Cerpen Yon Bayu Wahyono

ANDAI bisa menolak, tentunya aku tidak mau dipasangi susuk. Namun masa itu, perempuan mana yang tidak pasang susuk? Kakekku tentu berharap aku segera mendapatkan jodoh yang baik jika tubuhku dipasangi susuk. Memang benar, aku terlihat lebih cantik setelah dipasangi susuk hingga tidak lama kemudian aku dilamar perjaka seberang desa pilihan kakek, menyingkirkan puluhan perjaka yang antri melamarku. Namun kini, di usia senja, aku justru tersiksa. Aku merasa susuk ini telah menghalangi takdirku untuk menghadap Sang Pencipta!

Namaku Astuti. Aku lahir pada malam Kamis Wage, 59 tahun lalu. Aku terlahir dan dibesarkan di daerah pesisir pantai Selatan Jawa. Dalam kehidupan sehari-hari, aku menjalaninya secara normal sebagaimana kebanyakan gadis-gadis kecil pada umumnya.

Bedanya, jika kebanyakan anak-anak perempuan di desaku hanya tamatan SD, bahkan ada yang hanya sampai Kelas IV, aku termasuk yang beruntung di bersempatan mengenyam pendidikan hingga sekolah lanjutan pertama.

Wajar jika aku tumbuh menjadi gadis cerdas dengan wawasan cukup luas. Namun faktor ini juga yang kelak akan menjadi salah satu pertimbangan ketika memilih lawan jenis, sebagai calon pendamping hidupku.

Sejak kecil aku terbiasa hidup bahagia di lingkungan keluarga militer. Ya, ayahku seorang tentara, meski pangkatnya hanya Kopral Satu hingga beliau gugur. Sementara kakekku mantan anggota KNIL- tentara Belanda, yang kemudian membelot dan bergabung dengan TNI.

Namun di lingkungan desaku, ayah sangat dihormati. Maklum, saat aku kecil, sekitar awal tahun 60-an, di daerahku belum banyak tentara yang menyandang pangkat tinggi. Bagiku sendiri, apa pun pekerjaan atau pangkat ayah, tidak menjadi persoalan. Aku bangga memiliki ayah seperti beliau.

Ada banyak kenangan selama aku bersama ayah. Apalagi ketika pulang dari tugas di luar daerah, ayah selalu membawa oleh-oleh untukku. Bukan makanan melainkan mainan tradisional dari daerah tempatnya ditugaskan. Maka tidak heran jika aku memiliki banyak koleksi mainan dari berbagai daerah seperti dari Timor Timur, Irian Jaya maupun Kalimantan. Bentuknya pun bermacam-macam dan sangat beragam. Ada yang berbentuk boneka, alat musik hingga tilam kecil.

“Indonesia itu sangat luas dan begitu banyak memiliki kekayaan budaya yang beragam. Kelak kalau sudah besar kamu bisa jalan-jalan dan mengunjungi tempat itu,” ujar Ayah suatu ketika.

“Jadi aku boleh ikut Ayah?” tanyaku antusias.

Ayahku hanya tersenyum. Aku tahu senyum ayah adalah bentuk penolakannya. Tapi aku tahu, ayah bukan tidak mau, tapi karena sekali ayah pergi bertugas bisa berbulan-bulan tidak pulang.

Ayah tinggal di asrama sementara aku dan ibu tinggal di kampung bersama kakek dan nenek. Kelak di kemudian hari aku tahu ternyata kakek yang melarang ayah untuk memboyongku dan ibuku ke tempat tugasnya.

Meski kakekku pendiam dan jarang mengajakku bermain, namun aku tahu dan yakin kakek sangat menyayangiku. Hal itu terbukti dalam beberapa kesempatan, misalnya saat aku sakit, kakek yang kulihat paling cemas dan kerap membuatkan ramuan obat dari berbagai tanaman yang ditanam di sekitar rumah.

Aku sebenarnya kecewa ketika ayah menolak keinginanku untuk ikut. Aku sudah sering mendengar cerita dari guru-guruku di sekolah tentang keindahan alam Indonesia. Diam-diam aku merindukannya dan berharap suatu ketika bisa mewujudkan.

Setelah tamat SMP, aku ingin melanjutkan sekolah ke tingkat SMA. Namun kakek melarang karena menurutnya tidak pantas bagi perempuan bersekolah tinggi. Aku mengalah dan tidak mau membantah. Terlebih saat itu ayah gugur di saat markasnya diserbu pengacau di Irian Jaya  Karena tidak melanjutkan sekolah, sehari-hari aku menyibukkan diri dengan membantu ibu dan nenek dari mulai membersihkan rumah hingga memasak di dapur.

