PojokTIM – Tulislah puisi sesuai peristiwa keseharian yang dilihat dan ditemui atau pengalaman batin yang menyentuh. Pilih kata yang sederhana, namun tepat dan indah. Jangan digunakan metafora yang berlebihan.
Demikian dikatakan Ketua Dapur Sastra Jakarta (DSJ) Remmy Novaris DM saat menjadi pembicara dalam acara memperingati Hari Pendidikan Nasional di Pusat Dokumen Sastra HB Jassin, Taman Ismail Marzuki (TIM), Jumat (2/5/2025).
Kegiatan yang digelar Masyarakat Sastra Jakarta (MSJ) bekerjasama dengan PDS HB Jassin juga menghadirkan pembahas lain yakni Ketua MSJ Puji Isdriani serta Shobir Poer selaku praktisi pendidikan, dengan dua modertor Rini Intama dan Giyanto Subagio. Acara dimeriahkan dengan pembacaan puisi oleh siswa dan penampilan grup musikalisasi puisi dari SMPN 15 Jakarta.
“Untuk menemukan metafora yang tepat, gunakan imajinasi, bukan khayalan,” pesan Remmy.
Di depan puluhan siswa SMP yang hadir dalam acara tersebut, Remmy memberikan contoh menulis puisi yang baik. Menurutnya, ketika disuruh menulis puisi tentang ibu, rata-rata siswa menulis “ibuku adalah pahlawanku”, atau “ibu adalah pendamping hidupku”.
“Itu (bahasa) klise, sudah sering dipakai dan tidak mempunyai kekuatan apa pun. Juga tidak menunjukkan karakter penulisnya. Padahal kita bisa menulis tentang kesibukan ibu yang kita jumpai setiap hari. Misalnya saat bangun pagi ibu masih memakai daster, atau sedang menyiapkan nasi goreng untuk sarapan. Tulislah. Pasti puisi kita berbeda dengan yang lain, karena pengalaman tiap siswa dengan ibu di pagi hari, tentunya berbeda-beda,” papar Remmy.
Bisa saja, demikian Remmy, karena sudah tidak mempunyai ibu, maka menggunakan peralatan di dapur sebagai sebagai metafora untuk mengungkap kerinduan yang dirasakan. “Jangan gunakan metafora bunga, karena umumnya di dapur tidak ada bunga,” tegas Remmy.
Siswa antusias bertanya dan menjawab soal saat diskusi. Foto: PojokTIM
Kurikulum Sekolah
Menjawab pertanyaan moderator, Pudji Isdriani mengatakan, kurikulum yang berlaku sekarang sudah mendukung pelajaran sastra di sekolah. “(Setiap minggu) ada 4 jam pelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia di tingkat SMA. Tinggal bagaimana gurunya mengatur. Persoalannya, tidak semua guru Bahasa Indonesia mampu dan mau mengajar sastra yang benar dan baik,” ujar mantan guru SMAN 26 Jakarta itu.
Sementara Shobir Poer mengaku lebih condong bergerak pada penguatan literasi, yakni menguatkan kemampuan membaca, memahami dan menganalisa hingga mampu berkarya. Sebab ada proses panjang untuk sampai pada pemahaman karya sastra seperti puisi.
“Satu kalimat dengan pemenggalan frasa yang berbeda, akan memberikan makna berbeda. Contohnya dalam kalimat “Kucing makan tikus mati”. “Kucing makan/tikus mati” tentu berbeda artinya dengan “Kucing makan tikus/mati”,” terang Shobir.
Diki Lukman Hakim memberi sambutan pada peringatan Hari Pendidikan Nasional di PDSS HB jassin. Foto: PojokTIM
Kepala PDS HB Jassin Diki Lukman Hakim yang hadir dalam acara tersebut, menyambut baik kegiatan sastra yang melibatkan siswa sekolah. Hal itu sesuai dengan misi yang diemban PDS HB Jassin meski tidak bisa sertamerta bisa dilaksanakan sepenuhnya karena terkait dengan resource.
“Sampai sekarang masih banyak PR yang masih dikerjakan seperti penataan dan pelestarian koleksi melalui program digitalisasi, dan juga pengembangan dan penambahan koleksi,” ujar Diki seraya menekankan PDS HB Jassin selalu terbuka dalam menerima saran dan kritik dari komunitas-komunitas yang ada di TIM demi tercapainya tujuan bersama yakni mengukuhkan PDS HB Jassin sebagai pusat sastra nasional.