Catatan Nanang R Supriyatin

PojokTIM – Kegelisahan para seniman menggeliat ketika berlangsung tanya-jawab di sebuah Forum Group Discussion (FGD) yang berlangsung di Ruang Publik Terpadu Ramah Anak (RPTRA) Kampung Benda, Cempaka Putih, Jakarta Pusat, dua tahun lalu.

FGD Diikuti oleh sekitar 40 peserta mewakili cabang seni yang berkiprah di wilayah Jakarta Pusat. FGD merupakan salah satu program Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi Direktorat Jendral Kebudayaan Republik Indonesia yang diwakilkan Dirjenbudristek.

Kegelisahan para seniman didasari, antara lain tergusurnya lokasi berinteraksi serta berekspresi para seniman/ pegiat literasi. Lokasi tempat berinteraksi berubah menjadi gedung komersial, dengan alasan lahan yang digunakan merupakan lahan milik pengusaha dan sudah semestinya dikembalikan sebagaimana asal mulanya. Akibatnya, gerak seni perlahan raib dikarenakan tak ada legalitas formal dari pemerintah maupun pemangku jabatan sebagai penguat kesenian. Imbasnya maka beriak kecemasan dan kegelisahan dari para pegiat seni.

Kaum milenial yang awalnya sangat antusias serta optimis mengembangkan jati diri melalui kesenian di lingkungannya, perlahan kendor karena makin menciutnya rekan-rekan mereka; sesama milenia yang disebabkan faktor X. Ini tentunya tak sebanding ketika di awal-awal berdirinya sebuah komunitas. Subsidi rutin dari pemerintah daerah tak lagi turun rutin. Pandemi Covid-19 sebagai bencana nasional berimbas pada penyekatan ruang-ruang terbuka. Buntut dari itu semua ialah terjadinya stagnan, bahkan mati suri bagi komunitas. Saat terjadi pandemi covid-19, gedung Sasana Krida Karang Taruna dimanfaatkan untuk menampung orang-orang yang terkena wabah covid. Sebagian besar RPTRA diberi garis kuning dan tertutup bagi warga sekitar untuk berinteraksi. Tak ada lagi tempat berkumpul bagi komunitas yang memiliki anggota. Mereka bekerja mandiri di rumah masing-masing (Work From Home).

Olah raga, olah tubuh, olah rasa dan sejenisnya yang dilontarkan kementerian kebudayaan sebagai gagasan besar ketika itu setidaknya sebagai terapi ulang yang mengingatkan komunitas untuk kembali bangkit dengan pikiran-pikiran jernih dan kreatifitas mumpuni. Kementerian Kebudayaan melalui Dirjenbudristek telah mencatat sedikitnya ada 11 komite yang menggeliat di jabodetabek itu, seperti Komite Musik, Komite Teater, Komite Tari, Komite Sastra, Komite Seni Rupa, Komite Film, Komite Fashion, Komite Pangan, Komite Youtuber/ Fotografer, Komite Pencak Silat dan Komite Olahraga.

Panitia FGD sebagai kepanjangan tangan dari Dirjenbudristek dituntut menampung aspirasi komite melalui rekomendasi. Dalam amatan penulis, program ini setidaknya terbagi menjadi program jangka pendek dan program jangka panjang. Untuk program jangka pendek masing-masing komite menyatukan persepsi untuk sebuah kolaborasi. Momen ramadan sebagai alternatif diadakannya Festival Ramadan dengan merekrut komunitas. Dalam festival dimaksud mungkin saja ditampilkan marawis, tarian, baca puisi, fashion serta jajanan kuliner murah – yang kesemuanya bernuansa keagamaan. Untuk menyatukan pemerintah setempat dan para stakeholder (kelompok masyarakat yang memiliki kepentingan), komunitas mengundang juga penceramah untuk siraman rohani dan diakhiri dengan buka puasa bersama.

Ketua Simpul Senin Dewan Kesenian Jakarta Imam Ma’arif. Foto: Nanang R Supriyatin

Kolaborasi

Niat baik dan keterbukaan dari Dirjenbudristek yang menggelontorkan branding Olah Rasa harus disambut juga dengan Olah Pikir para seniman. Kegelisahan maupun kecemasan hanya bisa dihilangkan dengan membuat proposal. Anggaran menjadi urusan Dirjenbudristek. Fasilitas tempat menjadi urusan Pemerintah daerah (baik di tingkat kota/ kabupaten maupun di tingkat kecamatan/ kelurahan). Perwakilan Komunitas bersama perwakilan Dirjenbudristek sowan ke para pemangku jabatan yang lokasinya akan dijadikan kegiatan, tentunya dengan membawa surat sakti. Anggota komunitas dan warga yang peduli dengan seni mengawal kegiatan dimaksud. Ini yang penulis maksudkan sebagai kolaborasi berkesinambungan.

Elemen masyarakat yang diakui pemerintah dan memiliki legalitas formal seperti Rukun Warga, Rukun Tetangga, Lembaga Musyawarah Kelurahan, FKDM, Karang Taruna dan PKK harus dilibatkan. Biar bagaimana pun komunitas hidup karena mereka ada di antara masyarakat itu sendiri. Sasaran ini sejalan juga dengan yang dimaui pemerintah daerah. Sayangnya birokrasi di tingkat Kecamatan/ Kelurahan kurang Sumber Daya Manusia. Tapi sebagai komunitas yang solid, kita harus mampu memasuki ruang-ruang sempit ini. Permasalahan pokok di sini bukan karena komunitas tak mampu menampilkan kesenian mumpuni. Tapi semata-mata atau seolah-olah ada kesenjangan antara seni, masyarakat dan pemerintah.

Anggaran

Di Jabodetabek ini berdiri ratusan komunitas. Bahkan kantong-kantong budaya tak terhitung jumlahnya. Sangat miris memang jika kreatifitas mereka melalui ekspresi dan eksplorasi individual atau dengan grupnya tak tersampaikan dengan total. Beberapa komunitas sudah mampu berkolaborasi dengan dinas hingga mereka mampu tampil total. Tapi banyak komunitas membiayai kegiatannya sendiri melalui donasi anggotanya. Seperti yang disebutkan, kekurangan mereka; tak ada legalitas formalnya: AD/ART tak ada, Pengesahan dari umpamanya Kementerian Hukum dan Ham juga tak ada. Memang sempat terbersit ucapan dari yang mewakili Dirjenbudristek untuk menciutkan kegiatan karena anggaran (ngepas, penulis) – tapi kita juga belum tahu persis seberapa besar/ kecil anggaran yang ada untuk mengapresiasi serta mengelaborasi kesenian di masyarakat.

Penulis, dalam hal ini tetap berpandangan positif. Bergerak dengan pikiran-pikiran positif. Berkolaborasi dengan tujuan positif. Berbuat untuk kemajuan bangsa dan negara melalui kegiatan kecil, rutin dan berkesinambungan – merupakan tujuan kita bersama. Dengan olah rasa dan olah pikir yang jernih, saya yakin kegelisahan dan kecemasan itu akan hilang dengan sendiri. Seniman harus tampil total dan menjadi diri kita sebagai manusia bermartabat dan dihargai.

Bagikan ke Media Sosial

Hubungi Admin Jika Ingin Meng-copy Konten Website ini