PojokTIM – Angin akhir April dibalut udara panas menyebar di tengah kebisingan Kota Jakarta. Pengemudi yang ingin segera sampai di tempat tujuan setelah penat terjebak kemacetan, dengan kesal menekan tombol klakson – berulang-ulang. Suaranya nyaring menembus langit sore, ditingkahi deru mesin yang sedang berebut ruang sempit untuk memajukan kendaraan. Kini detak waktu pada traffic light di perempatan jalan antara Tanah Abang – Kuningan, terasa lebih lambat dibanding detak jantung sendirinya.

Tidak jauh dari tempat itu, di sebelah kiri jalan dari arah Kuningan, di tengah hamparan batu-batu nisan, sekelompok penyair tengah larut dalam pikiran masing-masing. Seolah-olah tidak terpengaruh dengan kebisingan sekitarnya. Mata mereka tertuju pada makam dengan nisan marmer putih dan penanda serupa lingga setinggi satu meter. Juga berwarna putih.

“Makam Chairil Anwar mestinya bisa lebih baik. Bangsa ini berutang padanya. Chairil bukan hanya pejuang kemerdekaan dalam arti yang sebenarnya, namun juga pelopor Angkatan 45 yang telah meletakkan dasar bagi perkembangan puisi dan Bahasa Indonesia modern,” ujar Ewith Bahar di atas makam Chairil Anwar di kompleks TPU Karet Bivak, Tanah Abang, Jakarta Pusat, Senin (28/4/2025).

Ewith, penyair yang juga penulis buiku Chairil Anwar Hidup 1000 Tahun Lagi, hadir bersama puluhan penyair dan sastrawan, termasuk putri tunggal Chairil Anwar, Evawani Alissa, dalam acara ziarah bertepatan dengan tanggal wafatnya penyair berjuluk Si Binatang Jalang itu. Acara yang dikoordinasi Ketua Taman Sastra Inspirasi Indonesia (TISI) Octavianus Masheka, merupakan bagian dari upaya menggalang dukungan untuk memugar makam dan membangun museum Chairil Anwar.

Menurut Ewit, saat ini ada tren di mana bukan hanya makam tokoh-tokoh spiritual yang diziarahi pengikutnya, makam tokoh terkenal dunia juga telah menjadi destinasi wisata yang ramai dikunjungi. Termasuk di dalamnya adalah makam penyair terkemuka dunia seperti yang ada di Westminster Abbey London, Inggris, dan Père Lachaise Cemetery di Paris, Perancis.

“Di  Westminster Abbey  ada bagian khusus untuk pemakaman dan peringatan para penyair dan sastrawan dunia. Namanya Poet’s Corner, Beberapa nama terkenal yang dimakamkan atau diperingati di sana antara lain Geoffrey Chaucer, Charles Dickens, Thomas Hardy, Rudyard Kipling, dan tentu saja Jane Austen. Sementara William Shakespeare dan TS Eliot, meski tidak dimakamkan di Poet’s Corner namun diperingati di tempat itu dengan monumen,” ujar Ewith.

Untuk biaya perawatan, menurut Ewith, pengunjung Westminster Abbey dikenai tiket masuk. Saat ini tiket untuk tur sebesar 29 poundsterling atau sekitar Rp 700 ribu. “Jadi bisa untuk pemasukan devisa negara ketika turis-turis asing datang,” urai Ewith.

Oleh karenanya, makam Chairil juga layak mendapat tempat yang terhormat agar generasi kini dan mendatang tidak melupakan jasa-jasanya. Jangan hanya pandai menikmati karyanya tanpa menghargai perjuangan dan jerih payahnya.

“Jangan sampai kita menjadi bangsa yang durhaka, yang tidak pandai membalas budi. Kita selalu bilang tentang bangsa yang besar. Namun pada saat bersamaan, kita tidak peduli dengan orang-orang yang telah memberikan kontribusi besar pada bangsa ini. Bahkan makamnya dibiarkan merana,” tegas Ewith dengan nada bergetar.

