PojokTIM – Tatapan Evawani Alissa menghujam pada makam dengan nisan tugu atau lingga di TPU Karet Bivak, Tanah Abang, Jakarta Pusat, Senin (28/4/2025). Wanita 77 tahun itu seperti sedang mengingat sosok ayah yang tak sempat membersamainya.
“Saat Chairil meninggal, saya baru berusia 1 tahun 10 bulan,” ujar Evawani yang datang bersama keluarga dan sejumlah penyair dalam rangka ziarah kubur di tanggal meninggalnya Chairil Anwar, 76 tahun lalu.
Evawani biasa memanggil nama pada bapaknya. Tentu bukan kebetulan. Sebab Evawani baru mengenal nama bapaknya ketika Kelas III SD. Seperti teman-temannya, dia pun membaca puisi Chairil Anwar. Pamannya kemudian memberitahu jika Chairil Anwar adalah bapaknya.
“Ibu saya menyuruh saya memanggil Chairil saja. Mungkin supaya saya tidak bingung saat baca puisinya di sekolah. Karena kalau baca puisi, nama penciptanya kan disebutkan. Tidak mungkin saya baca, “Aku” karya bapak saya,” canda Evawani di atas kursi rodanya.
Chairil Anwar adalah satu-satunya penyair yang hari kelahiran dan kematiannya dirayakan. Tanggal lahirnya, 26 Juli, diperingati sebagai Hari Puisi Indonesia (HPI). Belakangan, hari wafatnya, 28 April, diperingati sebagai Hari Puisi Nasional (HPN).
Kedua peringatan itu sama-sama memiliki tujuan untuk menghargai kontribusinya pada dunia puisi Indonesia, serta mendorong semangat berkarya dan mengapresiasi puisi sebagai salah satu bentuk kekayaan budaya Indonesia. Chairil Anwar dianggap sebagai peletak dasar puisi modern Indonesia dan salah satu pelopor Angkatan 45.
Chairil Anwar menulis 73 puisi asli. Puisinya yang terkenal antara lain Aku, Hampa, dan Cintaku Jauh di Pulau. Chairil juga menulis 3 puisi saduran. yakni Datang Dara, Hilang Dara dan Karawang – Bekasi, serta 10 puisi terjemahan, termasuk Huesca dan Hari Akhir Olanda di Jawa.
Masih banyak hal tentang Chairil yang menarik dan belum sepenuhnya terungkap. Meski menolak kemapanan dan hidup “urakan”, Chairil miliki kedekatan dengan tokoh-tokoh bangsa seperti Sutan Sjahrir dan Chaerul Saleh. Bahkan Chairil menjadi kurir Sjahrir dalam mengabarkan kekalahan Jepang kepada Subadio Sastrasatomo – politisi yang kelak menjabat sebagai anggota BP Komite Nasional Indonesia Pusat.
Berikut petikan wawancara PojokTIM dengan Evawani Alissa.
Apa yang Anda rasakan kala mendengar puisi-puisi Chairil Anwar dibacakan?
Saya terharu, dan juga senang. Ternyata puisi yang ditulis bapak saya puluhan tahun lampau masih tetap hidup. Mungkin ini makna di balik kalimat “aku mau hidup seribu tahun lagi” dalam salah satu puisinya. Bukan orangnya, tetapi karyanya yang hidup sampai puluhan tahun setelah kematiannya dan mungkin nanti sampai ribuan tahun.
Puisi Chairil Anwar ternyata juga menginspirasi anak-anak muda zaman sekarang. Bagaimana tanggapan Anda?
Saya kaget ketika mengunjungi acara bertema Chairil, baik di Jakarta, Yogyakarta, Bali dan lain-lain. Ternyata banyak anak muda yang hadir. Tentu saja saya sangat senang dan berharap mereka mendapat inspirasi dari karya-karya Chairil.
Menurut Anda, apa yang menyebabkan karya Chairil Anwar bisa diterima dan diapresiasi oleh generasi lintas zaman?
Menurut saya karena kekuataan sajak-sajak Chairil. Tema yang ditulis dengan bahasa yang sedemikian rupa, ternyata bisa menghipnotis pembaca dan pendengarnya.
Kenangan apa yang paling Anda rasakan dari seorang Chairil Anwar?
Meski saat Chairil meninggal dunia saya masih balita, tetapi saya banyak mendengar tentang beliau dari ibu saya. Katanya Chairil sangat gembira ketika saya lahir. Setelah saya dewasa dan mendengar orang-orang membicarakan tentang Chairil, saya senang juga. Hanya saja, sebagai anak, saya tentu tidak suka ketika orang-orang membahas hal-hal tidak baik yang hanya didasarkan pada asumsi. Sebab setiap orang punya sisi baik dan sisi tidak baik. Karena orangnya sudah tidak ada, sudah tidak bisa menjelaskan yang sebenarnya, maka jangan ungkit lagi sisi (tidak baiknya) yang hanya disadarkan pada asumsi. Ketika Chairil mengagumi seseorang, lalu menjadi ide puisi, belum tentu juga ada hubungan khusus di antara mereka. Bisa saja hanya sebatas kekaguman.
Jika diminta mendeskripsikan tentang Chairil Anwar, apa yang akan Anda katakan?
Dia penyair hebat, setidaknya itu yang saya baca dan dengar dari puluhan orang yang paham puisi. Chairil juga menginspirasi bahkan mendahului zamannya. Tidak ada manusia yang sempurna, termasuk bapak saya. Tetapi tidak semua manusia bisa melakukan hal-hal besar yang melampaui zamannya, dan Chairil telah membuktikan itu melalui karyanya.
Bagaimana tanggapan Anda terkait keinginan sejumlah penyair agar makam Chairil Anwar dipugar karena kondisinya tidak layak?
Saya setuju dan mendukung. Tetapi saya tegas menolak jika makamnya dipindah ke tempat lain. Harus tetap di Karet, karena itu merupakan wasiat Chairil sesuai yang tertulis dalam puisinya. Kemarin ada tawaran untuk memindahkan makam Chairil ke San Diego (San Diego Hills Memorial Parks and Funeral Homes, red), ke Bekasi, dan lain-lain. Saya tegas menolak.
Kabarnya perjalanan hidup Chairil Anwar akan difilmkan. Anda setuju?
Ide itu sudah lama, dan terakhir dari Falcon, kalau saya tidak salah. Silahkan saja. Pada prinsipnya saya tidak melarang, apalagi Chairil bukan milik saya saja, tapi milik bangsa ini. Mudah-mudahan semangatnya, karya-karya, dapat memberi motivasi kepada generasi sekarang untuk lebih mencintai Indonesia.