Puisi – Puisi Heru Patria
APA KABAR HARI KEMERDEKAAN
apa kabar hari kemerdekaan
hari ini kau berulang tahun ke tujuh puluh sembilan
tapi mengapa belum juga ada pemerataan
kemerdekaan masih semu aku rasakan
di sudut negeri kemiskinan serupa bunga bangkai
menguar ke segenap penjuru
sementara ada banyak tikus berkeliaran di instansi
mencuri uang ibu pertiwi tanpa malu
di sana di bantaran sungai kota kota besar
jelata merintih dicekik rasa lapar
sedang di istana selalu ada pesta besar
didanai dari keringat rakyat yang terkapar
apa kabar hari kemerdekaan
kabarnya hari ini kau diperingati dengan biaya milyaran
tak peduli apakah esensi merdeka bisa wujudkan
mimpi buram kaum pinggiran
euforia hari merdeka hanya sebatas peringatan
tak memerdekakan jelata dari jurang kemiskinan
tidak juga mengangkat derajat nilai kebangsaan
yang ada justru mencoreng esensi kebijakan
hari ini di bawah kibar bendera gagah melambai
jelata merintih ratapi nasip tiada pasti
harga meroket tak mampu terbeli lagi
lapangan kerja tergencet kalah saing dengan tenaga luar negeri
di mana berkibarnya negeri agraris
ketika impor beras tiada pernah habis
kemana kaum petani harus adukan nasib
saat subsidi pupuk masih juga terselip
hanya tinta penyair yang masih terus mengalir
basahi ruang ruang dusta dalam bentuk puisi satir
meski tidak ada telinga sudi mendengar
kami tetap suarakan keadilan dengan hingar
dalam puisi kami berorasi tanpa mimbar
meluruskan politik bengkok tanpa gentar
pada danau kecewa jelata menyeka air mata
saksikan koruptor tiada henti rampok duit negara
apa kabar hari kemerdekaan
sudah sejauh mana rasa merdeka kau bagikan
sedang hukum selalu tumpul ke atas tajam ke bawah
kemakmuran tak pernah sampai pada para penggarap sawah
sudahkah kau tengok para para penghuni kolong tol
pernahkan kau sapa deretan rumah kumuh di pinggir kali
dalam kehidupan mereka kemerdekaan selalu dinanti
merdeka dari derita hidup saban hari
yang tak mampu kau beri
apa kabar hari kemerdekaan
esensimu hanya sebatas mimpi
teronggok di sudut paling sunyi
tertimbun sampah dari janji janji
janji kosong tanpa bukti
Blitar, 2024
RASANYA BARU KEMARIN
sungguh rasanya baru kemarin
Soekarno Hatta membaca proklamasi dengan kelapangan batin
berharap nusantara lepas dari belenggu penjajah secara yakin
membangun negeri entas kaum miskin
tapi
setelah tujuh puluh sembilan kemerdekaan diraih
keberadaan orang pribumi semakin tersisih
dengan berbagai teori dan dalih
praktik oligarki dikembang biakkan secara berlebih
ribuan jelata merintih
sedih
rasanya baru kemarin petang
anak-anak bangsa dapat menari dan bernyanyi riang
hari ini satu persatu mereka tumbang
di bawah kibar bendera usang
himne kehidupan sumbang
negeri dibangun dari dana utang
kemerdekaan tergadai pada bangsa asing
kemakmuran menjadi lagu lama pembuat pusing
sebab dalam pandangan orang-orang penting
masyarakat hanyalah seonggok daun kering
sebagai kambing hitam saat kalah bersaing
rasanya baru kemarin
dengan kebaya merah putih ibu pertiwi meniup lilin
bangga atas kerukunan yang erat terjalin
banyak mulut berteriak tentang hebatnya seorang pemimpin
padahal di balik topeng dia memilin
jerumuskan negeri ke jurang miskin
hingga iblispun tertawa bangga
merdeka kehilangan makna
Blitar, 2024
PUISIKU TELAH PERGI BERSAMA HUJAN TADI PAGI
puisiku telah pergi bersama hujan tadi pagi
saat titik titik air belum sempat menjelma pelangi
tetiba angin berembus dengan kekuatan tinggi
terbangkan diksi ke sudut paling sunyi
sajakpun terkulai hilang daya dalam diri
hasrat menikmati senja terkubur dalam mimpi
meninggalkan gumpal sesal sesakkan hati
selimuti rasa tanpa sisakan secuil peduli
lalu kepada langit aku datang mengadu
tentang nganga luka di dasar kalbu
meski tak lagi kutemukan kepingan rindu
puisi terurai sebagai nyanyian lagu sendu
bersama perginya puisi dari dalam dada
di tanah lahirku kemakmuran sekadar omong kosong belaka
keadilan sebatas pepesan kosong tanpa guna
kemerdekaan terlipat di kantong para penguasa
seiring raibnya diksi terbakar bara hujan
kemiskinan dipelihara demi satu kepentingan
ladang tempat mendulang suara dukungan
kala gong pemilu mulai digaungkan
hanya lima tahun sekali suara jelata dihargai
senilai satu liter solar perjalanan dinas para petinggi
kebijakan dibuat semata tuk langgengkan kursi
jelata dicekik harga kebutuhan mereka tak peduli
nanti ketika hujan kembali basahi bumi
puisi akan tumbuh lagi setajam belati
lantang dibaca di atas mimbar paling tinggi
untuk merobek jantung para politisi
untuk membuka mata para birokrasi
untuk menggedor nurani para petinggi
yang selama ini miskin hatinya
yang selama ini buta empatinya
menatap jelata dengan sebelah mata
menikam rakyat dengan tindak korupsinya
dengan puisi berkekuatan air hujan
diksi akan berontak sepenuh kekuatan
kembalikan kemerdekaan kami
wujudkan kemakmuran negeri
biarkan barisan jelata berpuisi
teriakkan suara hati
Blitar, 2024
BIONARASI
Heru Patria adalah nama pena dari Heru Waluyo seorang guru di UPT SDN Beru 03 Kec. Wlingi, sekaligus novelis dari Blitar yang juga gemar menulis cerpen dan puisi. Selain termuat dalam 50 lebih antologi bersama, karya puisi dan cerpennya pernah dimuat di berbagai media cetak dan online di antaranya, Radar Blitar, Radar Banyuwangi, Radar Malang, Radar Madiun, Radar Kediri, Tanjungpinang Pos, Bhirawa, BMR Fox, Sinar Indonesia Baru, ProNusantara, Majalah Digital Lingkar Pena, Tabloid Perpustakaan Bung Karno, Berita Raya Online, Harian Terbit Onlen, Majalah Utusan, Kopling Literasi Nganjuk, Ruang LiteraSIP, Repubika, Koran Lingkar Jateng, Majalah Suluh, Panjebar Semangat, Djala Lodang, Pesawaran Pikiran Rakyat, dll.