Menurut penulis buku Impromptu Terzina yang menjadi buku terbaik 2023 versi Yayasan Puisi Indonesia, sangat penting untuk menempatkan makam Chairil Anwar secara lebih terhormat. Kebesaran Chairil Anwar dengan puisi-puisinya telah menginspirasi berbagai generasi, di dalam maupun luar negeri.

Pendapat Ewith mendapat dukungan Maman S Mahayana, pengamat dan kritikus sastra yang juga hadir dalam kesempatan itu bersama anggota Komite Sastra Dewan Kesenian Jakarta Imam Ma’arif, Ketua Sastra Reboan yang juga arsitek Aloysius Slamet Widodo, pendiri Bengkel Deklamasi Jose Rizal Manua, owner Penerbit Taresia Sofyan RH Zaid, serta penyair Nanang R Supriyatin, Giyanto Subagio, Dyah Kencono Puspito Dewi, dan lain-lain.

“Umumnya makam tersebut berada dalam satu kompleks dengan museumnya seperti makam Jalaluddin Rumi di Museum Melvana di Konya. Turki,” kata Maman.

Bukan hanya di Eropa dan Amerika Latin, makam para sastrawan dan penyair di Usbekistan, Azerbaijan, dan Rusia juga ditempatkan secara terhormat, termasuk makam sastrawan asal Cianjur, Utuy Tatang Sontani di Moskow yang ramai diziarahi.

“Chairil sangat dihormati oleh masyarakat negara lain. Bahkan di Korea, puisinya ditampilkan di tempat umum bersama terjemahannya dalam bahasa setempat. Jangan sampai kita menyesal ketika kelak Chairil justru menjadi ikon negara lain karena ego dan ketidakpedulian kita,” tegas Maman.

Ewith Bahar bersama Evawina Alissa. Foto: PojokTIM

Di Karet

Keberadaan makam Chairil Anwar di Karet memang bukan kebetulan, tetapi sudah menjadi takdirnya. Selain disebut dalam salah satu puisinya, ada satu peristiwa yang menegaskan hal itu.

“Tidak banyak seniman, atau kita, yang bisa memprediksi kematiannya. Chairil adalah salah satunya,” ujar Ewit Bahar.

Karena sudah menjadi ketetapan, maka seperti ada yang menuntun agar ketetapan itu dapat terlaksana. “Saat meninggal dunia, Chairil Anwar sebatang kara di Jakarta. Para tetangga dan teman-temannya tidak berani memutuskan pemakamannya. Namun menunggu kedatangan kerabatanya dari Medan juga tidak memungkinkan mengingat moda transportasi saat itu belum selancar sekarang,” terang Ewith.

Saat itu sempat ada usul agar jenasahnya dibawa ke Medan menggunakan kapal laut, atau dimakamkan di daerah Senen yang lebih dekat dengan tempat tinggalnya.”Entah bagaimana, tiba-tiba tercetus pendapat agar Chairil dimakamkan di Karet. Ini agak aneh karena saat itu puisi-puisi Chairil belum seterkenal sekarang dan mungkin tetangganya juga belum banyak yang tahu puisi-puisinya. Jadi mungkin belum ada yang tahu “wasiatnya” tentang Karet. Tetapi itulah yang terjadi,” jelas Ewith.

Dari kisah itu, menurut Ewit, pemakaman Chairil di Karet sudah final. Tidak perlu dipindah ke tempat lain. “Tetapi kita bisa memugarnya, atau membuat museum di Karet untuk menghormatinya,” kata Ewith.

Ewit menolak pendapat yang mengatakan Chairil seorang pesimistis, apalagi fatalis. Banyaknya puisi-puisi Chairil yang bertutur tentang kematian, tidak berarti putus asa. Vitalitasnya tetap menyala. “Dia menemukan keindahan melalui tema-tema kematian,” tutup Ewith yang mengakui bahwa Chairil tidak hidup dalam lingkungan yang mengerti arti cinta.

 

*Judul merupakan anagram dari puisi Chairil Anwar

Bagikan ke Media Sosial

Hubungi Admin Jika Ingin Meng-copy Konten Website ini