PojokTIM– Pandangan Dyah Kencono Puspito Dewi tak bergeser sedikit pun dari panggung Senandung Aksara (Senara) di pelataran Taman Ismail Marzuki (TIM). Meski sudah sering melihat penampilan para penyair pengisi acara yang digelar Dinas Perpustakaan dan Kearsipan (Dispusip) dan PDS HB Jassin tersebut, Dyah tetap memberikan apresiasi.

“Seniman mestinya guyub, rukun, dan saling memberi support. Ketika mereka pentas, berikan apresiasi, minimal turut meramaikan,” ujar Dyah kepada PojokTIM, Jumat (14/6/2024).

Ucapan Dyah bukan basa-basi. Setelah Jumat menghadiri pementasaan Senara di TIM, esoknya Dyah hadir pada acara peluncuran antologi puisi Kaum Gemini yang digelar Forum Kecil Komunitas Koloni di Mini Stage Kolong  Flyover Depok. Pada Minggu (16/5/2024) Ketua Sastra Reboan itu mengajak PojokTIM menghadiri peluncuran puisi Kemarau Bulan Juni yang diadakan Literaksy di Pasar Gembrong Baru, Cipinang Besar, Jakarta Timur.

Sikapnya yang semanak membuat Dyah mudah diterima di berbagai komunitas. Tidak salah jika PDS HB Jassin meminta bantuan untuk mendata komunitas-komunitas seni yang aktif di Jakarta dan sekitarnya.

“Mungkin PDS menganggap saya bisa menjelaskan manfaat pendataan ini kepada ketua-ketua komunitas yang memiliki pandangan dan sikap beragam. Kebetulan saya juga banyak mengenal mereka sehingga tidak terlalu banyak kendala,” terang Dyah.

Untuk mengenal lebih jauh sepakterjang Dyah Kencono Puspito Dewi, PojokTIM mewawancarainya dalam berbagai kesempatan. Berikut rangkumannya.

Anda sangat luwes dalam berorganisasi dan bisa masuk ke semua komunitas. Apa rahasianya?

Tidak ada rahasia apa-apa karena sejak dulu pembawaan saya memang begitu. Saya selalu berusaha menghargai semua orang tanpa melihat siapa dia, apa prestasinya, atau hal-hal lain yang tidak penting bagi saya.

Sejak kapan Anda aktif berorganisasi?

Saya sudah senang berorganisasi sejak masih sekolah. Saya di SMP aktif di pramuka. Ikut Jambore Pramuka di Sibolangit (Deli Serdang, Sumatera Utara 1977). Saat SMA aktif di Kopi Sisa, komunitas seni sastra di Purworejo, Jawa Tengah. Waktu itu ketuanya Mas Sukoso DM. Sejak awal berdiri Kopi Sisa, saya sudah ikut aktif di teater maupun prosa.

Di periode tahun 2015 – 2020 menjadi Bendahara dan Ketua Komite Sastra dan Teater Dewan Kesenian Kabupaten Bekasi. Pendiri dan Ketua Komunitas Seni Sastra Bekasi (KSSB), Ketua Taklim Kampung Bekasi Raya, Ketua Kongkow Minggon Bekasi Raya. Penasehat Kafe Sastra Nusantara. Ketua Perempuan Pekerja Seni SATARUPA. Pembina Komunitas Seni Budaya SRIKANDI.

Dan saat itu mulai rajin menulis puisi?

Kalau nulis puisi sudah sejak lama. Saya memang senang di puisi. Bapak saya seniman. Meski statusnya pejabat tapi pejabat yang suka seni, dari karawitan sampai keroncong. Saya akhirnya tertular. Tapi lebih senang ke sastra. Kalau menulis puisi ya mengalir saja. Di SMA saya beberapa kali menjuarai lomba penulisan dan baca puisi tingkat kabupaten. .

Tapi Anda mengawali karir sebagai jurnalis?

Saat kuliah, saya nyambi jadi wartawan Tabloid Eksponen di Yogyakarta. Oleh kalangan mahasiswa Tabloid Eksponen dikenal sebagai koran kampus karena isinya banyak mengekspose kegiatan kampus. Saya bergabung tahun 1980-an sampai 90-an. Jadi dari masih kuliah sampai selesai kuliah.

