PojokTIM – Tidak banyak yang berubah dari seorang Agus R Sardjono. Tetap bersahaja dan selalu asyik ketika diajak berbincang. Padahal puisinya yang berjudul Sajak Palsu (1998), kembali menjadi perbincangan luas di tengah polemik ijazah palsu yang menyeret nama mantan petinggi negeri ini. Bahkan kritikus sastra Maman S Mahayana menyarankan agar Sajak Palsu ditempel di setiap dinding sekolah sebagai pengingat pentingnya moral, kejujuran dan penghargaan terhadap nilai-nilai akademik.

“Mau bicara apa kita?” sapa Agus R Sardjono kepada PojokTIM, usai menjadi pembicara pada peluncuran dan diskusi buku kumpulan puisi Jantung yang Berdetak Dalam Batu karya Helvy Tiana Rosa di Pusat Dokumen Sastra (PDS) HB Jassin, Lt 4 Gedung Ali Sadikin, Taman Ismail Marzuki (TIM) Cikini, Jakarta Pusat, Minggu (27/4/2025).

Agus R Sardjono dikenal sebagai penyair, novelis, dan esais. Pernah menjabat redaktur Majalah Sastra Horison, dan juga dosen di Sekolah Tinggi Seni Indonesia (STSI) Bandung, Jawa Barat. Ketua Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) periode 2003-2006, setelah sebelumnya menjadi Ketua Komite Sastra DKJ periode 1998-2001 itu dikenal aktif dalam kelompok-kelompok diskusi.

Agus R Sardjono pernah tinggal di Leiden, Belanda sebagai poet in residence atas undangan Poets of All Nations pada Februari hingga Oktober 2001. Bersama Berthold Damshäuser, dia menjadi editor beberapa buku kumpulan puisi sastrawan besar Jerman seperti Bertolt Brecht, Johann Wolfgang von Goethe, dan Hans Magnus Enzensberger.

“Sekarang perjuangan penyair tidak seberat dulu. Menerbitkan satu buku, atau bahkan hanya menulis puisi di media sosial, sudah dianggap penyair. Namun (karena caranya instan) mereka hanya dikenal oleh lingkungannya, tidak bisa dikenal atau diakui secara nasional,” ujar Agus R Sardjono, penulis buku Kenduri Airmata (1994) yang sempat menjadi perbincangan luas di masanya.

Jakarta tengah bersiap memasuki senja ketika PojokTIM memulai wawancaranya dengan sastrawan yang pernah diundang pada festival dan diskusi sastra di berbagai negara seperti Belanda, Jerman, Dubai, Malaysia dan Filipina. Berikut petikannya.

Bagaimana perkembangan sastra sekarang?

Agak susah karena sekarang penerbitan (buku) fisik agak berkurang. Banyak penerbit, dan toko buku tutup. Salah satu penyebabnya karena dulu penerbit-penerbit besar tidak investasi pada minat baca sehingga minat baca kita tetap rendah. Dampaknya orang enggan membeli buku. Biasanya perusahaan melakukan investasi untuk menciptakan marketnya. Misalnya produk sampo, mereka beriklan dan mengajari masyarakat untuk menggunakan sampo sehingga tercdipta konsumen yang kuat. Jika perusahan-perusahan penerbit inves pada minat baca, misal dengan rutin mengadakan workshop membaca, tentu (dunia buku) tidak akan runtuh secepat ini.

Banyak penelitian yang mengungkap rendahnya minat baca. Padahal bacaan gratis di platform digital memiliki banyak viewer, sampai jutaan. Perpusatkaan umum seperti Perpustakaan Jakarta, juga banyak dikunjungi. Menurut Anda, apakah benar minat baca kita rendah ataukah harga buku yang mahal?   

Kita harus akui minat baca kita rendah. Acuannya jangan hanya Jakarta, Yogya, Bandung atau kota-kota besar lainnya. Lihat juga di pelosok untuk mndapatkan gambaran secara nasional. Tetapi bahwa harga buku mahal, iya juga, sehingga tidak terjangkau dan membuat orang tidak punya kesempatan membaca. Buku mahal karena kertasnya tidak disubsidi. Dulu, penerbit yang bisa eksis biasanya punya koran. Sebab kertas untuk koran, pers, disubsidi. Nah, perusahaan koran yang mempunyai penerbitan menggunakan sebagian kertasnya untuk mencetak buku.

