PojokTIM – Bagi sebagian orang, R Mono Wangsa adalah sosok antagonis dalam lakon besar bernama Taman Ismail Marzuki (TIM). Mono terlibat langsung pada peristiwa-peristiwa penting yang mewarnai perjalanan TIM. Sebut saja aksi menentang kebijakan Dewan Kesenian Jakarta saat dipimpin Salim Said, dengan menggelar panggung terbuka selama 4 bulan. Gerakan itu merembet dan turut mempengaruhi gerakan mahasiswa dalam menumbangkan rezim Orde Baru, Mei 1998.
Mono juga aktif mengkritisi revitalisasi TIM dan turut dalam gerakan #saveTIM bersama seniman-seniman lainnya. Kini setelah revitalisasi selesai, Mono kembali menyuarakan pentingnya mengembalikan tujuan TIM sebagai laboratorium, etalase, dan barometer seni di Indonesia.
“Kondisi TIM saat ini, bukan kehendak zaman. Mungkin karena kita, seniman-senimannya, dan orang luar, sama-sama merusak dan memanfaatkan TIM. Orang-orang seperti aku yang sejak kecil sudah “bermain” di TIM merasa ada yang hilang dan yang hilang adalah bagian terpenting dari eksistensi TIM,” cetus Mono kepada PojokTIM, akhir pekan lalu di pusat kuliner Gedung Trisno Sumardjo kompleks TIM, Cikini, Jakarta Pusat.
Mono dikenal sebagai pembaca puisi yang handal dan telah mencapai titik tertinggi yang menjadi dambaan setiap pembaca puisi maupun deklamator. Mono telah memenangi berbagai lomba pembacaan puisi dan deklamasi sejak tahun 70-an. Dari tingkat wilayah, sampai nasional. Bahkan pada tahun 2023, Mono menjadi Juara 1 Lomba Baca Puisi Piala HB Jassin dan Lomba Baca Puisi Piala Paman Birin 2. Total hadiah dari kedua lomba tersebut mencapai Rp 50 juta. Jumlah yang cukup fantastis
“Hadiahnya untuk biaya kuliah S2 anak saya,” ucap Mono.
Totalitas Mono dalam menapaki jalan kesenian, mendapat apresiasi dari kawan maupun lawannya dalam setiap lomba. Berikut rangkuman kiprah dan letupan pemikiran R Mono Wangsa yang disampaikan kepada PojokTIM dengan bahasa yang sangat tertata, jelas dan tegas.
Kapan Anda mulai menyukai seni baca puisi dan deklamasi?
Sejak kecil aku sudah bergabung dengan teater anak-anak yang ada di TIM. Kalau tidak salah tahun 1975, aku mulai jadi deklamator. Awalnya aku tergiur dengan hadiah lombanya. Meski hadiah uangnya belum besar, tetapi bawa pulang piala menjadi suatu kebanggaan. Terlebih awalnya aku tidak boleh berkesenian, terutama oleh Pakde (karena masih keturunan ningrat). Tetapi setelah melihat keseriusan dan keberhasilanku menjuarai berbagai lomba baca puisi, akhirnya keluarga agak melunak. Lama-lama aku pun semakin menekuni dan mencintai jalan kesenian.
Di masa lalu, lomba mana yang paling berkesan?
Aku lahir dan besar dari lomba, jadi banyak lomba yang sudah aku ikuti dan semuanya berkesan. Termasuk lomba yang diselenggarakan Bakom PKB (Badan Komunikasi Penghayatan Kesatuan Bangsa). Lomba diadakan setiap tahun dan menjadi tempat aku mengasah diri. Menariknya antara aku dan Mas Jose (Jose Rizal Manua) selalu bergantian menjadi juara. Misalnya tahun 81 Mas Jose yang Juara 1, sementara tahun 84, gantian aku yang Juara 1. Dan di antara tahun-tahun itu, saat tidak menjadi juara pertama, aku dan Mas Jose selalu berada di 3 besar.
