Oleh: Chris Triwarseno
Judul: Khalwat
Penulis: Sofyan RH. Zaid
Penerbit: Taresia
ISBN: 978-623-88638-5-3
Cetakan Pertama: Februari 2024
Tebal: 82 hlm.; 14 x 17 cm
Serpihan sajak karya Sofyan RH. Zaid yang berjudul “Khalwat” ini merupakan buku puisi kedua setelah “Pagar Kenabian” (2015). Serpihan sajak ini berisi sepilihan puisi yang mewakili perjalanan hidupnya. Baik yang terkait dengan tasawuf, filsafat, atau puisi itu sendiri. Puisi-puisinya ditulis sejak tahun 2002 sampai 2024.
Sofyan telah mengenal karya-karya tasawuf sejak masih sekolah, seperti: Al-Hikam karya Ibnu Atha’illah dan Mutiara Ihya’ Ulumuddin karya Al-Ghazali. Proses kreatifnya dalam berpuisi terus berlanjut hingga ke Pondok Pesantren Annuqayah Lubangsa Raya, Guluk-guluk, Sumenep. Ia banyak belajar menulis puisi kepada Kiai M. Zammiel El-Muttaqien (alm), Kiai M. Faizi, dan sejumlah penyair di luar pondok.
Sofyan selanjutnya memilih kuliah di Jurusan Filsafat dan Agama, Universitas Paramadina. Di mana, tasawuf, filsafat, dan sastra telah menyatu dalam pemikirannya. Di kampus itu juga, ia akhirnya berjumpa dengan Abdul Hadi W.M. (alm), dosen asal Sumenep, yang juga dikenal sebagai penyair sufistik.
Melalui serpihan sajak “Khalwat” ini sepertinya Sofyan mengajak kita untuk mengasingkan diri dan menenangkan pikiran di tempat yang sunyi untuk bertafakur melalui puisi-puisinya — menjalankan ibadah puisi. Ia seperti tak asing dan begitu berhasrat pada tasawuf atau kesufian.
Khalwat lahiriah sejatinya adalah proses pembersihan cermin hati dari rupa-rupa yang mengotorinya sejak ia lupa dan berbaur dengan dunia dan seisinya. Rupa-rupa ini adalah kegelapan yang menghijab satu sama lain dan mengendap di permukaan hati. Dan akhirnya membentuk karat hati: lupa dan lalai (ghaflah).
Melalui puisi-puisinya, Sofyan sedang mengajak kita menyucikan batin dari setiap perangai yang tercela dan mengikat erat batin kita dari khayal tentang dunia seisinya. Khayalan adalah hal yang paling berbahaya dalam semua khalwat — tidak membantu jiwa kita berdialog dan bergerak di alam yang kita khayalkan. Khalwat itu seperti ubub (alat pengembus api), sedangkan diam dan melenyapkan bersit pikiran akan mengusir bisikan yang datang dari kegelapan.
Melalui salah satu puisinya yang berjudul “Asas Azali”, Sofyan telah menafsirkan keakuan sebagai salah satu dari aneka rupa yang mengotori cermin hati. Kegelapan batin yang menghijab. Ia mengulang pertanyaan esensial “untuk siapa cintamu?” setidaknya tiga kali dalam puisinya. Ini adalah penegasan untuk memastikan jawabannya adalah bentuk manifestasi cinta sesungguhnya kepada Yang Maha Cinta. Bukan khayalan semata — yang melupakan dan melalaikan. Ghaflah.
Dalam dua larik puisinya, ada sebuah analogi tentang bagaimana usaha “untuk menaklukkan keakuanku”, pun tidak berhasil. Meskipun “kau membuangku ke danau salju membiarkan dingin menyergap” dan “kau melemparku ke tungku besar membiarkan panas menyengat”. Dan si aku lirik bersikeras menjawab “untukku” atas pertanyaan “untuk siapa cintamu?” Ini tak lebih adalah bentuk penolakan ketertundukan. Keakuan yang tak beku oleh dingin salju ataupun tak terbakar oleh panas tungku besar.