Sejak pers bebas, tanpa SIUPP, tidak ada lagi subsidi kertas untuk koran. Penerbitan koran menjadi bisnis murni. Saat itulah usaha cetak buku menurun. Hal itu diperparah dengan kebijakan di mana pemerintah membeli hak cipta karya tulis, lalu dibuat PDF dan semua orang bebas mengakses secara gratis. Penerbit juga boleh mencetak tapi dengan harga jual yang sudah ditentukan, serendah mungkin. Kebijakan itu turut membunuh bisnis buku.

Bagaimana Anda menilai karya penulis-penulis muda?

Sastra terus ditulis oleh yang muda-muda dan banyak karya mereka yang bagus. Tapi kesulitannya susah terkenal. Gampang terbit, tapi tidak mendapat pengakuan publik secara luas. Mungkin bisa terkenal karena viral di media sosial, tetapi hanya sebentar. Tidak banyak yang bisa me-maintenance supaya namanya tetap berkibar di ruang publik. Sama seperti pemusik indie. Mereka banyak yang bagus tetapi susah meraih posisi puncak seperti Slank, Godbless, Noah, Dewa 19 dan lain-lain. Viral, terkenal sesaat, setelah itu hilang. Tantangannya seperti itu.

Berbeda dengan perjuangan penulis atau musisi di era sebelumnya. Perjuanganya berat, mati-matian agar karyanya bisa dimuat di Horizon atau media-media besar lainnya, agar bisa tampil di TIM. Tidak ada yang sekali berusaha langsung berhasil atau viral. Susah, dan butuh jam terbang yang panjang. Tetapi sekali (namanya) naik, sampai sekarang masih dikenal publik.

Apa penyebab penulis sekarang sulit mendapat pengakuan secara nasional?

Karena tidak ada lembaga, institusi, yang bisa menasbihkan karya seseorang, termasuk media massa. Dulu, ketika karya seseorang dimuat di Majalah Horison atau media besar, seperti mendapat pengesahan bahwa dirinya penulis, dan menjadi legend.  Kehadiran lembaga-lembaga yang legitimate sangat penting. Sebagai contoh, banyak sastrawan-sastrawan dunia yang hebat, tapi yang mendapat perhatian, yang terkenal, adalah mereka yang menang Nobel karena lembaga pemberinya dianggap kredibel, dipercaya. Jadi lembaga itu masih penting.

Kemudian juga saling dukung antarseniman juga kuat. Dulu kalau saya pergi ke daerah, cukup pede hanya membawa uang seadanya. Sebab di daerah pasti ada teman sesama penulis. Misal saya ke Lampung ada Isbedy Stiawan ZS, Iswadi Pratama. Demikian juga ketika ke Yogya, ada Jokpin (Joko Pinurbo), Joni Ariadinata. Ke Jakarta ada Afrizal Malna, Sitok Srengenge, dan lain-lain. Saya tidak akan ke laparan. Tidur juga di rumahnya, bukan di hotel. Sebaliknya, ketika teman-teman ke Bandung, Sitok atau Afrizal, nginap-nya juga di rumah saya.

Saya kaget ketika menjadi instruktur workshop menulis sastra, puisi maupun prosa di Mastera (Majelis Sastra Asia Tenggara) di mana pesertanya dari Singapura, Malaysia, Brunei Darussalam  dan Indonesia, ternyata mereka tidak saling kenal. Dulu sastrawan Malaysia, bisa dipastikan kenal dengan penulis Indonesia. Demikian juga dengan negara lain dan berlaku sebaliknya. Sekarang sesama penulis Jakarta, sesama penuilis Bandung saja tidak saling kenal.

Sepertinya hal itu memang sudah luntur di kalangan penulis muda. Apa penyebabnya?

Sekarang banyak penulis yang lahir bukan dari ekosistem besar. Dulu saya, Jamal D Rahman, Adek Alwi, Jokpin, Oka Rusmini, Isbedy baca buku yang sama, baca (karya) Chairil Anwar, Sutardji Calzoum Bachri, Gunawan Mohammad, Sapardi Djoko Damono, Mochtar Lubis, dan lain-lain. Dulu kita baca, atau nonton berita yang sama, sehingga ketika berbincang langsung nyambung. Ngobrol bisa berjam-jam.

