PojokTIM – Bahkan penyair pun tidak mengenal keabadian. Dalam beberapa bulan terakhir sejumlah penyair tenar telah berpulang. Kini Philipus Joko Pinurbo juga telah “berpulang” digantikan penyair baru seperti dalam esai Nanang R. Supriyatin “Penyair Datang, Penyair Menghilang” yang dimuat di SKH Republika, 7 Oktober 2001.
Ya, kabar duka itu datang Sabtu Wage, 27 April 2024. Penyair kelahiran Sukabumi yang akrab disapa Jokpin itu wafat di usia 62 tahun.
“Wafatnya Jokpin sontak mengingatkan kembali pada esai saya bahwa kematian akan datang pada siapa pun,” ujar Nanang R. Supriyatin melalui dinding Facebook, kemarin. Nanang menyebut Jokpin adalah penyair sederhana yang bisa bergaul dengan semua kalangan.
Kegundahan atas kabar wafatnya Jokpin juga dirasakan Arief Joko Wicaksono. Penyair kawakan itu langsung mencari setumpuk buku karya Jokpin baik kumpulan puisi, catatan apresiasi, esai dan buku pembahasan karyanya. Ternyata banyak yang sudah lapuk terciprat gerimis dan dimakan rayap.
“Anehnya buku puisi Jokpin berjudul “Celana” masih utuh dan kondisinya cukup baik” cetus Arief di wall Facebook.
Buku puisi “Celana” karya Joko Pinurbo. Sumber: Dokumentasi Arief Joko Wicaksono
Menurut Arief buku puisi “Celana” diterbitkan Indonesia Tera [1999] milik Dorothea Rosa Herliany dan Andreas Darmanto, Berkat “Celana” nama Jokpin yang telah berpuisi lebih dari 17 tahun langsung melejit ke tingkat nasional.
Arief menuturkan sebagai penyair Jokpin juga tidak terlepas dari proses menemukan gaya berpuisinya. Bahkan ia sempat merasa tidak puas berkutat dengan gaya “Yogyanya Linus” yang liris seperti dalam karya monumentalnya “Pengakuan Pariyem”.
“Jokpin tak puas. Ngaku sempat jemu, hampir nglokro. Namun dia kembali cemungut, tergugah, mencari, mencari siapa si diri sendiri yang dalam diri sembari menyerap kondisi lokal, gaya gojekan ala Jogya,” tutur Arief.
Dalam esainya yang jadi Juara 2 di Majalah Sastra Horison, Jokpin menguraikan, untuk mencari “’jalan puisi”, ia mempelajari gaya ucap puisi seluruh penyair besar Indonesia. Dari sini, antara lain, dia terpikat pada puisi mbeling. Namun, dalam observasinya, puisi mbeling zaman Remy Sylado, terutama para pengikutnya, masih terlalu ringan. Gojeknya kurang dalam. Maka, Jokpin menambah ramuan, gojek Yogya ditambah cara pandangnya.
Lebih lanjut Arief mengatakan, setelah melakukan banyak observasi Jokpin mulai melahirkan karya-karya dengan gaya baru seperti terlihat dalam sajak “Senandung Besak”‘ (1990), “Gambar Porno di Tembok Kota”, “Dari Raden Ajeng Kartini untuk Maria Madlalena Pariyem” [untuk LS], “Boneka dalam Celana”, dan serial puisi “Celana” (1996).
Saat itu Arief sempat meledek Jokpin yang menyelesaikan SMP di Sleman, SMA Seminari Mertoyudan, besar dan menua di Wirobrajan, Yogya. Arief melihat perubahan karya-karya Jokpin bertepatan dengan melejitnya Band Slank yang dikenal dengan lagu-lagu bergaya slengean.
“Sialan lu! Masak penyair dibanding dengan pesyair lagu,” balas Jokpin pura-pura sewot.
Memasuki masa reformasi, tutur Arief, kepenyairan Jokpin semakin berkembang. Baik dalam cara mengucap maupun apa yang diucapkan. Dia berani menambah tema yang lebih luas, tak hanya yang berkaitan dengan produk “tubuh”- nya, namun merambah pada soal kuburan, boneka, bahasa biskuit Khong Gu An, teror, hingga minimal guru bangsa dan memainkan sajak untuk para Joko dan Djoko, di zaman rezim Presiden Joko Widodo (Jokowi).
Buku-buku Jokpin kemudian banyak diterbitkan kelompok Kompas-Gramedia. Bahkan ada yang dicetak ulang lebih dari 25 kali. Di era 1980-an jarang ada buku yang dicetak ulang sebanyak itu.
“Puisi Jokpin mengalir, familiar, dan bikin senyum. Kadang pahit, kadang manis. Tapi ada suatu kandungan yang tersembunyi dalam setiap puiisnya,” ujar Arief yang kini sibuk membimbing mahasiswa Politeknik Negeri Jakarta menjelajah dunia sastra.
Anak muda yang mulai tertarik pada puisi, umumnya tahu Jokpin dan ada juga yang memiliki bukunya. “Bahkan anak SD bisa menikmati dan membacakan puisi Jokpin, terutama “Baju Lebaran”. Sajak itu juga yang dijadikan sajak utama yang wajib dibaca peserta Festival Lomba Seni Siswa Nasional [FLS2N} tingkat SD 2019 yang dihelat Kemendikbub, Dikti & Riset saat Arief menjadi ketua dewan juri. Bahkan foto Jokpin dipajang di gapura pintu masuk arena lomba yang diikuti pelajar dari seluruh provinsi di Indonesia.
Joko Pinurbo dan Remmy Novaris. Sumber: Facebook Remmy Novaris DM
Mimbar Abad 21
Sementara menurut Remmy Novaris DM, Joko Pinurbo mulai dikenal luas setelah tampil pada Mimbar Penyair Abad 21 yang digelar Dewan Kesenian Jakarta. Saat itu, sejumlah penyair dari berbagai daerah tampil di acara yang kini menjadi salah satu tonggak pencapaian sejumlah penyair nasional.
“Mimbar Penyair Abad 21 mengangkat banyak penyair daerah ke level level nasional. Beberapa di antaranya berhasil menciptakan kekhasan tersendiri dalam puisi-puisinya,” ujar Remmy, penyusun kegiatan yang berlangsung tahun 1996 itu.
Jokpin, menurut Remmy, berhasil menemukan karakter dan warna yang jelas dalam puisinya.
“Jokpin eksis karena berhasil mengambil gaya nyeleneh pergaulan anak-anak muda Yogyakarta saat itu. Gaya nyelenehan ini terlihat kuat dalam karya-karyanya,” ujar Remmy yang kini sibuk mengelola Penerbitan Teras Budaya dan komunitas Dapur Sastra Jakarta (DSJ).
“Selamat jalan Jok, Jokpin, PH. Joko Pinurbo,” tutup Arief.