Di bait ketiga, setidaknya si akulirik menyadari sepenuhnya atas ketidakmampuannya membebaskan diri dari hijab keakuan. Ia pasrah saat “kau mengurungku di dalam gua” dan “membiarkan lapar-dahaga mendera”. Ia mungkin sedang membuka pintu khalwat melalui uzlah. Ia sedang berjuang melawan hawa nafsu (mujahadah) sebelum memasuki khalwat sampai jiwanya terbiasa dengan itu.
Setelah perjuangan mendisiplinkan dirinya sendiri, mungkin si akulirik akan terbiasa, sebagaimana keakuan yang sudah tidak lagi menaruh perhatian padanya. Ia baru bisa memasuki tempat khalwat dengan tenang, rileks, dan bersiap melepaskan segala khayalan. Dan barulah ia (mungkin) berani menjawab “untukmu” atas pertanyaan “untuk siapa cintamu?”
Bila dalam khalwat, si akulirik masih melawan keakuan, maka konsentrasi yang merupakan ruh dari khalwat tersebut akan terpecah. Hal itu akan mengalihkan perhatian pada saat khalwat, sehingga tidak akan ada warid, karunia petunjuk dari Yang Maha Cinta. Seperti yang dituliskan di larik terakhir puisi ini — “kemudian kau memberiku kenyang aku kembali mengkhianatimu!” Ini setidaknya menjadi plot twist yang sangat berhasil. Berhasil menampar kesadaran batin terdalam. Kita harus mencari petunjuk-petunjuk yang mungkin saja terlewatkan atas kegagalan: mujahadah, uzlah, dan khalwat.
Mungkin kita bisa menemukan petunjuk-petunjuk yang terlewat itu di dalam puisi Mahmud Syabistari yang berjudul “Tamu Kekasih” dalam buku Gulshan-i-Raz (Kebun Mawar Rahasia). Petunjuk pertama, kita harus membuang seluruh keakuan — “karena ia tidak lain rumput liar dan belukar”. Setelah kita menyadari kotoran batin yang sangat mengganggu tersebut, maka kita dianjurkan untuk membersihkan ruang batin — “pergilah, bersihkah ruang hatimu”. Kemudian kita menyediakan ruang batin tersebut “sebagai tempat semayam Sang Kekasih”.
Petunjuk kedua di dalam buku Kebun Mawar Rahasia itu adalah kita perlu menempuh jalan khalwat sebenar-benarnya, yang (lagi-lagi) membebaskan nafsu. Maka “ketika kau beranjak, Dia akan masuk” — tentu saja ini adalah warid, sebuah karunia yang merupakan petunjuk kebenaran. Sang Kekasih menjanjikan — “dan kepadamu, dengan keakuan yang terbuang” maka “Dia akan menyingkapkan Keindahan-Nya”. Dengan melepaskan semua keakuaan dengan ketertundukan, kehambaan, dan keikhlasan, maka Sang Kekasih akan bertajali, menyingkapkan cahaya kebenaran sejati.
Di puisi lainnya yang berjudul “Dua Jejak Perjalanan”, Mahmud Syabistari mengisyaratkan juga sebuah petunjuk. Kita, yang dianalogikan sebagai seorang musafir, di setiap perjalanannya akan menempuh “dua langkah dan tidak lebih: “. Pertama adalah “satu langkah keluar menjauh dari keakuan diri” — bermujahadah. “Dan kedua menuju Kesatuan mistis bersama Sahabat” — bermahabbah.
Demikianlah yang pernah dikatakan oleh Octavio Paz, penyair Amerika Latin terkenal, pemenang Hadiah Nobel, bahwa puisi revolusioner adalah puisi apokaliptik, puisi kewahyuan. Puisi yang mampu mengungkapkan rahasia- rahasia terdalam kehidupan yang bersifat metafisis atau transendental (Ilahiah). Menurut hemat saya setiap penyair memiliki visi yang terang (rukyah) sewaktu menerima limpahan ilham, tak terkecuali puisi-puisi Mahmud Syabistari di dalam buku Gulshan-i-Raz, begitu pula sehimpun sajak Sofyan RH. Zaid yang berjudul “Khalwat” tersebut.