Hal-hal seperti itu yang bikin senang dan bangga. Auranya terasa, bukan sekedar lomba nyari duit, tapi juga prestise. Meski bersaing kita berteman akrab, suka ledek-ledekkan, dan yang pasti tidak ada permusuhan. Suasananya sangat menyenangkan.
Mana lebih berkesan antara Lomba Baca Puisi Piala HB Jassin dengan Piala Paman Birin?
Secara hadiah, Piala Paman Birin lebih besar. Juara pertama mendapat Rp 35 juta, sementara hadiah uang Piala HB Jassin Rp 15 juta. Pesertanya juga lebih banyak pada Lomba Piala Paman Birin yakni mencapai 3.847 orang. Namun lomba Piala HB Jassin memiliki prestise dan gengsi tersendiri. Kualitas penyelenggara, kualitas juri, dan kurator yang memilih materi lomba, betul-betul mumpuni. Semua dipertimbangkan dengan matang, tidak asal jadi. Lomba seperti itu yang seharusnya dilestarikan.
Lebih semarak mana, lomba baca puisi dan deklamasi tahun 80-an dengan sekarang?
Secara jumlah, lebih banyak sekarang dibanding era 80-an sampai 90-an. Terlebih sekarang ada lomba (secara) online. Banyak juga lomba yang diselenggarakan komunitas kecil. Sayangnya, meski tujuan lombanya untuk apresiasi seni dan seniman, tapi penyelenggaraannya tidak maksimal. Artinya sekedar ada, tidak profesional, ribet, dan tidak rapi. Materi lomba dan pemilihan juri terkesan asal-asalan. Padahal hal Itu yang menunjukkan ajang lomba prestise atau tidak. Lomba Piala HB Jassin, dari tahun ke tahun, sangat menjaga itu, terutama materi dan juri lomba. Materi untuk lomba benar-benar dipilih, dikurasi secara ketat.
Apakah pernah mengikuti lomba baca puisi karya sendiri?
Jarang ada lomba baca sekaligus cipta puisi. Kebanyakan baca puisi atau sajak yang sudah ada, karya orang lain. Dari pengalaman aku, yang bikin sedih, dari lomba ke lomba, siapa pun penyelenggaranya, karya-karya penyair muda, jarang dijadikan materi lomba. Kebanyakan karya penyair lama seperti Chairil Anwar, WS Rendra, Gunawan Mohammad, Sutardji Calzoum Bachri, Taufiq Ismail, Sapardi Djoko Damono dan lain-lain. Nah, pada lomba Piala HB Jassin, sesekali disisipkan 2-3 puisi yang secara kualitas oke, namun penyairnya belum terkenal. Menurutku itu sangat baik. Banyak karya penyair angkatan baru yang bagus. Panitia lomba mestinya punya kurator untuk memilih puisi dari lintas angkatan.
Apakah rahasia Anda sering memenangkan lomba baca puisi?
Aku tidak pernah peduli siapa jurinya. Tugasku cuma satu, bagaimana meyakinkan juri bahwa aku yang istimewa dibanding peserta lain. Alhamdulillah, siapa pun jurinya, aku selalu juara. Pembaca puisi dan deklamator generasi lama, selalu mempersiapkan diri ketika akan mengikuti lomba. Dia akan daftar duluan untuk mempelajari puisi yang dilombakan, kemudian ditafsirkan isinya. Setelah itu latihan vokal, olah tubuh, dan persiapan lain.
Mendaftar duluan juga bagian dari strategi. Ketika kita mendapat materi lebih awal, maka kesempatan untuk membedah dan mempelajarinya jadi lebih panjang. Aku melakukan itu. Aku cari puisi yang pengalaman batin penyairnya paling dekat dengan pengalaman pikir dan batinku. Sebab tentunya puisi berisi pikiran dan pengalaman penciptanya. Kedekatan dan ketepatan dalam memilih puisi juga salah satu kunci memenangkan lomba. Kalau secara teknik, perhatikan jenis vokal kita, lalu cari puisi yang memiliki kecocokan.