Kesenangan saya di bidang sastra cukup tersalurkan karena pernah dipercaya menjadi redaktur seni budaya. Jadi banyak bergaul dengan seniman dan sastrawan. Sering juga diminta menjadi nara sumber untuk bicara tentang Chairil Anwar. Tahun 1984, puisi saya diterbitkan dalam buku antologi puisi bersama Sutardji Calzoum Bachri, Agus Dermawan T, dan lain-lain. Itu antologi puisi bersama yang pertama.

Tahun 90-an saya ke Jakarta, ditawari gabung dengan Tabloid Monitor oleh Arswendo Atmowiloto. Tapi saya tolak karena om saya sudah di situ, di redaksi dan pemasaran. Akhirnya saya kerja di tempat lain, tidak di media lagi.

Kapan menjadi PNS?

Iya, setelah kerja di perusahaan swasta, saya kemudian mengajar di sekolah dasar. Tahun 2008 saya diangkat menjadi Pegawai Negeri Sipil (PNS). Tahun 2020 pensiuan, jadi praktis 12 tahun menjadi PNS. Lumayanlah, jadi punya (uang) pensiunan.

Kapan mulai masuk lingkungan TIM?

Wah, lupa saya. Sejak di Jakarta, saya sering singgah meski saat itu di TIM sedang tidak ada kegiatan atau pementasan. Seringnya ke PDS HB Jassin. Kadang baca buku sendirian. Karena tujuan ke TIM bukan untuk cari popularaitas atau ingin dikenal oleh orang-orang yang punya nama besar. Saya tidak mengejar hal-hal begitu.

Saat ini cukup banyak komunitas sastra yang berkegiatan di lingkungan TIM. Menurut Anda, seniman memerlukan komunitas?

Menurut saya sangat perlu. Sebab komunitas sastra mengumpulkan orang-orang yang sepaham, seide, sepemikiran dan akan membuat pergerakan yang sama. Antara komunitas yang satu dengan lainnya tentu berbeda karena beda visi-misinya. Perbedaan-perbedaan itu bukan alasan untuk saling menjauh, justru menjadi kekuatan untuk memperluas pergerakan yang bisa dijalani. Artinya, semakin banyak komunitas berarti semakin banyak orang terlibat di dalamnya.

Bagaimana dengan komunitas yang anggotanya itu-itu saja, atau hanya terdiri dari beberapa orang saja?

Walau pun sekarang dengan adanya medsos (media sosial) seseorang menjadi aktif sekali, sehingga dia aktif di komunitas A, juga aktif di komunitas B atau C, tidak masalah. Yang jelas, antara komunitas satu dengan satunya akan saling mendukung ketika mereka punya pergerakan atau kegiatan.

Orang-orangnya itu-itu saja? Ya memang, karena kalangannya memang di situ. Tetapi ketika kegiatannya melebar ke kalangan di sekitar komunitas, orang yang terlibat, ikut bergerak, tentu semakin banyak.

Terlepas berapa jumlah anggota komunitas dan siapa yang menghadiri kegiatannya, biarkan saja. Setiap komunitas akan diuji secara alamiah. Siapa yang akan tenggelam, siapa yang bisa bertahan, siapa yang mampu terus bergerak, atau malah hidup segan mati tak mau, semua akan diuji oleh waktu.

Hanya saja, meski mudah dibentuk dan mudah dibubarkan, ketika kita mendirikan komunitas mestinya sudah dipikirkan struktur kepengurusannya yang solid. Mau berapa pun jumlah pengurusnya, 10 atau 5, tidak masalah.  Sebab komunitas yang baik dan bisa terus tumbuh kembang, tentu saja yang  punya manajemen. Tanpa itu, sulit bagi komunitas seni untuk bertahan, apalagi berkembang.

Dyah Kencono Puspito Dewi membaca puisi karyanya di acara Ulang Tahun ke-16 Sastra Reboan.

Kapan Anda bergabung dengan lomunitas Sastra Reboan?

Saya mulai bergabung dan aktif mengelola Sastra Reboan sejak akhir 2017, diminta oleh Mas Slamet (A. Slamet Widdodo, pembina Sastra Reboan)..

