PojokTIM – Penamaan Angkatan 70 yang digaungkan Abdul Hadi WM memiliki konsep yang kuat dan meyakinkan secara estetis.  Tetapi sejarah akhirnya menenggelamkan Angkatan 70 karena kalah gemanya dibanding periodisasi sastra yang dirumuskan HB Jassin seperti Angkatan 45 dan Angkatan 66.

Salah satunya karena Angkatan 70 tidak bersandar pada peristiwa politik yang sangat besar. Seperti diketahui 45 mengacu pada tahun kemerdekaan Indonesia, sementara 66 adalah tahun pergantian rezim dari Orde Lama ke Orde Baru.

Demikian disarikan dari pemaparan Agus R. Sarjono dalam Diskusi Sastra Mengenang 40 hari Wafatnya Penyair, Sastrawan, dan Budayawan Prof.Abdul Hadi WM di Teater Kecil, Kompleks Pusat Kesenian Jakarta (PKJ) di Taman Ismail Marzuki (TIM) Jakarta Pusat, Senin siang (26/2/2024).

Lebih jauh Agus memaparkan, Abdul Hadi WM berhasil memikat minat banyak penyair era 70-an ketika menggaungkan gerakan sastra sufi dan gerakan kembali ke akar.

“Gerakan sastra sufi berhasil menjadi gerakan sastra yang masif dan terus menggeliat hingga hari ini,” terang Agus.

Gerakan kembaali ke akar, demikian Agus, dicetuskan Abdul Hadi WM sebagai jawaban atas kondisi di mana jejak kolonialisme barat begitu kuat tertanam di Nusantara. Pada perkembangannya gerakan kembali ke akar menjadi tren bukan hanya sastra namun juga bidang lain.

Dalam diskusi yang dipandu Riri Satria, pemateri lain, Maman S. Mahayana mengulas lebih jauh alasan Abdul Hadi WM mengusung Angkatan 70. Pada era ini muncul karya sastra yang membawa ciri baru, memiliki perbedaan mencolok dengan karya-karya sebelumnya.

“Pangkal-tolaknya adalah karya-karya yang merintis pembaharuan, yang kemudian melahirkan kemungkinan-kemungkinan baru sebagai hasil dari proses interaksi dengan kehidupan sosial, moral, intelektual, dan spiritual lingkungan dan zamannya,” kata Kang Maman, sapaan akrab kritkus sastra itu.

Menurut Kang Maman, karya-karya sastrawan era 1970, tidak lagi didominasi semboyan seni untuk rakyat atau seni untuk seni. Juga tidak ada slogan cinta tanah air, humanisme universal atau pertentangan Timur—Barat.

“Semangat yang tampak berkenaan dengan wawasan estetik, pandangan, sikap hidup pengarang, semangat dan orientasi kebudayaannya,” papar Kang maman.

Sementara Sofyan RH Zaid, pembicara dari Universitas Paramadina, membahas keterkaitan Abdul Hadi WM dengan genre puisi sufi-nya.

Menurut Sofyan, Abdul Hadi WM memiliki prinsip penting dalam hidupnya yang dia perjuangkan dari awal hingga akhir yaitu jembar atau lapang dada.

“Jembar atau samahah atau bisa juga disebut al-shafh merupakan ajaran vital dalam kesufian, sehingga menjadi salah satu puncak tertinggi capaian seorang sufi. Jembar adalah rasa puas, rasa tenang, hilangnya rasa cemas, serta terus menerus merasa gembira. Tidak sedih kala kehilangan, tidak terlalu bahagia saat mendapatkan,” terang Sofyan.

Prof. Abdul Hadi WM dikenal sebagai penyair, sastrawan, budayawan, akademisi, sekaligus ahli filsafat. Karya dan kiprahnya dalam jagat kesusateraan Indonesia menjadi warisan tak ternilai yang dapat dipelajari dan diteladani oleh generasi kini dan mendatang.

Kegiatan mengenang 40 hari wafatnya Prof.Abdul Hadi WM dibagi dalam 2 sesi. Pada sesi pertama, selain diskusi, juga diisi dengan pembacaan puisi oleh Giyanto Subagyo, Feri Putra, Piet Yuliakhansa, Nurhayati & Rokhana, Boyke Sulaiman, Narima Berly Ivana, Dyah Kencono Puspito Dewi, Guntoro Sulung, Sihar Ramses Simatupang, Trilogi, Nina Karenina, Evan YS, Wig SM, dan Tatan Daniel, serta musikalisasi puisi “Lagu Dalam Hujan” oleh Rinidiyanti Ayahbi.

Pada sesi malam, yang dihadiri perwakilan dari Dinas Kebudayaan DKI Jakarta, Dinas Perpustakaan dan Kearsipan DKI Jakarta, Unit Pelaksana Teknis (UPT) PDS HB Jassin, dan Dewan Kesenian Jakarta (DKJ), acara dibuka dengan lantunan zikir, dilanjutkan pementasan tari sufi oleh Imam Ma’arif dan kawan-kawan dari RK Productiaon.

Setelah itu sejumlah pembacaan puisi dan testimoni dari Gayatri Muthari, Jose Rizal Manua, Oktavianus Masheka, Sutardji Calzoum Bachri, Emi Suy, Arief Joko Wicaksono, Asrizal Nur, dan M Subhi Ibrahim.

Acara juga diisi dengan tayangan profil Prof.Abdul Hadi WM. Pada kesempatan itu, Isbedy Stiawan ZS memberikan kesaksian tentang kiprahnya dan mengusulkan agar Abdul Hadi WM mendapat gelar sebagai Guru Penyair Indonesia, sebagaimana Sutardji mendapat julukan sebagai Presiden Penyair Indonesia.

Dalam sambutannya, Ketua Panitia Nanang R. Supriyatin mengatakan, kegiatan 40 hari wafatnya Abdul Hadi WM adalah bagian dari penghormatan atas sumbangan dan dedikasi almarhum pada kesusasteraan.

Nanang Supriyatin-yang juga penyair- mengucapkan terima kasih kepada seluruh pihak yang telah membantu terwujudnya kegiatan, terutama kepada 14 komunitas yang tergabung dalam kepanitiaan bersama yakni Komunitas Jagat Sastra Milenia (JSM), Komunitas Forum Sastrawan Indonesia (FSI), Komunitas Taman Inspirasi Sastra Indonesia (TISI), Komunitas Sastra Reboan, Komunitas Satarupa (Perempuan Pekerja Seni), Komunitas Lukisan Daun & Kopi Teddy Arte.

Kemudian Komunitas Literasi Betawi (KLB), Komunitas Srikandi (Komunitas Seni Budaya), Komunitas Literasi Kompasiana (LitKom), Komunitas Sastra Jakarta Timur (KSJT), Komunitas Istana Puisi, Komunitas Cakra Budaya Indonesia, Komunitas Planet Senen,Forum Literasi Muda, serta Komunitas RK Production.

Acara berlangsung cukup meriah, namun syahdu dengan dihadiri anggota komunitas, penggiat sastra dan budaya, mahasiswa serta masyarakat umum.

Bagikan ke Media Sosial

Hubungi Admin Jika Ingin Meng-copy Konten Website ini