PojokTIM – Puisi-puisi balada Ully Sigar Rusady diangkat dari peristiwa nyata yang ditemui dalam perjalanan ke berbagai daerah. Sebab balada adalah kisah bertutur yang sebenarnya terjadi, bukan hasil imajinasi atau khayalan.
“Ketika melakukan perjalanan, lalu melihat peristiwa yang menggugah maka langsung saya tulis di atas secarik kertas. (Mejanya) kadang punggung suami, atau punggung kawan-kawan. Sampai di rumah saya buatkan melodinya,” tutur Ully Sigar Rusady dalam diskusi tentang lagu dan puisi yang diselenggarakan komunitas Sastra Reboan di aula PDS HB Jassin, Taman Ismail Marzuki (TIM), Cikini, Jakarta Pusat, Rabu (18/6/2025).
Seluruh dunia punya musik balada dengan jenis beragam. Namun demikian, menurut Ully, balada sebagai kisah bertutur memiliki tiga jenis. Pertama, balada rakyat. Pada zaman dulu, puisi-puisi dilantunkan dengan indah sebagai bagian dari prosesi pengobatan tradisional. Di beberapa daerah, tradisi itu masih berlangsung.
“Saya senang melakukan perjalanan untuk mendata musik yang ada di tengah masyarakat pedalaman. Ternyata bagi mereka itu bukan musik, melainkan sarana ritual pengobatan. Di Kalimantan, misalnya, saya bertemu balian atau dukun yang sedang menyembuhkan penyakit dengan melantunkan syair diiringi musik. Bagi saya ini sangat menarik,” tutur Ully yang kini akrab disapa Bunda oleh orang-orang terdekatnya.
Kedua, balada etnis yakni musik balada yang dimainkan generasi sekarang dengan menggunakan alat musik tradisional. Setidaknya alat musik seperti gitar, suaranya bisa menjadi pentatonis maupun diatonis mengikuti lagu-lagu daerah. “(Musik) saya juga ada di situ karena saya senang mengkreasikan alat-alat musik tradisonal (untuk) mengiringi puisi,” kata Ully.
Ketiga, balada pop liris. Termasuk dalam kategori ini adalah puisi-puisi yang dinyanyikan Ebiet G Ade, Iwan Fals, Gombloh, Franky & Jane, Leo Kristi, dan alin-lain. “Saya berada di dalam kategori ini juga dan pernah membuat album balada pop liris,” terang pencipta lagu Misteri Cinta yang dipopulerkan NIcky Astria itu.
Jose Rizal Manua yang menjadi pembicara pertama dalam diskusi dengan moderator Jodhi Yudono, membahas tentang sejarah deklamasi dan pembacaan puisi. Menurut Jose, dalam deklamasi puisi dihafal dan dipresentasikan. Di era 1950-an, seringkali pembaca mengintervensi, bahkan merusak puisi melalui gerakan berlebihan, yang tidak ada hubungannya dengan isi puisi. Hal itu yang kemudian dikritik oleh WS Rendra.
“Melihat fenomena itu, sepulang dari Amerika, Rendra mengenalkan poetry reading. Pembacaan yang bertolak dari isi puisi, tidak berlebihan. Ketika naik panggung Rendra memang membawa teks karena yang dibaca tidak hanya 1-2 puisi, tapi satu buku,” jelas Jose.
Oleh karenanya, menurut Jose, baik deklamasi yakni pembacaan puisi yang dihafal sehingga tidak membawa teks ke atas panggung, maupun poetry reading yang diterjemahkan sebagai pembacaan puisi dengan membaca teks, sama saja.
Selain diskusi dan penampilan memukau Ully Sigar Rusady ketika membawakan lagu-lagu baladanya, acara yang mengusung tagline “Dua Singa Panggung Turun Gunung” dengan pembawa acara Wahyu Toveng, juga menampilkan pembacaan puisi dan musikalisasi yang dibawakan dengan apik oleh duo Tersajakkanlah, Piet Yuliakhansa, Ikhsan Risfandi (Irzi), Julia Utami, dan lain-lain. Ketua Sastra Reboan Aloysius Slamet Widodo juga tampak antusias saat membacakan puisi dan mendampingi Ully Sigar Rusady bernyanyi.
“Hadir di acara Sastra Reboan pulang bawa ilmu,” ujar Slamet Widodo yang dikenal dengan puisi-puisi glenyengan-nya.