Apa kekuatan Sastra Reboan sehingga bisa bertahan sampai 16 tahun?

Kekuatannya ada pada sejarah. Sastra Reboan didirikan di Warung Apresiasi (Wapres) Bulungan, Jakarta Selatan. Wapres Bulungan milik Mas Anto Baret adalah tempat berkumpul dan brprosesnya banyak musisi, seniman dan sastrawan besar di Indonesia seperti Iwan Fals, WS Rendra, dan lain-lain. Oleh karenanya, Sastra Reboan juga menjadi bagian dari proses di dalamnya. Kegiatan Sastra Reboan sudah berkolaborasi dengan musisi dan seniman yang beraktiftas di Bukungan.

Rendra dan Ken Zuraida termasuk yang banyak berjasa dalam proses pendirian Sastra Reboan. Karena saat itu muncul keinginan untuk memperkenalkan sastra dengan lebih ramah. Menjadi wadah bagi yang baru mengenal dan ingin lebih mengenal sastra, khususnya puisi.

Selain sejarah, kekuatan lainnya adalah silaturahmi. Sastra Reboan berusaha menjaga silaturahmi dengan seniman lintas genre. Mau penyair, penari, perupa, pemusik, kita rangkul. Para pengurusnya juga melakukan pendekatan secara pribadi dengan anggota dan orang-orang yang terlibat dalam Sastra Reboan.

Apakah Sastra Reboan memiliki anggota tetap?

Sastra Reboan tidak merekrut anggota dan tidak membuka cabang. Jadi hanya ada pengurus inti. Sastra Reboan juga tidak melibatkan pihak luar untuk pendanaan kegiatan karena ada owner yang menanggung biaya kegiatan, serta sumbangan tenaga dan pikiran para pengurus. Itu salah satu kekuatan Sastra Reboan juga. Kita tidak menggantungkan pendanaan dari pihak lain. Tetapi ini juga sekaligus kelemahan. Jika nanti sudah tidak ada penyandang dana, pastinya akan kelimpungan.

Karena sudah ada yang menanggung dana kegiatan, maka Sastra Reboan juga  mengurus legalitasnya. Untuk apa juga. Tetapi ini jangan ditiru oleh komunitas lain. Sesegra mungkin mengurus legalitasnya agar bisa berkembang dan menjalin kerjasama dengan instansi pemerintah maupun perusahaan swasta. Sekarang kan banyak dana-dana CSR (Corporate Social Responsibility) yang bisa dimanfaatkan untuk kegiatan kesenian.

Sastra Reboan termasuk rutin menggelar kegiatan, baik di Wapres Bulungan maupun TIM, di Cikini. Apakah itu juga menjadi daya tarik?

Rutinitas menggelar panggung sastra tentu saja menjadi kekuatan Sastra Reboan untuk terus eksis. Sebab di situ tidak hanya pengurus yang menggunakan panggung, namun melibatkan semua seniman untuk mengisi acara itu. Berkolaborasi dengan komunitas lain, maupun pribadi-pribadi.

Apa manfaat dari pendataan komunitas yang dilakukan PDS HB Jassin bagi seniman?

Selain database PDS, pendataan itu juga untuk kepentingan komunitas sendiri. Dengan terdaftarnya komunitas kita, maka ketika PDS akan mengadakan kegiatan, sangat mungkin akan mengajak komunitas yang sesuai dengan kegiatan itu. Jika komunitas kita tidak ada di database PDS, dan kita juga tidak aktif mengikuti informasi, mungkin komunitas kita tidak pernah diajak untuk mengadakan kegiatan di PDS, di lingkungan TIM.

Oleh karenanya, saya berharap, semua komunitas mendukung program pendataan yang sedang dilakukan PDS. Jangan buru-buru berburuk sangka. Apalagi antar-seniman, janganlah saling curiga. Yang masih baru, hormati yang senior. Tetapi yang senior juga harus menghargai proses kreatif yang sedang dilakukan juniornya. Jangan suka meninggikan diri, merasa paling besar, merasa paling senior. Dengan begitu, akan tercipta ekosistem berkesenian di Jakarta, khususnya di lingkungan TIM, yang baik dan adem.

Bagikan ke Media Sosial

Hubungi Admin Jika Ingin Meng-copy Konten Website ini