khatulistiwa. Bahkan kami akan mengembangkannya menjadi komunitas seni dan semoga dapat menjadi yayasan di dunia literasi dan dunia seni.
Jalan yang positif terus dicari. Usia kami bukan lagi mencari tempat berkerja tetapi sebaiknya, menciptakan wadah kreativitas di dunia seni dan literasi sekaligus menghidupkan lingkungan sekitarnya, pelaku seni dan masyarakat literasi.