Sekarang banyak yang baca di internet di mana tersedia beragam pilihan. Sehingga saling tidak tahu apa yang dibaca. Ketika mereka bertemu, tidak ada satu tema yang dapat didiskusikan karena mungkin ketika salah satunya bertanya tentang sesuatu yang baru dibaca, temannya tidak tahu. Karena mereka tidak berada dalam satu frekuensi.

Kembali soal ketiadaan lembaga yang bisa menasbihkan kepengarangan seseorang, bagaimana dengan TIM?

Tugas TIM bukan menasbihkan, tapi menaikkan sastrawan yang punya potensi. Sayangnya TIM tidak punya acara-acara besar. Setelah era WS Rendra, Hamid Jabbar, dan seniman-seniman seangkatan, TIM masih memiliki acara yang lumayan besar seperti pembacaan puisi oleh penyair tiga kota, Mimbar Abad 21, pertemuan cerpenis Sumatera Barat dan banyak lagi lainnya. Acara-acara seperti itu menarik minat bukan hanya seniman, namun juga masyarakat.

Nah, para pengelola dan mereka yang ada di TIM sekarang, mestinya bisa merangkul seniman-seniman muda berbakat. Jangan hanya menunggu tanpa berbuat. Contoh yang dulu dilakukan Hamid Jabbar, Gunawan Mohammad, Rendra, Leon Agusta. Mereka memanggil kami yang saat itu masih junior. Mereka memperhatikan penulis-penulis muda, mau turun untuk mencari alamatnya dan mengundang dalam sebuah acara. Hal itu bisa dilakukan karena, di samping memiliki kapasitas, mereka sudah selesai dengan dirinya. Itu yang penting dan mungkin saat ini belum ada yang sampai pada tahap itu, masing-masing masih sibuk dengan dirinya.

Apakah TIM masih punya daya tarik, marwah, seperti dulu?

Tugas orang yang ada di TIM yang membuatnya tetap punya magnet. Pedagang bakso saja berusaha agar baksonya diterima di mana-mana. Apalagi lembaga sepenting TIM yang hanya ada di Jakarta, satu-satunya di Indonesia dan dibesarkan oleh tokoh-tokoh hebat. Tugas mereka yang sekarang ada di TIM adalah menjaga kehebatan itu. Kalau tidak bisa, mundur dong.

Dulu sebuah pertunjukan bisa mendatangkan banyak penonton, bahkan karcis pertunjukan Rendra baca puisi dicatut calo, karena ada orang-orang yang bekerja keras di balik layar. Kalau ada (orang TIM) yang bilang, TIM sekarang tidak punya daya tarik, berarti dia yang tidak bisa menciptakan daya tarik melalui kegiatan-kegiatan yang menarik.

Banyak yang ingin berkarya dan membangun komunitas di daerah, lalu menuntut pengakuan dan menolak patron-klien sebagaimana dulu digaungkan oleh Kusprihyanto Namma melalui isu revitalisasi sastra pedalaman. Apakah hal itu turut meredupkan marwah TIM?

Kusprihyanto menolak pusat, bukan Jakarta. Sastra bukan hanya di kota saja. Tetapi dia hidup dalam komunitas yang sama. Demikian juga yang mendukung maupun yang kontra, hidup di rumah yang sama. Jadi protes Kusprihyanto tidak ada kaitannya dengan meredupnya marwah TIM.

Namun benar, sekarang kita seperti hidup di rumah masing-masing, ada sekat-sekat. Semua orang punya rumah dan cenderung abai dengan “rumah” orang lain. Bahkan Gunawan Mohammad, penyair Indonesia terkemuka, salah satu yang saya kagumi, sekarang justru sering disebut sebagai Penyair Salihara. Sangat disayangkan karena dia penyair nasional. Mengapa eksistensinya “direduksi” hanya milik satu komunitas?

Isu sastra apa yang paling menarik untuk dibahas?

Tidak ada. Beberapa tahun lalu, puisi esai jadi tema yang ramai dibahas. Sekarang tidak ada lagi. Kita telah banyak kehilangan; kehilangan kelompok-kelompok diskusi, kehilangan rumah. Tadinya saya berharap TIM direnovasi termasuk dengan brandnya. Ternyata, fisiknya saja yang direnovasi, tapi brandnya malah hancur. Padahal brand TIM sangat mahal.

