Aku Tersesat di Mal

Mencarimu; sang gelandangan kata-kata, tak usai-usai. Dari selasar
sunyi hingga ke riuh kota. Hanya kutemukan orang-orang tak kukenal.
Muka-muka dingin. Dengan berbagai gaya. Sembunyikan luka.
: “Jangan beri aku puisi, aku hanya butuh sekelebat cahaya!”

Aku tersesat di mal. Setiap berpapasan dengan seseorang, aku hanya
berharap senyuman. Tak ada. Hanya muka-muka dingin. Dengan gaya.
Menenteng sejarah remuk.
: “Ini dada, sang gelandangan kata-kata– sarat sembilu!”

Di mal. Tak ada sang gelandangan kata-kata.
Hanya bayangan kian berkarat. Meluka. Lara. Dan malam nyaris tanpa rupa.
: “Engkau menyeretku ke jurang paling indah. Puisi. Kita berpeluk.
Berbagi sunyi. Perih!”

Purwokerto, 2025

 

Selalu, Hanya Chairil, Duka Puisiku

1.
selalu– hanya chairil; duka puisiku merimbun: edelweis
remuk– lepas dari tangkai jatuh sepanjang perjalanan
: “aku pilih hati-jiwa paling luka, atas nama cinta!”

2.
aku tak ingin sekadar cinta; aku selalu rindu kebersamaan yang tulus
dan ikhlas, au, berhujan-hujan dalam perjalanan dari rumah kaca
ke sudut-sudut kota
: “sorot kerling matamu, sungguh serupa percikan surga!”

3.
akan tiba saatnya– kutulis puisi yang paling menyenangkan;
chairil, kita bangun rumah kecil di atas batu karang
di antara debur ombak yang memecah sepanjang malam
: “tetapi, lihatlah; camar melayang ke dahan bakau– dengan
sayap terluka dengan sorot mata nanar, dan jeritnya parau..”
selalu saja peluk itu serupa getar ragu membentur dinding sunyi
au, bersitataplah dengan suara hati terdalam– terkasih!

4.
di lorong ini nyaris tak ada cerita; hanya bisik lirih
: “ke mana langkah akan diayunkan? ke jalan kecil penuh kelok
ke telaga sunyi atau ke rumah kayu atas bukit?”
sepasang mata itu mengerjap, gugusan awan putih berarak ke lembah
: “kita bangun rumah masa depan, au, dengan serbuk kata-kata—
sepenuh cinta!”

Cirebah, 2025

 

Hanya Mau Tubuh Penyair, Selamanya

1..
tali itu akhirnya engkau retas juga, au, wajahmu bercahaya
: “aku serupa penyair yang mabuk dalam zikir, hati-jiwaku
meronta memancarkan kebahagiaan yang luar biasa!”

2.
di hari kemudian jangan dekati aku lagi
lupakan seluruh masa lalu, musnahkan sekecil apa pun
kenangan, au, menjauh dengan puisi di dekapannya, ia hanya
mau tubuh penyair, selamanya…

3.
kalau kemudian sembilu yang kaugenggam benar melukai
telapak tangan biar aku saja yang berdarah dan menikmati
perihnya…
: “au; berdendanglah sepanjang usia, jangan pernah
menangis di atas dada-kasihku!”
jangan pernah walau hanya membayangkan puisi duka!
seperih apa pun puisi; sesunyi apa pun pemuja kata-kata,
luka tak lagi meneteskan darah

4.
rasa sakit yang sesungguhnya adalah; merindukan kekasih– yang
selalu menangis ketika mengungkapkan jerit hatinya pada
sang penggembala kata, au, air mata yang tak terbendung, menetes
membasahi palung waktu, ngilu, bertalu-talu…

5.
kalau engkau pernah memberikan puisi kepada seseorang, lupakan,
walau terkadang menyakitkan lalu serupa kupu-kupu engkau diam-
diam menjelma kepompong lagi
: “aku ingin bahagia dalam kesunyian, tanpa dendam, tanpa rindu!”
embun mengapung– kepompong itu menjadi kupu-kupu…

Cirebah, 2025

 

BIONARASI

Eddy Pranata PNP— adalah founder of Jaspinka (Jaringan Sastra Pinggir Kali) Cirebah, Banyumas Barat.. Buku kumpulan puisi tunggalnya: Improvisasi Sunyi (1997), Sajak-sajak Perih Berhamburan di Udara (2012), Bila Jasadku Kaumasukkan ke Liang Kubur (2015), Ombak Menjilat Runcing Karang (2016), Abadi dalam Puisi (2017), Jejak Matahari Ombak Cahaya (2019), Tembilang (2021).
Puisinya juga disiarkan di Majalah Sastra Horison, koran Jawa Pos, Media Indonesia, Indopos, Kompas.id, Suara Merdeka, Kedaulatan Rakyat, Pikiran Rakyat, Medan Pos, Riau Pos, Tanjungpinang Pos, Haluan, Singgalang, Minggu Pagi, Asyik.asyik.com., dll. Puisi-puisinya juga terhimpun ke dalam puluhan antologi bersama.

Bagikan ke Media Sosial

Hubungi Admin Jika Ingin Meng-copy Konten Website ini