PojokTIM – Seniman bisa berkarya di mana saja, termasuk kolong flyover! Semangat itu yang diusung Badri AQ T alias Badri Adalah Badri ketika ikut bergabung dalam komunitas Koloni Seniman Ngopi Semeja yang menjadikan kolong flyover Jalan Arief Rahman Hakim Kota Depok sebagai homebase. Berbagai kegiatan seni seperti launching buku, pembacaan puisi dan diskusi sastra, sering diadakan di lokasi dekat Stasiun Depok Baru tersebut.
“Beberapa seniman dan penggiat literasi dari berbagai daerah, termasuk dari Jakarta, pernah hadir dan mengadakan kegiatan bersama Koloni di kolong flyover,” ujar Badri dalam suatu kesempatan.
Badri yang mengawali jalan keseniannya dari teater, memang cukup familiar di kalangan seniman dan penggiat literasi. Badri juga rajin mengikuti kegiatan di Pusat Kesenian Jakarta (PKJ) Taman Ismail Marzuki (TIM) untuk mendukung teman-temannya berkarya.
“Nama panggung saja. Awalnya dari akun (medsos), ternyata cukup nyaman dan sudah banyak yang mengenal (nama itu), jadinya keterusan,” ujar Badri ketika ditanya mengapa menggunakan nama Badri Adalah Badri.
Berikut rangkuman wawancara PojokTIM dengan Badri Adalah Badri di pusat UMKM gedung Trisno Sumardjo komplek PKJ TIM, Cikini, Jakarta Pusat, pekan lalu.
Bisa ceritakan awal mula berdirinya komunitas Koloni Seniman Ngopi Semeja?
Dari dulu saya lebih banyak berkegiatan seni di Jakarta. Di TIM dan juga Bulungan, Jakarta Selatan. Tapi akhirnya saya ingin juga memiliki ruang kreasi di Depok. Minimal bisa untuk diskusi dengan teman-teman yang sejalan. Apalagi Depok juga bukan kota yang asing dalam peta kesenian tanah air. Banyak nama-nama besar yang pernah tinggal dan berproses di Depok. Secara geografis, lokasinya juga tidak terlalu jauh dari Jakarta. Pemandangan di beberapa wilayah juga masih asri. Harapannya, keberadaan komunitas dan ruang berkesenian di Depok bisa menjadi penyangga Jakarta yang sudah padat dengan berbagai kegiatan seni
Nah, kebetulan saat itu ada Koloni Koloni yang diprakasai oleh Jimmy S. Johansyah dan Bambang Wahyudin atau yang dikenal dengan nama Bambang Betet, Jimmy yang menjadi ketuanya. Saya pun gabung ke situ. Dalam perkembangnya, beberapa teman gabung, ada Udi Tama, Muhammad Ibrahim Ilyas dan beberapa teman lainnya. Sementara Bambang Betet lebih aktif mengajar di Sekolah Master.
Mengapa markasnya di kolong?
Kolong flyover itu bukan markas Koloni. Kami hanya memanfaatkan ruang di bawah jembatan beton yang saat itu terbengkalai, dan kumuh. Kami coba memanfaatkan untuk ruang kreasi. Tapi ketika hendak mengajukan izin kegiatan, ditolak oleh pemda. Katanya kolong untuk ruang olahraga, untuk seni di tempat lain. Tapi kami tidak tahu yang dimaksud “tempat lain” itu. Selama berkegiatan di kolong, Koloni menjadi mitra Komunitas Kampung Kita Depok (K3D). Mereka yang mengelola kolong tersebut. Jadi izin atau pemberitahuan kegiatan disampaikan ke K3D. Tanpa izin resmi atau izim tertulis.
Dari mana dana untuk mengadakan kegiatan?
Dananya dari donatur, sukarela teman-teman saja. Ketika akan ada kegiatan, semisal launching buku, kami bahas soal pendanaannya dengan pemilik bukunya. Padahal dana yang dibutuhkan tidak banyak, hanya untuk bikin backdrop, kopi, dan sedikit camilan. Sebab untuk pembicara Koloni tidak pernah menyediakan honor. Terkecuali misalnya pemilik buku yang dibedah, mnemberikan horor secara khusus. Itu di luar urusan Koloni. Yang jelas Koloni tidak pernah memberikan honor kepada pembicara karena Koloni tidak punya anggaran. Koloni tidak punya donatur tetap, dan tidak menerima dari dari pemda.
Salah satu kegiatan Koloni di kolong flyover Depok. Foto: Ist
Bagaimana kepedulian Pemkot Depok terhadap dunia kesenian secara umum?
Mohon maaf, nihil. Tidak ada perhatian sama sekali. Dulu ada Dewan Kesenian Depok, tapi sampai sekarang tidak jelas eksistensinya karena tidak mendapat dukungan. Pemda malah membuat Dewan Kebudayaan Depok. Tapi kami yang sudah sejak dulu berkiprah di kesenian, di kebudayaan, tidak kenal pengurusnya. Tahu namanya saja, tapi tidak tahu bagaimana kiprahnya.