Bagaimana merenovasi brand?

Dengan mengadakan kegiatan-kegiatan bermutu, ramah pada masyarakat, membuat orang datang dan menjadi bagian dari TIM.

Kita kehilangan tema-tema besar untuk didiskusikan …

Kita yang harus mencipta tema, tidak menunggu dari tempat lain. Misal melihat kecenderungan atau tren lima tahun terakhir, lalu dijadikan tema diskusi. Mengundang pihak dari mana-mana untuk membicarakan hal itu. Zaman sekarang yang penting narasi, dan kita tidak punya. Dalam konteks politik internasional, setiap negara punya narasi, punya wacana. Presiden Amerika Serikat Donald Trump berani menggertak negara lain melalui kebijakan tarif karena dia punya narasi, seperti America First, Make America Great Again dan lain-lain. Demikian juga China, berani melawan Amerika karena punya narasi besar, seperti mengembalikan kejayaan jalur sutra.

Jadi narasi sangat penting. Yang terjadi antara China dengan Amerika bukan sekedar perang dagang, tapi perang narasi. Bukankah alasan kita menjadi Indoensia juga dari narasi? Kalau tidak ada narasi, kita belum merdeka, tidak ada negara Indonesia.

Artinya, saat ini kita butuh narasi besar?

Etika ambruk karena tidak ada narasi. Korupsi merajalela karena kita kehilangan narasi. Dulu ada Hoegeng, mantan Kapolri yang hebat dan bersih. Ada Soedjatmoko, diplomat dan akademisi yang berani dan bersahaja. Ada Sutami, Menteri Pekerajaan Umum dan Tenaga Listrik selama empat belas tahun yang miskin, sampai-sampi aliran listrik di rumahnya yang dibeli secara kredit, dicabut gara-gara telat bayar (tagihan listrik). Mereka semua menjadi teladan di masanya.

Sekarang narasinya justru berkelindan dengan kekayaan. Yang kaya yang hebat, terlepas dari mana atau bagaimana mendapatkan kekayaannya. Meski koruptor, jika dia membantu tempat ibadah, tetap dianggap orang suci. Jangan kaget kalau sekarang korupsi sedemikian masif karena narasinya begitu.

Sekarang banyak yang baru menerbitkan satu buku sudah mengeklam diri sebagai seniman, mengajar sekolah. Dengan demikian output-nya kian menurunkan kualitas kesenian. Bagaimana mengatasinya?

Harua ada data, siapa orang ini, apa karyanya, seperti yang dilakukan Korea. Padahal dulu Korea bukan apa-apa dan bukan siapa-siapa dalam kancah kesusasteraan dunia. Bahkan di Asia, nama Korea tidak diperbincangkan. Tetapi sekarang mampu melahirkan sastrawan peraih Nobel yakni Han Kang.

Anda setuju ada sertifikasi seniman?

Sertifikasi idenya, seingat saya, saat sutradara The Lord of the Rings akan syuting di Indonesia. Karena tidak mungkin membawa seluruh kru film kolosalnya yang sangat banyak,  mereka butuh kru lokal. Mereka  tanya, siapa saja kameramen lokal yang bagus, dan mana sertifikasinya. Ternyata tidak ada, sehingga syuting The Lord of the Rings dipindah ke Selandia Baru.

Dari situ muncul wacana sertifikssi bagi kru film termasuk seniman. Nantinya mereka yang terdaftar, dimasukkan dalam database kementerian terkait sehingga ketika ada perusahaan atau lembaga yang ingin menggunakan tenaganya, bisa memilih di website tersebut.  Dalam data itu sudah ada kualifikasi seniman, termasuk berapa karyanya, tinggal di mana dan berapa biaya untuk menggunakan jasanya, semisal untuk menjadi tenaga pengajar atau narasumber diskusi.

Namun karena karena saat itu komunikasi yang dibangun pemerintah tidak baik, akhirnya ditentang, terutama oleh kalangan seniman. Bagi saya, sertifikasi seniman itu penting ngga penting, Tapi secara manfaat, banyak karena mudah dicari dan jelas rekam jejaknya.

 

Bagikan ke Media Sosial

Hubungi Admin Jika Ingin Meng-copy Konten Website ini