Waktu ikut Piala HB Jaassin dan Paman Birin, aku menyiapkan diri selama 2 minggu. Aku bermalam di TIM, pagi-pagi sudah bangun untuk latihan tubuh, latihan vokal. Setelah itu latihan penafsiran dan penghayatan.
Nah, hal-hal itu yang abai dilakukan oleh pembaca dan pembina baca puisi sekarang. Kebanyakan mereka instan, enggan melalui proses pembacaan puisi yang baik dan tepat.
Bagaimana pembinaan di sekolah, apakah perlu ada pelajaran khusus pembacaan puisi?
Materi pembelajaran sastra di sekolah, salah satunya adalah pembacaan puisi. Jadi, sudah ada. Persoalannya, bagaimana mendatangkan pengajar yang tepat. Bukan sekedar ada. Aku perhatikan, banyak (pengajar) yang belum kapabel, belum mampu membimbing siswa dengan baik dan tepat. Ini sebenarnya persoalan kita bersama, bukan hanya seniman. Oleh karenanya harus ada gerakan bersama, yang juga melibatkan para pemangku kebijakan dan pemangku kepentingan seperti dinas pendidikan dan sekolah.
Ada saran untuk para deklamator yang sedang berproses?
Latihan, latihan latihan. Cuma itu. Mau jadi deklamator, teaterwan, aktor, atau apa saja, tekun berlatih menjadi kuncinya. Tidak ada deklamator yang tercipta secara instan. Tidak cukup hanya latihan seminggu atau sebulan menjelang lomba. Harus melalui proses karena salah satunya harus punya vokal yang baik. Baik (dalam) mengucapkan kata, menekankan kata, menyambung dan memisahkan kata. Bagaimana kita bisa punya vokal yang baik kalau tidak melalui latihan? Sesederhana itu. Saya selalu latihan, ada ataupun tidak ada lomba. Hanya beda intensitasnya.
Bagaimana dengan teknik penguasaan panggung?
Penguasaan panggung didapat dari penafsiran puisi yang dibaca. Ketika untuk memperkuat penafsiran perlu ada moving, perlu membuat adegan, sejauh tidak keluar dari tafsir puisi, keluar dari pembacaan sajak atau puisi, monggo. Hati-hati juga, kalau terlalu banyak gerak, bisa terjebak menjadi (pementasan) teater, bukan (baca) puisi. Sepanjang hasil penafsiran, keluar dari inner life, aku pikir akan mendapat apresiasi dari juri.
Perbedaan apa yang Anda rasakan antara TIM yang sekarang dengan yang dulu?
Sekarang tidak ada ruh. Dulu ruhnya memanggil kita untuk melakukan sesuatu. Ada rangsangan kreatifitas. Begitu masuk gerbang TIM, langsung ada panggilan, ada magnet yang mengajak kita untuk berkarya, berbuat sesuatu. Di setiap sudut ada kegiatan kesenian seperti latihan tari dan teater. Setiap bulan ada berbagai kegiatan, dari pekan film Oscar, pekan film klasik. Diputar jam lima, keluar jam enam, istirahat sebentar, lanjut nonton di Teater Arena. Setelah itu nongkrong di Kafe Roro Mendut bersama teman-teman seniman. Semua ada dalam satu titik areal. Nonton dapat ilmu, keluar bisa melihat orang latihan seni lalu diskusi dengan teman-teman. Itu yang sekarang tidak ada.
Menurut Anda, apa penyebabnya?
Dulu ada pameo, kita belum jadi seniman jika belum (bisa) pentas di TIM. Pameo itu benar karena proses dan kompetisinya berjalan dengan bagus. Ketika ada Festival Teater Jakarta, komunitas-komunitas dari dalam maupun dari luar TIM, saling mendukung, saling tunjang. Kita sekarang sendiri-sendiri. Ketika sekarang TIM tidak memiliki wibawa (kesenian), mungkin saja karena perubahan bentuknya, fisiknya. Tetapi jangan-jangan juga dari senimannya. Selama ini kita protes tentang menurunnya kualitas berkesenian di TIM, hilangnya ruh dan ekosistem berkesenian, tetapi kita sendiri tidak menyatu dengan TIM. TIM hanya dijadikan tempat singgah, alat pukul. Kalau aku tetap memperlakukan TIM seperti dulu, bahkan sekarang menjadi rumah pertamaku.