Padahal Depok pernah ditinggali seniman-seniman besar dan terkenal. Tapi hal itu tidak membuat pemda tergerak untuk membuat pusat kesenian yang representatif. Akhirnya kami lebih banyak berkiprah di luar Depok, termasuk di TIM. Salah satu semangat di balik pendirian komunitas Koloni adalah untuk menjaga agar Depok hilang dari peta kesenian Indonesia.
Apakah Koloni pernah mencoba merangkul penggiat seni dan komunitas lain untuk bersama-sama menghidupkan kesenian di Depok?
Koloni sudah mencoba merangkul mereka. Ketika Koloni ada kegiatan di lolong flyover, kami mengundang mereka. Tapi sejauh ini belum ada respon. Bukan saja tidak mau datang, nengok pun kagak. Mungkin mereka mengira Koloni kumpulan anak jalanan, ngamen.
Saya positive thinking saja. Mungkin belum ketemu rumusnya. Ya sudah, kami jalan sendiri. Koloni tetap akan jalan dengan atau tanpa dukungan pihak lain. Dengan kondisi seperti itu, tekad kami untuk melahirkan sesuatu semakin kuat.
Bagaimana respon komunitas di luar Depok?
Justru teman-teman dari luar Depok yang mengapresiasi. Ketika Koloni ada acara, mereka mau datang. Padahal rumahnya jauh seperti Sosiawan Leak. Ada juga Embi C. Noer dan teman-teman seniman serta pemerhati seni dari Jakarta. Saya bangga juga dong, berarti saya dan nama-nama lain di Depok yang terlibat di Koloni masih dipandang. Dukungan mereka menjadi penyemangat Koloni utnuk mengadakan kegiatan yang lebih baik lagi.
Seperti diskusi dan launching buku sastra?
Iya, Koloni pernah bikin beberapa program seperti Gerobak Puisi yang sudah kami gelar 2 kali. Demikian juga lomba lukis. Setiap malam tahun baru kami juga bikin acara. Bukan untuk merayakan pergantian tahun, tapi kebetulan acaranya bertepatan dengan malam tahun baru. Kegiatan itu juga sudah 2 kali kami laksanakan.
Tetapi yang paling intens adalah Ngobrol Ngopi Semeja, diskusi sastra dan budaya, juga peluncuran buku, dan lain-lain. Koloni sudah beberapa kali mengadakan acara launching serta bedah buku puisi dan novel, dengan menghadirkan pembicara yang kompeten.
Dari mana ide menerbitkan buku antologi Gemini?
Setelah beberapa kali kegiatan, kami berpikir Koloni perlu memiliki penerbitan. Dibuatlah divisi K Publisher. Untuk mengawalinya K Publisher menerbitkan antologi Gemini. Ide awalnya ringan saja, ngumpulin teman-teman berzodiak Gemini, merayakan ulang tahun bersama lewat puisi. Ternyata sambutannya cukup bagus, sampai 36 penyair. Meski khusus untuk penyair yang berzodiak Gemini, tema puisinya bebas, bukan hanya tentang Gemini. Mudah-mudahan nantinya bisa menjadi serial zodiak karena kemarin banyak yang mau ikut tetapi berzodiak lain. Jika terlaksana, kelak akan ada 12 buku antologi puisi zodiak yang diterbitkan K Publisher.
Kabarnya mau menerbitkan Gedor Depok. Apa itu?
Ini program lama. Ingin membuat sesuatu tentang Depok. Antologi puisi juga, tapi tentang Depok. Siapa saja boleh ikut, bukan hanya yang tinggal di Depok. Minimal mengenal Depok, atau pernah tinggal di Depok. Bebas ngomong apa saja tentang Depok. Katanya ada juga yang mau eksplorasi tentang Depok sebelum menulis puisi. Silakan saja. Arti gedor sendiri kan sangat luas. Bisa dimaknai sebagai curahan kekesalan, kekecewaan, angan-angan, kenangan.
Bagaimana sosialisasinya?
Pertama-tama saya kontak teman-teman yang kenal Depok seperti Mas Adri Darmadji Woko, Mas Eka Budianta, dan lain-lain. Kedua, tentu dengan memanfaatkan media sosial, terutama Facebook. Responnya lumayan bagus. Sudah terhimpun 100 nama, tetapi belum semuanya mengirim puisi.
Kapan Anda mulai menulis puisi?
Sebenarnya basic saya di teater. Sejak SMP saya sudah ikut teater anak-anak. Ketika SMA saya ikut teater umum. Dengan teater ternyata bisa ke ngapaian aja, termasuk menulis dan membaca puisi di atas panggung.
Pernah mendirikan grup teater?
Selepas sekolah, saya sudah tidak bergabung dengan grup teater. Tidak bisa dan kurang nyaman. Jadi saya bikin grup sendiri. Pernah bikin Teater Kotak di Bulungan (Jakarta Selatan), teater Kelompok Anak Panggung. Di Depok juga pernah bikin beberapa grup teater. Ketika Sitok Srengenge bikin Teater Matahari di Depok, saya bikin Teater Alot. Pernah juga bikin komunitas SBY, akronim dari pendirinya: Sihar Ramses Simatupang. Badri, dan Yonatan Rahardjo.
Setelah vakum dari teater, saya mulai nulis cerpen. Tapi kesal karena tidak bisa dimuat di Kompas. Akhirnya saya bikin antologi sendiri dengan judul Buntelan.