PojokTIM – Buku antologi puisi Gedor Depok merupakan cerminan kenangan, kegelisahan, kesaksian sekaligus rasa cinta 100 penyair kepada Kota Depok, Jawa Barat. Sebagian penyair memang tinggal di Depok sementara lainnya mengenal Depok karena pernah singgah dan berinteraksi dengan kota yang terletak di selatan Jakarta dan berbatasan dengan Kabupaten Bogor tersebut.
“Depok memiliki sejarah panjang seperti halnya kota-kota tua di dunia. Oleh karenanya layak dirayakan melalui karya puitik tanpa terjebak pada sentimen tertentu,” ujar Muhammad Ibrahim Ilyas saat menjadi pembicara dalam acara launching buku Gedor Depok di Koloni Ngopi Semeja di mini stage kolong flyover Jalan Arif Rahman Hakim, Depok, Sabtu (23/11/24).
Menanggapi klaim Fanny J Poyk terkait penggunaan kata “gedor” yang memiliki konotasi kurang baik dalam sejarah Depok yakni peristiwa Gedoran Depok di awal kemerdekaan RI, Kang Bram, sapaan akrabnya, menegaskan, sebagai salah satu kurator antologi tersebut dirinya justru ingin menghilangkan stigma-stigma negatif yang menjadi penyekat relasi sosial.
“Misalnya kata “budak” yang banyak dijumpai dalam puisi Gedor Depok. Kami, kurator, tidak menghilangkan atau mengganti dengan diksi lain, tetapi memberi penjelasan melalui lembar pertanggungjawaban bahwa budak di Depok tidak seperti budak (the slave) di tempat lain karena hubungan Cornelis Chastelein dengan para bawahannya lebih mirip hubungan antara majikan dengan pekerjanya (the worker),” terang Kang Bram.
Hadir dalam launching buku terbitan Koloni Seniman Ngopi Semeja tersebut sejumlah penyair dan sastrawan kenamaan seperti Adri Darmadji Woko, Kurnia Effendi (Kef), Nestor Rico Tambunan, Nanang R. Supriyatin, Sihar Ramses Simatupang, Nunung Noor El Niel, Sapto Wardoyo, Ni Made Sri Andani, Retno Budiningsih, Giyanto Subagio, dan lainnya.
Ketua Dapur Sastra Jakarta (DSJ) Remmy Novaris DM yang tampil sebagai pemantik diskusi dengan moderator Rini Intama, menceritakan proses di balik terbitnya buku antologi puisi Gedor Depok. Menurut Remmy, Koloni Seniman Ngopi Semeja bisa menjadi komunitas berskala nasional karena Depok memiliki banyak penyair dan sastrawan.
“Namun Koloni harus membuktikan diri sebagai komunitas yang eksis, memiliki agenda kegiatan yang jelas sehingga dapat menjadi rujukan. Dari perbincangan dengan Badri, Jimmy S Johansyah, dan Kang Bram, tercetus keinginan untuk mendirikan divisi penerbitan. Karena kebetulan saya punya penerbitan dan tahu militansi orang-orang ini, maka saya dukung. Selain Gedor Depok, Koloni juga sudah menerbitkan buku antologi Kaum Gemini,” terang owner Penerbit Teras Budaya tersebut.
Remmy mengingatkan, ikatan anggota komunitas seni, terutama sastra, sangat longgar. Anggota bisa datang dan pergi kapan saja. “Oleh karenanya komunitas harus mempunyai kegiatan bersama sebagai salah satu pengikat emosionalnya,” tegas Remmy.
Setelah penyerahan buku kepada istri almarhum Tatan Daniel, acara dilanjutkan dengan pembacaan puisi oleh para penyair yang puisinya dimuat dalam Gedor Depok.