PojokTIM – Pantun sudah diakui oleh UNESCO sebagai Warisan Dunia Tak Benda ((Intangible Cultural Heritage) sejak 17 Desember 2020. Pantun menjadi tradisi budaya ke-11 yang diakui UNESCO dan merupakan tradisi budaya pertama yang diajukan bersama Malaysia. Oleh karenanya perlu dilakukan upaya untuk mengglobalkan pantun agar lebih dikenal oleh masyarakat dunia sebagaimana Haiku dari Jepang sehingga tidak hanya jalan di tempat, apalagi sekedar legacy.

Hal itu dikatakan Ewith Bahar, moderator diskusi publik bertajuk “Belajar dari Haiku Jepang, Memasyarakatkan dan Menglobalkan Pantun sebagai Warisan Budaya Tak Benda” yang diselenggarakan Komite Sastra Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) di teater Wahyu Sihombing, Taman Ismail Marzuki, Kamis (17/4/2025).

Diskusi yang digelar secara hybrid dengan menghadirkan 2 narasumber secara tatap muka yakni penyair Heru Joni Putra dan Staf Ahli Menteri Kebudayaan Nissa Rengganis, serta haijin atau penulis Haiku, Fauzul el Nurca yang hadir secara online.

Dalam paparannya Joni menyebut pujangga Sutan Takdir Alisjahbana dalam bukunya mengatakan pantun merupakan jenis karya sastra lama yang harus ditinggalkan, dan masuk pada sastra modern.

“Bukan hanya Pak Takdir yang mengatakan tidak ada hubungan antara sampiran dan isi pantun, para akademisi kolonial juga menyebut pantun ini tidak ada berhubungan selain persoalan bunyi. Pendapat ini dipertahankan bahkan dalam prakteknya sering  ditekankan, yang penting bunyinya sama. Kalau pun ada pakem hanya soal ketukannnya,” ujar Joni.

Padahal, demikian Joni, pantun adalah karya yang menghubungkan antara pengetahuan dan kecakapan berbahasa. Ada keterlibatan antara sampiran dan isi. Oleh karenanya, tidak tepat ketika dikatakan pantun sekedar persamaan bunyi, “Itu sebabnya materi saya diberi judul Pantun di Luar Takdir,” ujarnya.

Joni mencontohkan pantun dari Minang yang menggunakan buah saga untuk melihat keindahan: Yang kurik adalah kundi/Yang merah ialah saga/Yang baik adalah budi/Yang indah ialah bahasa.

“Dalam pantun ini digunakan buah yang sama untuk mengatakan baik dan indah. Itu sebabnya sampiran dan isi atau pembayang maksud, harus berhubungan. Untuk membuat sampiran dan isi saling berhubungan, kita harus mempunyai kesadaran dan pengetahuan terhadap simbol yang kita pakai,” terang peraih penghargaan buku terbaik versi majalah Tempo 2018 dan Wisran Hadi Award 2019 untuk buku kumpulan puisi pertamanya yang berjudul Badrul Mustafa Badrul Mustafa Badrul Mustafa.

Sambil tetap menghargai keragaman bentuk pantun, Joni mengusulkan agar ada semacam buku panduan pembuatan pantun. “Kita tidak perlu ngilu dengan pakem karena tetap ada ruang untuk berpikir dan berkreatifitas,” tegas Joni.

Pendapat Joni mendapat tanggapan Fauzan yang menggunakan Haiku, puisi tradisional Jepang, sebagai contoh. Haiku bisa berkembang pesat dan diterima masyarakat dunia karena pemiliknya membebaskan untuk menafsir ulang atau membuat Haiku sesuai kondisi masing-masing.

“Penggunaan Kigo yang disarankan, justru diganti kata benda hasil teknologi pabrik seperti TV, radio, telegram yang jelas-jelas tidak lagi berkenaan dengan (pakem) aslinya sebagai puisi alam,” ujar Fauzan.

Meski Haiku yang berkembang di seluruh dunia “menyalahi pakem”, tidak pernah ada protes, atau klaim penolakan. Hal yang sama dapat dilakukan terhadap pantun agar mengglobal. “Biarkan orang mencintai milik kita sesuai keinginannya,” ujar Fauzan.

Terhadap diskusi yang berkembang Nissa Rengganis mendukung upaya membuat modul pembuatan pantun sebagai bagian dari upaya mengglobalkan pantun. “Harus ada formula lain untuk mengembangkan pantun secara global, termasuk menjadikan sebagai pelajaran ekstrakulikuler di sekolah,” ujar Nissa.

Kementerian Kebudayaan juga sudah melakukan upaya pemeliharaan dan pengembangan, serta promosi, diplomasi dan kerjasama kebudayaan melalui pembentukan direktorat tersendiri. “Nantinya ada program-program untuk mewujudkan hal itu. Saat ini yang baru terbentuk adalah promosi karya sastra,” terang Nissa yang juga seorang penyair.

Acara diskusi yang dihadiri para praktisi pantun, seniman dan pengurus Dewan Kesenian Jakarta tersebut dibuka dengan nyapun  yang dibawakan oleh sastrawan Betawi Yahya Andi Saputra. Bait-bait nyapun buleng dibawakan penuh penghayatan laksana membaca mantra.

 

Bagikan ke Media Sosial

Hubungi Admin Jika Ingin Meng-copy Konten Website ini