Waktu berlalu begitu saja. Tidak terasa usiaku sudah 18 tahun, usia yang sudah cukup matang untuk menikah. Bahkan beberapa kawan SD-ku sudah ada yang mempunyai anak.

Tapi entah mengapa aku belum tertarik dengan lawan jenis. Bukan karena tidak menarik, tapi aku memang sengaja menutup diri terhadap laki-laki. Sama sekali belum ada pikiran untuk menikah.

Kebetulan juga, setahun kemudian aku diterima bekerja sebagai juru ketik di kantor kelurahan. Aku sangat senang. Setiap hari aku pergi ke kantor kelurahan yang letaknya tidak terlalu jauh dari rumah. Selain saat itu memang masih jarang ada perempuan yang bisa mengetik, pengaruh kakek juga membantuku diterima bekerja di kantor kelurahan.

Kesibukanku bekerja membuatku semakin jauh dari urusan laki-laki. Terlebih aku juga dikenal sebagai gadis yang keras dan dingin terhadap lawan jenis sehingga tak ada laki-laki yang berani macam-macam denganku.

Hingga pada suatu hari kakek memanggilku. Aku disuruh masuk ke dalam bilik yang biasa digunakan kakek untuk ritual. Aku jarang masuk ke bilik itu karena suasananya agak seram. Banyak benda-benda tua seperti keris, tongkat dengan ujung kepala ular dan topeng buto. Setelah dewasa aku baru tahu jika kakek penganut kejawen meski juga tidak pernah meninggalkan sholat lima waktu.

Setelahmasuk ke bilik, kakek menyuruhku duduk bersimpuh. Aku belum tahu maksud kakek sampai beliau mengeluarkan lempengan besi berwarna kuning. Ukurannya kecil, hanya selebar kuku ibu jari.

Mulut kakek tampak komat-kamit sebelum kemudian mengusap wajahku dengan telepak tangan yang menggenggam besi kuning. Aku merasakan telapak tangan kakek sangat dingin. Ajaib, selesai mengusap wajahku, besi kuning di telapak tangan kakek hilang.

“Itu adalah susuk yang sudah kakek tanam di wajahmu,” ujar Kakek sambil memberiku sesuatu berwarna hitam. Bentuknya bulat, seukuran kelereng. Aku sedikit terlonjak ketika kakek menyuruhku untuk menelannya.

Namun dengan isyarat tangannya, kakek memintaku untuk tidak membantah. Tanpa bertanya lagi, aku masukkan ke dalam mulut dan berusaha menelannya. Namun upayaku gagal karena benda itu menyangkut di tenggorokan.

Melihat aku kesulitan menelan, kakek lantas mengusap leherku. Lagi-lagi aku dibuat kebingungan karena tenggorokanku langsung plong. Sepertinya benda itu berubah menjadi cair setelah leherku diusap kakek.

“Kakek memberimu susuk agar segera dapat jodoh. Jangan sampai kamu jadi perawan tua,” ujar Kakek setelah proses pemasangan susuk selesai.

Aku terdiam. Rupanya kakek salah duga. Bukannya tidak ada laki-laki yang mau, tapi aku sendiri yang masih kurang sreg untuk menikah.

Namun karena tidak ingin mengecewakan kakek, aku tidak membantah ucapannya. Terlebih aku sendiri antara percaya dan tidak dengan susuk sehingga aku tidak terlalu memikirkan.

Aku tetap menjalani kehidupan seperti biasanya, termasuk dalam soal berdandan dan memakai make up. Pokoknya semua berjalan seperti hari-hari kemarin, sama sekali tidak ada yang berubah.

Namun tidak demikian dengan orang-orang di kelurahan. Teman kerjaku mulai bergunjing soal perubahan penampilanku. Dari bisik-bisik di belakangku akhirnya ada juga yang menyampaikan secara terang-terangan. Katanya, belakangan ini aku tampak sangat cantik. Pakaian apapun yang aku kenakan, kata mereka, sangat pas.

“Kamu pakai apa sih? Jangan-jangan nanti para suami kecantol sama kamu,” tanya Bu Narti, istri Pak Carik, dengan nada cemburu.

Aku hanya tersenyum, tanpa mau menanggapi. Sikap diamku justru membuat gunjingan semakin seru. Akhirnya dengan berat hati aku minta berhenti bekerja. Namun kakek melarangnya kecuali aku sudah menikah.

