Wina Armada Sukardi (baju kuning) diapit para pembahas dan moderator bedah novel Sang Tokoh. Foto: PojokTIM

PojokTIM – Sang Tokoh bukan novel biasa. Kisah-kisah yang dihadapi Sang Tokoh, membuat novel dengan nama anonim karena hanya disebut Sang Tokoh, seperti absurd namun sebenarnya realistis. Novel Sang Tokoh pun layak dijadikan film layar lebar karena memadukan berbagai unsur seperti politik, spiritual, horor, dan cinta. Sang Tokoh juga memiliki nilai-nilai edukasi, tentang baik-buruk sehingga bisa menjadi bacaan anak-anak sekolah.

Demikian mengemuka dalam peluncuran dan bedah novel Sang Tokoh karya Wina Armada Sukardi di aula kantor Djan Faridz di daerah Menteng, Jakarta Pusat, Rabu (30/4/2025). Pada acara yang digagas Podcast Sembilan dan LintAng Alumni FHUI (Fakultas Hukum Universitas Indonesia), juga diluncurkan buku Satu Abad Pendidikan Tinggi Hukum di Indonesia dalam Perspektif.

“Harusnya buku tentang pendidikan hukum di Indonesia diluncurkan tahun lalu karena untuk dies natalis ke 100 Fakultas Hukum UI. Tetapi agar efisien, saya luncurkan sekaligus bersama novel Sang Tokoh,” ujar Wina Armada dalam acara yang dihadiri sejumlah tokoh seperti Djan Faridz selaku tuan rumah, praktisi hukum Luhut Pangaribuan, bintang film Anwar Fuady, politisi Benny K Harman, termasuk Ketua LintAng, yang juga mantan Wakil Jaksa Agung, Muchtar Arifin serta para alumni FHUI.

Terkait novel Sang Tokoh, menurut Wina Armada, ideya hanya tentang manusia yang tidak bisa membedakan antara realitas dan absurditas. “Gagasan itu saya tuangkan dalam bentuk fiksi, kemudian diselipkan beberapa filosofi tentang kemanusian, hukum dan lain-lain,” ujar Wina Armada kepada PojokTIM.

Ical Vrigar saat membaca puisi dalam acara peluncuran novel Sang Tokoh. Foto: PojokTIM

Dalam bedah novel Sang Tokoh dengan pembahas Noorca M Massardi dan Narudin Pituin serta moderator Doddi Ahmad Fauji, terungkap, tokoh dalam novel adalah bujangan yang mendapat karomah setelah tertabrak kendaraan.

Karomah dalam novel ini berupa kesaktian, bisa berbicara dengan binatang, membaca pikiran manusia, bahkan menahan laju peluru, hingga menyembuhkan salah satu keluarga Kerajaan Arab Saudi yang telah bertahun-tahun sakit. Sang Tokoh tidak mau dibayar tetapi minta dibuatkan replika Ka’bah di Indonesia.

“Tapi dia tetap manusia biasa, yang gagal menaklukkan hati perempuan cantik dari Negeri China,” ujar Doddi saat memberikan  kata pengantar bedah buku.

Noorca mengamini yang disampaikan Doddi. Bahkan Noorca menduga, novel itu terinspirasi oleh peristiwa nyata di mana ada keluarga Kerajaan Arab Saudi yakni Pangeran Al-Waleed bin Khaled bin Talal, yang dijuluki Sleeping Prince telah berada dalam kondisi koma sejak 2005 akibat kecelakaan mobil.

“Jadi ceritanya absurd, namun saya menduga dipantik dari kisah nyata, setidaknya terinspirasi dari kisah nyata,” ujar Noorca.

Noorca juga menyoroti soal tokoh anonim atau tanpa nama, kecuali hanya disebut Sang Tokoh. Menurut Noorca yang juga novelis, mencari nama untuk tokoh fiksi memang cukup sulit karena selalu dikaitkan dengan kulturnya. Ada nama-nama yang diidentikan sebagai nama orang Sunda, orang Jawa, orang Batak, orang Menado dan sebagainya.

“Akhirnya banyak novelis yang memilih menggunakan nama tokoh dengan sebutan Tokoh Kita, atau Sang Tokoh seperti dalam novel Wina Armada sehingga tidak memiliki identitas kultural. Hal ini diawali oleh Iwan Simatupang, yang menggunakan Tokoh Kita dalam novel Ziarah dan Merahnya Merah,”  terang Noorca.

Sementara Narudin yang menjadi pembahas kedua mengungkap novel Sang Tokoh sesungguhnya ingin menunjukkan bagaimana manusia bisa menjadi lebih baik. Jika menggunakan ucapan William Shakespeare tentang gila, maka novel Wina Armada adalah gila yang mencengangkan.

“Terkait absurditas dalam novelnya, Wina telah membuat penanda  transendental sebagai antitesis terhadap anggapan umum yang menjauh dari kuasa Tuhan,” terang Narudin.

Setelah memberi penanda transedental, demikian Narudin, Wina merasa bebas untuk mengeksplorasi dan membenturkan antara yang nyata dan absurd, antara yang konkret dan yang abstrak. Wina solah-olah ingin menggiring pembaca pada isme tertentu sebagaimana Sutan Takdir Alisjahbana dalam novel Layar Terkembang (1936).

“Sebagai ahli hukum dan penyair sufi, Wina Armada mewarnai novelnya dengan ajaran yudisial dan kesufiannya. Tentu ada tujuan tertentu yang ingin disampaikan kepada pembacanya,” tambah Narudin.

Di akhir paparannya, Narudin menyimpulkan Sang Tokoh merupakan novel gaya baru dengan penanda transendetal dan isinya sesuai kapasitas penulisnya.

Acara peluncuran buku dan bedah novel juga dimeriahkan dengan pembacaan puisi Jeruji di Tubuh Laut oleh Doddi Ahmad Fauji, dan Pagar di Atas Perut Ibu (Suara Nelayan yang Terpinggirkan) karya Safri Naldi yang dibacakan penuh impresi oleh Ical Vrigar.

 

Bagikan ke Media Sosial

Hubungi Admin Jika Ingin Meng-copy Konten Website ini