Mengapa TIM berubah menjadi seperti sekarang, jelas bukan kehendak zaman. Tetapi saya tidak mau menyalahkan individu tertentu. Mungkin karena kita, seniman-senimannya, dan juga orang luar sama-sama merusak, sama-sama memanfaatkan TIM. Aku merasa ada yang hilang dan yang hilang itu bagian terpenting dari TIM. Bayangkan ketika hidup tanpa ruh, hanya jasad, tentunya jadi robot, melakukan segala sesuatunya secara mekanis, mengulang yang itu-itu saja. Tidak ada lagi kebaruan dalam kesenian yang kita lahirkan.
Kalau secara estetika, bagaimana menurut Anda?
Revitalisasi yang dilakukan oleh Jakpro (PT Jakarta Propertindo) sama sekali tidak estetik. Bahkan peralatan pendukung gedung, tidak memadai. Pasca revitalisasi, aku menjadi kru penata lampu di Taeter Wahyu Sihombing untuk suatu pementasan teater. Ternyata kualitas lampunya memperihatinkan. Body lampu dan bandrosnya terbuat dari seng. Belum lagi audionya, noise.
Dengan kondisi seperti itu, lantas kita bicara standar internasional. Menyedihkan. Itu memang hal kecil tapi sangat vital dan akhirnya mengganggu. Demikian juga ketika aku nonton di Graha Bakti Budaya, kursinya sangat tidak nyaman. Banyak posisi yang tidak ideal untuk menonton. Perspektifnya tidak dapat, terutama di area kanan paling kanan. Tidak seperti di gedung kesenian.
Bagaimana tanggapan Anda terkait 3 pengelola di TIM yakni UP PKJ TIM, Jakpro dan Dinas Perpustakaan dan Kearsipan Jakarta?
Pantas atau tidak sebuah kerajaan dipimpin oleh 3 raja? Itu saja jawabannya. Bagaimana mau mewujudkan TIM seperti yang dicita-citakan Bang Ali (Ali Sadikin, Gubernur DKI Jakarta periode 1966-1977) sebagai laboratoroium, etalase dan barometer kesenian sementaraa pengelolanya sibuk berebut kuasa, berebut pendapatan dari kegiatan di TIM. Padahal, mestinya pengelola TIM fokus mengarahkan semua kebijakan untuk mewujudkan tujuan didirikannya TIM.
Kondisi ini merugikan seniman?
Tidak ada urusannya dengan seniman secara individu. Aku bisa pentas di mana saja. Aku pernah pentas di (pinggir) sawah di Pemalang dan yang nonton petani. Juga di Sragen. Persoalannya adalah bagaimana kesenian kita. Bagaimana mengembalikan marwah TIM sebagai laboratoroium, etalase dan barometer kesenian di Indonesia. Kalau yang kita tentang hanya peraturannya, regulasinya, tidak akan mengembalikan marwah TIM. Yang perlu diambil lagi adalah ruhnya, dan itu urusan semua seniman, bukan orang per orang.
Bisa dijelaskan lebih konkret?
Buang ego, kesombongan kita sebagai seniman. Bukan masanya lagi kita hanya duduk-duduk sambil merumuskan pemikiran kita. Kini saatnya kita bertindak, bergerak, bersama tanpa ada kepentingan pribadi dan kelompoknya, selain kepentingan pemajuan kebudayaan dan kesenian. Mengembalikan TIM ke tujuan awal. Jadi yang perlu diperjuangkan bukan kepentingan seniman, karena seniman bisa hidup dan berkarya di mana saja. Yang kita perjuangankan adalah kepentingan kesenian, kepentingan kebudayaan. Kalau TIM mati, atau direbut untuk kepentingan jahat, urusannya bukan kepada seniman, tetapi kepada kesenian dan kebudayaan.