Setelah itu, semakin banyak laki-laki yang datang ke rumah. Aku sampai kebingungan menghadapi mereka. Namun jujur saja, ada salah seorang laki-laki yang sempat membuat hatiku kesengsem. Namanya Warto, anak juragan kayu dari desa seberang. Dia tidak banyak bicara, namun tatapannya sangat teduh.

Dari beberapa kali kedatangannya ke rumahku, dia lebih banyak mengobrol dengan kakek. Sikapnya sedikit cuek meski aku tahu dia sangat menggebu-gebu untuk bisa mendekatiku. Buktinya, hampir setiap hari datang meski tidak selalu aku temui.

Itu sebabnya, ketika akhirnya kakek bertanya apakah aku sudah mempunyai pilihan, aku jawab,

“Sudah, Kek.”

“Siapa?”

“Mas Warto …” jawabku malu-malu.

Kakek mengangguk. Tanpa menunggu bulan berganti, Warto dan keluarganya datang melamarku. Tiga bulan kemudian kami menikah. sesuai janji kakek, aku pun diperbolehkan keluar dari tempat kerja.

Apalagi kemudian aku pindah ke rumah suamiku di desa sebelah. Rupanya suamiku sudah punya rumah sendiri meski bentuknya masih sederhana, hanya berdinding papan dan berlantai tanah.

Aku dan Warto sepertinya memang sudah ditakdirkan untuk hiduip bersama. Meski kadang ada pertengkaran kecil, namun kami bisa melalui semuanya hingga kemudian lahirlah anak-anak kami

Namun di tengah kebahagian itu, satu persatu orang-orang yang aku kasihi meninggal dunia. Dimulai dari nenek, kemudian kakek dan terakhir ibuku.

Tahun berganti begitu cepat. Kesibukan mengurus anak dan suami membuatku sering lupa waktu. Aku baru benar-benar menyadari telah dilindas waktu saat suamiku meninggal setelah menikahkan anak keempat. Ya, sekarang aku sudah punya cucu dan sebentar lagi punya buyut.

Namun sejak kematian Mas Warto, aku mulai sakit-sakitan. Anehnya, setiap kali periksa ke dokter, tidak ditemukan penyakitnya. Bahkan sampai tes darah, tapi hasilnya nihil. Aku benar-benar kebingungan dan tersiksa dengan kondisi ini.

Akhirnya aku bertemu Ustad Munif. Aku terkejut ketika dia mengatakan aku memakai susuk. Sontak aku teringat pada Kakek. Rupanya, susuk itu benar-benar ada dan tertanam dalam tubuhku. Aku pun kemudian menceritakan hal itu pada Ustad Munif.

Setelah itu dilakukan ritual. Namun sampai beberapa kali melakukan ritual, penyakitku belum sembuh juga.

“Yang dipasang merupakan susuk permanen, menyatu dalam tubuh, jadi tidak bisa dilepas kecuali ..”

Ustad Munif sepertinya sengaja menggantung kalimatnya. Aku pun penasaran.

“Kecuali apa?” kejarku.

Ustad Munif menghela nafas panjang. Ia memperbaiki posisi duduknya sebelum berujar, “Jika susuk dipaksa lepas, nyawa Ibu jadi taruhannya.”

Aku terdiam. Setelah mempertimbangkan baik-buruknya, termasuk penderitaan yang aku alami selama bertahun-tahun, aku menyanggupi. Aku sudah siap. Tetapi anak-anakku tidak setuju.

“Itu pembunuhan. Tidak usah pakai paranormal, saya juga bisa kalau akibatnya jadi mati. Cari jalan lain yang saja,” ujar Narto- anak keduaku, dengan marah.

Kembali aku menjalani pengobatan dari satu dokter ke dokter lainnya, dari satu paranormal hingga ustadz. Namun semuanya nihil. Penyakitku justru semakin parah. Jika sebelumnya hanya batuk-batuk pada malam hari, sekarang hampir setiap waktu disertai darah kental.

Tubuhku semakin habis; kurus kering. Aku juga dihantui perasaan bimbang  karena ada yang mengatakan ibadahku tidak akan diterima selama susuk itu masih ada dalam tubuhku.

Kini setiap malam aku hanya bisa memohon kepada Tuhan, agar segera mengambil nyawaku. Aku sudah lelah, lahir dan batin. Aku ingin terbebas dari susuk untuk segera menghadap Illahi.

Jakarta, Januari 2010

Bagikan ke Media Sosial

Hubungi Admin Jika Ingin Meng-copy Konten Website ini